Oleh : M. Abu Laka SY *)
Penggelembungan Data
Pemilih Tetap (DPT) bukan lagi isapan jempol belaka. Berdasarkan laporan 18
Partai Politik (Parpol) di Jakarta, Selasa (24/3) ditemukan data fiktif DPT di
17 Provinsi. Ada yang dilakukan dengan cara menggandakan Nomor Induk Kependudukan
(NIK) dengan nama yang berbeda. Sebagain lain memasukan orang-orang yang secara
umur sebetulnya belum memenuhi syarat untuk memilih. Dan celakanya lagi ada
yang sudah meninggal dunia, tapi tetap terdaftar sebagai DPT. (KR, 27/3/2009).
Sontak, masalah ini
menjadi perdebatan hangat publik dan juga pihak-pihak terkait. Seperti
diketahui berbagai media baik cetak maupun eloktronik gencar memberitakan
perdebatan DPT. Terkait masalah ini, terjadi perselisihan krusial antara data
yang dimiliki oleh KPU dengan data yang dimiliki parpol yang diperoleh secara
langsung dari daerah-daerah pemilihan. Akibat kejadian ini memicu terjadinya
interpretasi beragam yang dikeluarkan oleh parpol, LSM, kalangan akademisi dan
tidak ketinggalan masyarakat biasa.
Sebagian dari kalangan
parpol beranggapan bahwa kesalahan DPT bukan lagi kesalahan pendataan (human
eror), tetapi terdapat konspirasi besar yang sistemis dan memiliki
kepentingan politik. Sementara itu, menyoal masalah ini kalangan akademisi
lebih mengkritisi kinerja pemerintah dalam mengatur data kependudukan. Menurut
mereka, pemerintah lamban memperbaharui data terbaru sehingga banyak
kesalahan informasi, seperti orang yang sudah meninggal dunia masih terdata.
Lain lagi dari masyarakat biasa—mereka berpendapat masalah ini hanya rekayasa
bagi parpol yang belum siap bertarung pada Pemilu Legislatif 9 April mendatang.
Lepas dari semua tafsir di
atas, menurut penulis hal itu tidak penting diperdebatkan lebih jauh. Toh
penggelembungan DPT adalah fakta lapangan yang sudah dikroscek langsung oleh
beberapa parpol ke daerah pemilihan. Ironis bukan? Disaat ritual suci demokrasi
itu tinggal hitungan hari, tapi persoalan krusial ini belum juga menemukan
solusi terbaik bagi semua pihak.
Lihat saja, PDIP yang
pertama manemukan ada penggelembungan DPT di beberapa wilayah pemilihan
Provinsi Jawa Timur. Bahkan data terbaru yang dikeluarkan oleh PDIP sebagaimana
disampaikan oleh Sekjen PDIP, Pramono Anung pada acara Mata Kamerah Tv one
(26/3), bahwa ada penambahan 20 % tiap-tiap TPS di Jatim.
Tentu, kisru DPT akan
berbuntut panjang kalau tidak ada pihak yang mau mengalah. Dalam menyikapi hal
ini dibutuhkan kedewasaan bersikap antara KPU dan pihak lain. Bukan malah
saling menyalahkan dan menyerang seperti yang terlihat sekarang.
Tengoklah, Ketua KPU,
Abdul Hafiz Anshori malah menantang pihak yang menemukan data fiktif untuk adu
kevalidan data. Sikap demikian seakan melegitimasi pendirian bahwa data KPU
adalah harga mati. Dengan kalimat lain, mereka menganggap datanya paling valid,
padahal di lapangan sudah jelas ditemukan penggelembungan DPT.
Akibat masalah DPT, Pemilu
pun terancam diundur. Kontan, reaksi keras datang dari Presiden SusiloBambang
Yudhoyono. Menurut SBY penundaan pemilu adalah perbuatan melanggar UUD 1945.
dari sini, itu artinya Pemilu tidak mungkin diundur.
Tetapi sisi lain, kalau
persoalan DPT tidak bisa diselesaikan sampai proses pemilu berjalan, maka hasil
pemilu terancam cacat hukum. Alhasil, jika Pemilu tetap diselenggarakan bukan
tak mungkin akan terjadi gugatan dari pihak yang mempunyai data penggelembungan
DPT. Nah, kalau sudah seperti ini bukankah masalah itu akan mengancam proses
demokratisisasi yang telah kita bangun bersama?
Pelajaran penting
Pemerintah
Perselisihan DPT mestinya
juga dijadikan bahan intropeksi bagi pemerintah, khususnya departemen
kependudukan. Data yang dijadikan acuan dari KPU diambil dari Data Penduduk
Potensi Pemilih Pemilu (DP4) yang dikeluarkan oleh departemen dalam negari.
Kalau data tersebut tidak cocok yang ada dilapangan, berarti data yang dimiliki
pemerintah tidak valid, maka patut dipertanyakan kinerja pemerintah bidang
departemen kependudukan. Indikasi penggelembungan DPT juga terlihat dari adanya
NIK yang ganda dengan nama yang berbeda. Lagi-lagi NIK juga dikelurkan oleh
pemerintah.
Bagi Penulis kalau
pemerintah sepenuhnya melimpahkan tanggung jawab kepada KPU akan kevalidan DPT.
Hal tersebut terkesan pemerintah mau lepas tangan dan tidak mau disalahkan.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Informasi dan Komunikasi, Mohammad
Nuh, DPT sepenuhnya tanggung jawab KPU. Meskipun secara hukum validasi adalah
tanggung jawab KPU, namun paling tidak dari pemerintah mempunyai tanggung jawab
moral sebagai pihak yang mengeluarkan data yang dijadikan acuan utama DPT.
Maka sewajarnya pemerintah
turut berperan menyelesaikan kisru DPT ini. Kalau
sudah ditemukan ada 17 provinsi terdapat penggelembungan, saya kira bukan lagi human
eror. Maka, tinggal dua pertanyaan yang patut kita ajukan. Pertama apakah
memang ada konspirasi yang diatur oleh sistem tertentu? atau mungkinkah kinerja
pemerintah yang lemah dalam mendata penduduk, sehingga banyak kesalahan DPT?
Kalau saja benar kesalahan pemerintah dalam mendata,
maka ada pertanyaan mendasar untuk pemerintah. Data penduduknya saja tidak
paham, bagaimana pemerintah mau mengetahui kondisi masyarakatnya? Kalau tidak
tahu kondisi masyarakat, bagiamana mau mensejahterakan rakyatnya? Kedepan PR
pemerintah bagaimana manajemen pendataan penduduk bisa dimaksimlkan lagi,
sehingga data penduduk benar-benar valid. Dan
bagimana caranya penduduk memiliki kesadaran yang tinggi akan hak pilih
mereka, sebagaimana terjadi di AS, penduduk datang dengan sendirinya untuk
mendaftarkan diri sebagai peserta pemilih
Transparansi,
solusi harga mati
Sebenarnya perselisihan
DPT adalah persoalan mudah, tapi dipersulit. Langkah KPU tidak menginginkan
pemilu diundur tanpa menyelesaikan persoalannya merupakan tindakan yang
mempersulit keadaan. Dan terkesan KPU tidak memberikan sikap kedewasaan sebagai
lembaga tertinggi dalam ranah pesta demokrasi. Dalam kondisi serba sulit ini,
semestinya semua pihak bekerjasama mencari solusi terbaik. Maka, transparansi
data dari KPU adalah harga mutlak, yang selanjutnya mencocokan DPT yang
dimiliki KPU dengan pihak yang mempersoalkan (parpol).
jika pemilu tetap
dilaksanakan sesuai jadwal dan perselisihan DPT tidak diselesaikan, maka parpol
oposisi menganggap penggelembungan dilakukan oleh orang-orang yang memegang
sistem kekuasaan. Dan yang lebih mengerikan lagi hasil pemilu berpotensi
digugut secara hukum oleh pihak yang kalah, sehingga mengharuskan pemilihan
ulang.
Sungguh tak terbayangkan
jika dilaksanakan pemilihan ulang. Berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan
lagi. Belajar dari kasus pilgub Jatim yang melakukan pemilihan ulang dibeberapa
kabupaten. Itu saja menghabiskan ratusan miliyar rupiah. Coba kita renungkan,
kalau pemilihan ulang secara Nasional. Lihat saja dari KPU tahun 2007 kemarin
mengajukan anggaran pemilu Rp 47, 9 triliun.
Padahal kita dalam keadaan
krisis ekonomi. Kalau sudah seperti ini, tentu rakyat kecillah yang jadi
korban, lebih-lebih para caleg itu sendri. Seperti tim Karsa kemarin telah
menghabiskan dana Rp 1, 3 triliun, hal tersebut disebabkan adanya pemilihan
ulang. Semoga KPU, Pemerintah dan parpol diilhami solusi yang terbaik untuk
masyarakat Indonesia. Amiin
Februari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar