Rabu, 21 September 2016

DPT dan Masadepan Pemilu 2009


Oleh : M. Abu Laka SY *)

Penggelembungan Data Pemilih Tetap (DPT) bukan lagi isapan jempol belaka. Berdasarkan laporan 18 Partai Politik (Parpol) di Jakarta, Selasa (24/3) ditemukan data fiktif DPT di 17 Provinsi. Ada yang dilakukan dengan cara menggandakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan nama yang berbeda. Sebagain lain memasukan orang-orang yang secara umur sebetulnya belum memenuhi syarat untuk memilih. Dan celakanya lagi ada yang sudah meninggal dunia, tapi tetap terdaftar sebagai DPT. (KR, 27/3/2009).

Sontak, masalah ini menjadi perdebatan hangat publik dan juga pihak-pihak terkait. Seperti diketahui berbagai media baik cetak maupun eloktronik gencar memberitakan perdebatan DPT. Terkait masalah ini, terjadi perselisihan krusial antara data yang dimiliki oleh KPU dengan data yang dimiliki parpol yang diperoleh secara langsung dari daerah-daerah pemilihan. Akibat kejadian ini memicu terjadinya interpretasi beragam yang dikeluarkan oleh parpol, LSM, kalangan akademisi dan tidak ketinggalan masyarakat biasa.

Sebagian dari kalangan parpol beranggapan bahwa kesalahan DPT bukan lagi kesalahan pendataan (human eror), tetapi terdapat konspirasi besar yang sistemis dan memiliki kepentingan politik. Sementara itu, menyoal masalah ini kalangan akademisi lebih mengkritisi kinerja pemerintah dalam mengatur data kependudukan. Menurut mereka, pemerintah lamban memperbaharui data terbaru sehingga banyak kesalahan informasi, seperti orang yang sudah meninggal dunia masih terdata. Lain lagi dari masyarakat biasa—mereka berpendapat masalah ini hanya rekayasa bagi parpol yang belum siap bertarung pada Pemilu Legislatif 9 April mendatang.

Lepas dari semua tafsir di atas, menurut penulis hal itu tidak penting diperdebatkan lebih jauh. Toh penggelembungan DPT adalah fakta lapangan yang sudah dikroscek langsung oleh beberapa parpol ke daerah pemilihan. Ironis bukan? Disaat ritual suci demokrasi itu tinggal hitungan hari, tapi persoalan krusial ini belum juga menemukan solusi terbaik bagi semua pihak.

Lihat saja, PDIP yang pertama manemukan ada penggelembungan DPT di beberapa wilayah pemilihan Provinsi Jawa Timur. Bahkan data terbaru yang dikeluarkan oleh PDIP sebagaimana disampaikan oleh Sekjen PDIP, Pramono Anung pada acara Mata Kamerah Tv one (26/3), bahwa ada penambahan 20 % tiap-tiap TPS di Jatim.

Tentu, kisru DPT akan berbuntut panjang kalau tidak ada pihak yang mau mengalah. Dalam menyikapi hal ini dibutuhkan kedewasaan bersikap antara KPU dan pihak lain. Bukan malah saling menyalahkan dan menyerang seperti yang terlihat sekarang.
Tengoklah, Ketua KPU, Abdul Hafiz Anshori malah menantang pihak yang menemukan data fiktif untuk adu kevalidan data. Sikap demikian seakan melegitimasi pendirian bahwa data KPU adalah harga mati. Dengan kalimat lain, mereka menganggap datanya paling valid, padahal di lapangan sudah jelas ditemukan penggelembungan DPT.

Akibat masalah DPT, Pemilu pun terancam diundur. Kontan, reaksi keras datang dari Presiden SusiloBambang Yudhoyono. Menurut SBY penundaan pemilu adalah perbuatan melanggar UUD 1945. dari sini, itu artinya Pemilu tidak mungkin diundur.
Tetapi sisi lain, kalau persoalan DPT tidak bisa diselesaikan sampai proses pemilu berjalan, maka hasil pemilu terancam cacat hukum. Alhasil, jika Pemilu tetap diselenggarakan bukan tak mungkin akan terjadi gugatan dari pihak yang mempunyai data penggelembungan DPT. Nah, kalau sudah seperti ini bukankah masalah itu akan mengancam proses demokratisisasi yang telah kita bangun bersama?

Pelajaran penting Pemerintah
Perselisihan DPT mestinya juga dijadikan bahan intropeksi bagi pemerintah, khususnya departemen kependudukan. Data yang dijadikan acuan dari KPU diambil dari Data Penduduk Potensi Pemilih Pemilu (DP4) yang dikeluarkan oleh departemen dalam negari. Kalau data tersebut tidak cocok yang ada dilapangan, berarti data yang dimiliki pemerintah tidak valid, maka patut dipertanyakan kinerja pemerintah bidang departemen kependudukan. Indikasi penggelembungan DPT juga terlihat dari adanya NIK yang ganda dengan nama yang berbeda. Lagi-lagi NIK juga dikelurkan oleh pemerintah.

Bagi Penulis kalau pemerintah sepenuhnya melimpahkan tanggung jawab kepada KPU akan kevalidan DPT. Hal tersebut terkesan pemerintah mau lepas tangan dan tidak mau disalahkan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Informasi dan Komunikasi, Mohammad Nuh, DPT sepenuhnya tanggung jawab KPU. Meskipun secara hukum validasi adalah tanggung jawab KPU, namun paling tidak dari pemerintah mempunyai tanggung jawab moral sebagai pihak yang mengeluarkan data yang dijadikan acuan utama DPT.

Maka sewajarnya pemerintah turut berperan menyelesaikan kisru DPT ini. Kalau sudah ditemukan ada 17 provinsi terdapat penggelembungan, saya kira bukan lagi human eror. Maka, tinggal dua pertanyaan yang patut kita ajukan. Pertama apakah memang ada konspirasi yang diatur oleh sistem tertentu? atau mungkinkah kinerja pemerintah yang lemah dalam mendata penduduk, sehingga banyak kesalahan DPT?

Kalau saja benar kesalahan pemerintah dalam mendata, maka ada pertanyaan mendasar untuk pemerintah. Data penduduknya saja tidak paham, bagaimana pemerintah mau mengetahui kondisi masyarakatnya? Kalau tidak tahu kondisi masyarakat, bagiamana mau mensejahterakan rakyatnya? Kedepan PR pemerintah bagaimana manajemen pendataan penduduk bisa dimaksimlkan lagi, sehingga data penduduk benar-benar valid. Dan  bagimana caranya penduduk memiliki kesadaran yang tinggi akan hak pilih mereka, sebagaimana terjadi di AS, penduduk datang dengan sendirinya untuk mendaftarkan diri sebagai peserta pemilih

Transparansi, solusi harga mati
Sebenarnya perselisihan DPT adalah persoalan mudah, tapi dipersulit. Langkah KPU tidak menginginkan pemilu diundur tanpa menyelesaikan persoalannya merupakan tindakan yang mempersulit keadaan. Dan terkesan KPU tidak memberikan sikap kedewasaan sebagai lembaga tertinggi dalam ranah pesta demokrasi. Dalam kondisi serba sulit ini, semestinya semua pihak bekerjasama mencari solusi terbaik. Maka, transparansi data dari KPU adalah harga mutlak, yang selanjutnya mencocokan DPT yang dimiliki KPU dengan pihak yang mempersoalkan (parpol).

jika pemilu tetap dilaksanakan sesuai jadwal dan perselisihan DPT tidak diselesaikan, maka parpol oposisi menganggap penggelembungan dilakukan oleh orang-orang yang memegang sistem kekuasaan. Dan yang lebih mengerikan lagi hasil pemilu berpotensi digugut secara hukum oleh pihak yang kalah, sehingga mengharuskan pemilihan ulang.

Sungguh tak terbayangkan jika dilaksanakan pemilihan ulang. Berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan lagi. Belajar dari kasus pilgub Jatim yang melakukan pemilihan ulang dibeberapa kabupaten. Itu saja menghabiskan ratusan miliyar rupiah. Coba kita renungkan, kalau pemilihan ulang secara Nasional. Lihat saja dari KPU tahun 2007 kemarin mengajukan anggaran pemilu Rp 47, 9 triliun.
Padahal kita dalam keadaan krisis ekonomi. Kalau sudah seperti ini, tentu rakyat kecillah yang jadi korban, lebih-lebih para caleg itu sendri. Seperti tim Karsa kemarin telah menghabiskan dana Rp 1, 3 triliun, hal tersebut disebabkan adanya pemilihan ulang. Semoga KPU, Pemerintah dan parpol diilhami solusi yang terbaik untuk masyarakat Indonesia. Amiin


Februari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar