Oleh: Abu Laka
Dunia
sepakbola Indonesia kembali dirundung duka seiring meninggalnya tiga fans yang
diklaim suporter jakmania. Peristiwa tersebut menambah catatan hitam persepakbolaan
Indonesia ditengah banyaknya problem yang menimpa PSSI. Belum selesai persoalan
satu, datang lagi persoalan lain. Lantas, sampai kapan sepakbola kita akan
bersih dari semua problem.
dari
banyaknya problem yang terjadi tentunya berpengaruh terhadap prestasi para
pemain. Lihat saja prestasi para peunggawa timnas kita, nampaknya semakin hari mengalami
degragasi. Melihat realitas ini, mestinya dari semua elemen dapat berintropeksi
diri mengapa hal ini bisa terjadi?
Sungguhkah
fenomena ini faktor dominan karena menurunnya skill anak bansa Indonesia. Bagi
penulis tidak demikian. Terbangunnya kualitas para pemian tidak terlepas dari
bagaimana system yang dibangun. Bicara system, maka pemerintahnlah yang
bertanggung jawab sebagai pemegang dan penentu kebijkan yang dilahirkan dalam
system itu sendiri.
Misalkan,
andai saja system atau aturan yang di buat oleh pemerintah tegas dan dapat
diaplikasi sesuai tujuan, tentu saja peristwa nahas yang menelan tiga korbam
jiwa pada laga Persija Vs Persib tidak akan terjadi. Artinya peran dari
pemerintah sangat signifikan dalam menciptakan kondusiftas keamanan, Kenyamanan
dan keteriban baik bagi para pemian, penonton dan lebih umumnya masyarakat
Indonesia.
Sederhana
saja, jika soal keamanan saja tidak terjamin, terus bagaimana para pemain akan
leluasa untuk tampil yang terbaik untuk bangsa ini. Dari itulah peran
pemerintah sangat dibtuhkan dalam membuat dan merealisasikan regulasi yang
tegas, agar dikemudaian hari tidak terjadi lagi peristiwa-peristiwa yang
melakui anak bangsa Indonesia.
Potret Karakter Bangsa
Terlepas peran dari pemerintah
yang kurang maksimal membuat dan mngontrol aturan. Diakui atau tidak bahwa kejadian
pengeroyokan suporter Jakmania juga menggambarkan karakter masyarakat
Indonesia. Berawal dari ketidak puasan hasil yang dimainkan para club fans
mereka, memunculkan anarkisme yang berujung menelan korban jiwa. Hal ini
menunjukan prinsip sportifitas belum tertanam pada diri suporter bola di
Indonesia. Apakah fakta itu mengindikasikan karakter bagsa kita?
Bisa saja benar dan juga salah.
Bagi penulis tidak juga sepenuhnya anarkisme para fans bola menggambarkan
karakter anak Bangsa. Mengapa demikian? Tentu saja jawabanya, bagaiman kita
(baca; myarakat Indonesia) akan meralisasikan nilai-nilai legowo (sportif),
sedangkan para elit saja tidak bisa sportif dalam membuat kebijakan dan
menjalankan tugas bangsa. Fakta tersebut tercermin dari beberapa pronlem yang
terjadi di tubuh PSSI, seperti dualisme kepemimpin, dualisme penyelenggara liga
Indonesia, belum lagi perekrutan timnas yang tidak sesuai harapan rakyat
Indonsia.
Apa yang penulis sebutkan diatas
adalah sebagian masalah yang terjadi di tubuh PSSI, masih banyak persoalan lain
yang belum terselesaikan. Tentu saja semua persoalan yang menimpa sepak bola
kita akan berpengeruh di setiap linih dalam dunia sepak bola. Ironisnya, atas
apa yang terjadi di organisasi bola yang paling tinggi di Indonesia di pertontonkan
secara vulgar dihadapan rakyat Indonesia bahkan di mata Internasional.
Lihat saja yang baru terjadi
ketika laga Indonesia Vs ….dengan skor yang sangat memalukan pasukan timnas
dimata Internasional. Ternyata dalam penentuan para pemain timnas ada beberapa
aturan yang tidak ditaati, dalam artian perekrutan tidak sesuai prosedur yang
berlaku. Dari kasus ini menuntut Menpora turun tangan untuk ikut andil
menyelesaikan. Tidak hanya menpora yang terlibat, bahkan FIFA pun harus ikut
campur dalam penyelesaian masalah ini.
Dari kejadian ini dapat kita
jadikan pelajaran betapa para pemimpin kita tidak bisa jadi teladan dalam
memegang prinsip sportifitas. Sportifitas sebagai sebuah nilai yang seharus
dipegang dan diterapkan oleh siapapun dan setiap lini kehidupan. Termasuk
pemerintah sebagai pembuat kebijakan, mestinya sportif dalam menjalankannya.
Artinya, semua elit harus taat pada semua aturan main yang telah dibuat oleh
pihak yang berwenang.
Jika semua elemen menerapkan
prinsip sportifitas mungkin tidak akan terjadi masalah dualisme kepemimpinan
dan penyelenggara laga bergensi tersbut. Semakin tinggi prinsip sportiftas di
pegang oleh para pejabat, maka akan semakin tinggi sikap legowo baik pihak yang menang ataupun yang kalah. Penulis yakin,
jika para pemimpin kita bisa memberikan teladan dalam merealisasikan nilai
sportifitas, maka dengan sendirinya para fans club bola lambat laun akan
belajar dengan sendirinya.
Memang tidak muda bagi para elit
untuk menerapkan sikap menerima lapang dada jika kalah dalam berkompetisi. Fenomena itu sangatlah wajar bila terjadi di tingkatan
elit pemerintah kita. Mengapa demikian, karena kebiasaan para elit kita dari
dulu sampai sekarang yang tidak bisa ditinggalkan adalah lebih mengutamakan
kepentingan kelompok dari pada kepentingan untuk orang banyak. Itu artinya,
para pemegang kebjikan tidak hanya meikirkan prstasisi, kualitas pemian dan
kenyamana fans dan masyarakat. Singkatnya, jika yang dihasilkan tidak
menguntungkan golongan mereka, maka kemungkinan akan dibuat kebijakan atau
gerakan baru yang dapat mengangkat kepentingan golongan mereka.
Jika
pemerintah menginginkan prestasi anak bangsa meningkat dan kejadian-kejadian
menelan korban jiwa, maka bagi penulis wajib hukumnya para elit (pemerintah) memberikan
contoh bahwa mereka adalah orang-orang yang berkomitmen memegang prinsip
sportif. Indonesia memang berada pada situasi krisis teladan oleh para pemimpin
Bangsa ini. Para elit saja tidak bisa mencerminkan sifat sportif yang notabene
mereka adalah orang-orang yang terdidik, apalagi masyarakat biasa.
Seharusnyanya
kejadian nahas ini, dijadikan momentum bagi pemerintah untuk berbenah diri dari
sekian persoalan yang menyelimuti di dunia persepak bolaan Indonsesia.
Sebenarnya yang ingin saya katakan bahwa pemerintah sebagai pemegang kebijakan
harus bertanggung jawab dari semua persoalan yang terjadi yang itu terkait
dengan dunia sepak bola. Saya pikir, jika pemerintah mau membuka mata kemudian
menjadikan peristiwa ini sebagai kelemahan dan kelalai dalam menjalan aturan
yang sudah ada. Maka masyarkat (baca fans) juga akan belajar dari pemerintah.
Sederhanya, masyarakat menganggap para elit
saja sudah menyadari hal demikian. Apa lagi kita sebagai rakyat biasa
yang mestinya harus lebih dari peran pemerintah.
Dengan
dmikian masyarakat akan semakin dewasa ketika para elit mau berbena diri.
Disinilah dibutuhkan teladan dari para pemimpin kita. Ketika teladan sudah ada
dari para elit, maka rakyat akan semakin belajar nilai sportifitas yang
kemudian akan diterapkan setiap mendatangi di laga-laga club kesayangan mereka.
Jika prinsip sportifitas sudah menjadi ruh para fans dalam memberikan dukungan
pada club tercinta mereka, maka tidak akan pernah lagi terjadi peristiwa
berdarah dimanapun laga dimainkan.
Maka
sesungguhnya, tidak semuanya kesalahan anarkis yang terjadi pada penonton
disalahkan kepada fans-fans fanatic terhadap clubnya. Semuanya harus
mengkoreksi diri, terutama elemen pemerintah yang bertanggung jawab membuat
kebijkan dan penyelegara semua laga di Indonesia. Harapan bersama, berangkat
dari evaluasi atas segalah yang terjadi baik di level pemain, fans dan yang
terpenting di level pemegang kebijakan, maka prestasi timnas Indonensia bisa
memberikan senyum terhadap rakyat Indonesia dan tdak ada lagi keributan yang
berujung menalan korba jiwa di manapun laga dilaksanakan.
Jika
semua itu dapat direalisasikan, secara otomatis wibawa sepak bola Indonesia
akan meningkat dimata dunia Internasional. Harapan ideal tersebut adalah
harapan kita bersama, dengan demikian adalah tugas bersama agar Indonesisa
bagkit dari buruknya prestasi dalam satu dasawarsa terkhir ini. Dari itulah
kita mulai dari sekarang, bukankah lebih baik terlambat dari pada tidak
melakukan samasekali. Semoga.
Tidak ada komentar: