Abulaka Archaida, Tokoh Muda Sumsel Peduli Kepemimpinan dan Kemandirian Pemuda - Abulaka Archaida

Senin, 29 Agustus 2016

Abulaka Archaida, Tokoh Muda Sumsel Peduli Kepemimpinan dan Kemandirian Pemuda


Abulaka Archaida


Tulung Selapan, Dibesarkan dalam kultur Islam tradisional, membentuk karakternya menjadi petarung yang pantang menyerah. Diteladani figur-figur ikhlas nan berilmu, membangung kepribadiannya menjadi sosok peduli dan lekat dengan kemandirian. Lahir di Palembang, 10 Oktober 1986, anak muda itu bernama Abulaka Archaida (AA).

Menurutnya, pemuda harus berkesadaran sosial, nasionalis, wirausaha, dan berpengetahuan tinggi, baik secara teori maupun pengalaman. Selanjutnya, pemuda harus mempunyai kesadaran sosial, karena itulah modal awal bergerak. 

“Kesadaran sosiallah yang mendorong pemuda berkontribusi nyata untuk keluarganya, masyarakat, bangsa, dan agama, sehingga dipastikan ia akan selalu terlibat dalam kegiatan positif untuk membangun negeri ini,” ujar Abulaka, Sabtu (18/11/2017).

Jiwa nasionalisme tinggi, sambungnya, harus dimiliki oleh pemuda, agar semua kemampuan yang dimiliki dapat tercurah untuk kepentingan bangsa, serta bukan kepentingan diri sendiri, keluarga, pengusaha, dan bangsa asing. 

“Banyak orang pintar di negeri ini, tapi mereka bekerja melayani kepentingan para koruptor dan bangsa asing. Lihat saja, yang terjadi, korupsi seolah menjadi tradisi yang bukan lagi tabu. Aset-aset negara dijual ke asing demi kepentingan kelompok. Kekayaan alam dikeruk untuk kepentingan asing, yang penting kelompok mereka banyak mendapat keuntungan. Itu semua terjadi karena kesadaran nasionalisme mereka sangat lemah. Mereka banyak dibekali pengetahuan hebat dengan teori-teori Barat yang menjajah Indonesia,” tandas alumnus Ponpes Al-Munaawir Krapyak, Bantul, Yogyakarta tersebut.

Abulaka juga memandang bahwa kewirausahaan penting dimiliki setiap pemuda agar tercipta insan yang mandiri-tegak dan tidak berpatron pada kekuatan siapa pun. 

“Kemandirian ekonomilah yang membuat kita kuat mempertahankan prinsip dan idealisme yang dimiliki. Banyak orang pintar memiliki skill sekelas ‘dewa’ tapi mereka masih diperbudak orang-orang berduit. Dan yang lebih memprihatinkan lagi, mereka menjadi budak orang asing atau bekerja di perusahaan asing,” tandasnya.

Ia menyebut, banyak orang pintar dan mempunyai idealime atas prinsip yang mereka pertahankan selama ini, tapi luntur, jika berhadapan dengan uang.



“Apa pun pekerjaan kita, kalau kita sudah memiliki aset untuk menopang kehidupan sehari-hari keluarga maka profesi yang kita jalani itu adalah sebuah pengabdian, bukan untuk mencari pundi-pundi rupiah semata. Ada yang jadi dokter, guru, penceramah, peneliti, pegawai negeri, dan profesi lainnya tidak maksimal dalam menjalankan tugas, karena fokusnya bukan pengabdian, tapi hanya sekadar melepas tanggung jawab lantaran sudah digaji,” ungkap tokoh yang rajin menulis itu. 

Merujuk pada kehidupan Nabi Muhammad SAW, Abulaka berpandangan, persoalan ekonomi harus selesai terlebih dahulu, baru kemudian berbicara pengabdian kepada masyarakat. 

“Muhammad diangkat menjadi Nabi pada umur 40 tahun, ketika ekonominya sudah stabil. Makanya ada yang berpendapat, sebelum menjadi ustaz, guru, penceramah, ya harus kaya dulu, agar ketika mengajar, kita fokus pada materi pelajarannya, bukan berapa besar isi amplopnya,” katanya lugas.

Tidak dapat dilupakan, tutur Abulaka, adalah ilmu pengetahuan sebagai hal paling mendasar yang dimiliki oleh setiap orang. 

“Ayat yang pertama kali turun adalah perintah membaca. Itu dapat dipahami bahwa pengetahuan sangatlah penting. Seorang mau jadi preman, guru, politisi, pengamat, dokter, filsuf, atau apa pun, tergantung pada ilmu yang ada di otaknya. Pengetahuan, baik didapat dari membaca buku atau langsung ditemukan di lapangan dari pengalaman hidup akan mempangaruhi kualitas cara hidup seseorang dalam menjalani aktivitas sehari-hari,” jelas mantan Pengurus Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ini.

Baginya, jangan sampai terjebak pada ilmu formal, karena hal yang lebih penting adalah ilmu hidup. Apabila ilmu formal dan ilmu hidup didapatkan akan lebih membekas dan merupakan berkah dari Tuhan. 

“Dengan pengetahuanlah hidup akan menjadi terarah. Ia seperti kompas yang akan menuntun langkah kita agar tidak tersesat dalam situasi serba-modern seperti sekarang. Para Pendiri Bangsa bisa memerdekakan Indonesia, karena pengetahuan yang mereka miliki. Tanpa pengetahuan yang mereka dapatkan melalui membaca, diskusi, dan menulis, bisa saja bangsa ini masih dalam kondisi dijajah sampai sekarang,” Abulaka semakin berapi-api.


Darma Pramuka

Boleh dikatakan, Abulaka kecil mendapatkan kesadaran berorganisasi, salah satunya, dari kegiatan Pramuka. Di tempat kelahirannya, Desa Ujung Tanjung, Kecamata Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, mulai SD dan berlanjut ke MTs Al-Ishlah, ia bergiat di kepramukaan dan dilatih para guru hebat dari Jawa Timur. Pada kesempatan itu, Abulaka benar-benar ditempa kedisiplinan, tanggung jawab, dan cara berbicara yang baik di depan publik. 

Dari segi pengalaman, Abulaka pernah turut dalam perkemahan tingkat sekolah, kecamatan, kabupaten, hingga provinsi, juga Jambore Daerah Sumsel 2000 di Taman Perkemahan Putih Kayu, Kota Palembang. 

Selain Pramuka, kesadaran sosial Abulaka dilatih oleh para guru dengan kegiatan takziah ke rumah keluarga teman sekolah yang meninggal dunia dan dianjurkan bertugas di masjid-masjid kampung sebagai bilal Shalat Jumat, muazin, mengajar mengaji, dan kegiatan keagamaan lain. 

“Bersamaan di masa sekolah MTs, kami diajarkan berorganisasi oleh Kanda Sahiri, alumni IAIN Raden Fatah Palembang. Setiap malam Jumat, yasinan bersama, belajar pidato, dan belajar ngaji,” kenangnya. 

Ia merasa, peran penting datang dari orangtuanya, yang selalu mendukung untuk tampil ke masyarakat. Bagi orangtua Abulaka, ilmu yang bermanfaat adalah yang diamalkan ke masyarakat.

Atas saran orangtua pula, ia melanjutkan Sekolah Menengah Atas di Pulau Jawa, tepatnya di Tegal, Jawa Tengah, tempat kelahiran Sang Bapak. Di Tegal, Abulaka memilih Madrasah Aliyah Negeri Babakan, Lebaksiu—dulunya, milik pesantren Ma’hadut Tholabah, kemudian berubah menjadi sekolah negeri. 

Ketika bersekolah di sana, kecintaan Abulaka kepada organisasi semakin menjadi. Hampir setiap kegiatan yang ada di sekolah, ia ikuti. Tak hanya Pramuka, ia aktif di Palang Merah Remaja (PMR), media sekolah bernama Mesis, pencak silat lokal Tegal, dan OSIS. Ketekunan dan kecintaan terhadap organisasi akhirnya mengantarkan Abulaka sebaga Pradana atau Ketua Pramuka MAN Babakan, meski dalam waktu bersamaan, ia harus rela menolak tawaran sebagai Ketua PMR.

Jiwa kepemimpinan tampak mulai tumbuh ketika itu, karena Abulaka dibebani tanggung jawab seluruh kegiatan Pramuka MAN Babakan. Banyak prestasi yang diraih selama ia memimpin Pramuka MAN Babakan, di antaranya Juara Latihan Gabungan Tingkat Kabupaten Tegal, Juara Peserta Delegasi Seleksi Unit Bantuan Pertolongan Pramuka (UBALOKA) PKC Kabupaten Tegal, dan menjadi peserta Raimuna Nasional (RAINAS) di Prambanan pada 2002. 

Setelah lulus, bersama teman-teman Pramuka, Abulaka menggagas organisasi alumni bernama Persatuan Alumni Anggota Pramuka MAN Babakan Lebaksiu Tegal atau PALAPA.


Santri Tulen yang Luar Biasa Aktif 

Di pesantren, Abulaka memegang tanggung jawab Ikatan Santri Tegal Barat (ISTB) yang sedang mondok di Pesantren Ma’hadutholabah Babakan. Ia belajar bertanggung jawab dan berdisiplin ketika harus menyetorkan hapalan, dan dihukum saat melanggar. 

“Ada acara seminggu dua kali, namanya musyawarah. Di sinilah saya berlatih tanggung jawab, karena harus menjelaskan materi yang sudah disepakati kepada teman-teman kelompok, layaknya guru mengajar di kelas. Setelah menjelaskan secara detail kemudian dilanjutkan tanya jawab dengan peserta musyawarah. Saya dididik secara mental menjadi seorang pemberani dalam menyampaikan pendapat kepada khalayak banyak,” Abulaka berkisah. 

Lulus MAN pada 2004, Abulaka mengabdi untuk pesantren. Ia ditugaskan Sang Kiai untuk mengurus semua administrasi pesantren, sembari menyelasaikan sekolah non-formal di pesantren.

Pada 2005, ia menempuh kuliah di Kampus Rakyat atau Kampus Putih, IAIN Sunan Kalijaga, yang sekarang bernama UIN Yogyakarta. 

“Kampus ini juga sering disebut Kampus Perlawanan, karena pusat anak gerakan di Jogja, ya di kampus ini,” paparnya bangga.

Ketika mengikuti OSPEK, selama seminggu, Abulaka bermalam di kampus bersama para aktivis senior, karena terpilih menjadi peserta debat ilmiah, mewakili Fakultas Dakwah di tingkat universitas. 

Interaksi dengan para aktivis senior dengan pengetahuan yang sangat mumpuni dan jiwa demonstran yang sangat tinggi, karena kesadaran sosial dalam diri yang kuat menginspirasi Abulaka. 

“Waktu seminggu itu mengawali perubahan kesadaran saya yang selama ini sekadar belajar untuk diri sendiri, berubah menjadi kesadaran bahwa kita punya tanggung jawab sosial. Apalagi sebagai mahasiswa, sudah menjadi kewajiban harus berkontribusi terhadap masyarakat,” Abulaka pun mengambil sikap sosialnya.

Pada proses ini, Abulaka lantas mengenal bahasa-bahasa ilmiah populer, serta buku-buku sejarah dan perjuangan para tokoh Pendiri Bangsa. Ia mulai jatuh cinta pada buku-buku sosial, perjuangan, dan sejarah. Sebelumnya, ia hanya mengenal buku pelajaran dan Kitab Kuning. 

Selama seminggu itu, para aktivis senior berkisah tentang kebebasan berpikir, perlawanan, perjuangan, ketimpangan sistem pendidikan, sejarah, dan tradisi para aktivis kampus rakyat yang sering turun ke jalan, serta menjadi barometer gerakan Jogja, bahkan nasional. Abulaka diyakinkan bahwa apabila kampusnya bergerak, otomatis akan diikuti kampus lain di luar Yogyakarta. 

“Doktrin mereka ke arah kesadaran sosial cukup mempengaruhi pola pikir saya yang memang selama ini normatif saja. Ya yang namanya hidup di lingkungan pesantren tidak terlalu banyak menyentuh perkembangan di luar lingkungan pesantren,” ucapnya.

Selanjutnya, muncul keinginan Abulaka untuk turut dalam organisasi ekstra-kampus yang sering menyuarakan kepentingan rakyat, seperti PMII, HMI, IMM, GMNI, FMN, dan KAMMI. Dengan pertimbangan dan saran para aktivis senior, akhirnya ia bergabung ke PMII, karena basic yang cenderung ke-NU-an, lebih cocok dengan ranah tradisi keseharian Abulaka. 

Bersama PMII, ia ditempa menjadi mahasiswa bertanggung jawab sosial serta peduli terhadap dinamika kenegaraan. Ia tidak lagi mengabaikan realitas sosial, seperti anak putus sekolah, kemiskinan, perampasan lahan, biaya sekolah yang mahal, serta peredaran narkoba yang mengancam masa depan generasi muda bangsa.

Semakin hari, kesadaran itu semakin bertumbuh, karena dibarengi dengan membaca buku, berdiskusi, menulis, menggelar aksi jalanan, dan advokasi lapangan terhadap masyarakat yang memperoleh rasa ketidakadilan, baik dari negara maupun dari bandit-bandit berdasi. Semakin tumbuh kesadaran sosial tersebut, semakin tinggi pula kecintaan Abulaka terhadap organisasi.

Keterlibatan Abulaka dalam organisasi semasa kuliah di Kampus Rakyat terhitung sangat maksimal. Pada waktu bersamaan, ia turut pula dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), seperti Pramuka, Bahasa Asing, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Rethor dan MD Training Center. 

Bukan hanya itu. Pada lingkungan Pesantren Krapyak, ia aktif di Forum Santri Tegal-Brebes (Foster) dan Korps Dakwah Masyarakat (Kodama). Sementara pada organisasi intra-kampus, ia aktif di BEM Jurusan sebagai Wakil Ketua, Forum Komunikasi Mahasiswa Manajemen Dakwah (FKM-MD) Seluruh Indonesia sebagai Ketua Umum Pertama, serta Senat Mahasiswa Universitas sebagai Ketua.

Ketika memegang amanah sebagai Ketua Umum FKM-MD Seluruh Indonesia dan Ketua Senat Mahasiswa Universitas, kesadaran Abulaka untuk berkontribusi kepada Ibu Pertiwi semakin tumbuh. Selama memegang amanah tersebut, ia dituntut mengurusi semua problem yang dialami mahasiswa UIN Jogja yang harus didampingi hingga lahir solusi. 

Pelaksanaan program kerja berbentuk seminar, kajian, workshop, atau kongres, Abulaka sering kali berjumpa dengan para pejabat negara. Dinamika itu membuat kesadaran sosialnya tentang pemuda yang harus berkontribusi nyata terhadap negeri ini, semakin menggebu. 

“Menuliskan ide setelah membaca dan mengamati realitas yang sedang terjadi, adalah bagian dari tradisiku menjalani hidup dalam dunia gerakan. Seringnya dimuat di media massa dalam bentuk opini dan resensi. Ada rasa kebanggaan tersendiri, karena ide kita dihargai oleh pihak redaktur, kemudian dipublikasikan,” ia bertutur lebih detail.

Meski ia pun mengaku, ketika mulai concern pada aksi jalanan untuk mengkritik banyak hal, tradisi menulisnya pun tak urung ikut berkurang.

“Puncaknya, ketika lahan kami dirampas pihak pengusaha sawit yang bekerja sama dengan Kepala Desa dan dilindungi pejabat Pemda. Semua itu membuat saya semakin yakin atas jalan yang digeluti hari ini. Keyakinan tentang pergerakan ranah sosial agar keluarga dan orang-orang lemah tidak menjadi bagian dari korban politik jahat persengkokolan para elite dengan para komprador yang sering merampas hak milik rakyat,” tegasnya tanpa gamang sejengkal pun.


Bergerak dan Berniaga

Abulaka terhitung tahan banting. Ia terus melakukan pendampingan kepada para pemuda yang sedang memulai membangun kesadaran sosial dan aktif organisasi. Ia mendorong dan memotivasi mereka untuk terus bergerak dan menciptakan sesuatu yang besar, agar generasi sekarang menyukai organisasi. 

Selain itu, ia turut mengontrol organisasi yang telah ada, seperti organisasi kedaerahan, intra kampus, ekstra kampus, kepenulisan, dan komunitas kepenulisan. Abulaka membentuk organ-organ baru yang sekiranya dibutuhkan dalam konteks kekininan. 

Ia bersama beberapa teman mendirikan organisasi kedaerahan bernama Aliansi Mahasiswa Pantai Timur (AMPATI) pada 2010, juga Ikatan Pemuda Pemuda Ujung Tanjung (IPPU) di kampung halaman dengan tujuan agar pemuda desa mengenal organisasi. 

Bukan hanya itu, ia mendorong terbentuknya Sanggar Sriwijaya dan terwujud pada 2014 bersamaan dengan Peringatan Hari Sumpah Pemuda. 

Abulaka mendorong mahasiswa Sumatera Selatan untuk membentuk Ikatan Keluarga Pelajar dan Mahasiswa (IKPM) awal 2017 dan dideklarasikan di Griya Agung Gubernur Sumsel. Sekarang, ia bersama teman-teman Sumsel lintas daerah mendorong pembentukan IKPM Sumsel Nusantara, yakni gabungan mahasiswa-mahasiswa Sumsel yang kuliah di berbagai daerah.

Tak lupa, Abulaka bergerak dalam bidang swasta atau berniaga. Bergerak di bidang bisnis bukan berarti melupakan tradisi akademik, karena pengetahuan tidak boleh dilepaskan. Ia berpandangan, jika tidak ditopang pengetahuan usaha yang digeluti tidak akan maksimal. 

“Kegemaran saya dalam dunia sosial jika tidak ditopang dengan usaha nyata tentu akan menyiksa saya, karena dalam pergerakan sosial membutuhkan ongkos tinggi. Tidak adanya keinginan menjadi PNS membuat saya mantap bergelut dalam bidang wiraswasta,” akunya jujur.

Benar adanya memang, karena sekian waktu, meskipun beberapa kali terjun dalam dunia bisnis, seperti pernah membuka usaha warung makan, pulsa, keripik, pakaian, sablon, dan jualan online, dengan hasil kurang maksimal, tidak menjadikan Abulaka surut dalam berbisnis. Justru rasa penasarannya semakin tinggi, karena belum mendapat jatah suksesnya. Apalagi, di saat bersamaan, ia tengah menyelesaikan pendidikan pascasarjana-nya di UIN Sunan Kalijaga konsentrasi Studi Politik dan Pemerintahan Islam, agar tradisi ilmiahnya tidak ditinggalkan.


Berkontribusi pada Sesama

Abulaka mengatakan, banyak orang penasaran, mengapa ia masih bertahan dalam ranah gerakan sosial yang bila menggunakan hitungan matematika, hasilnya tentu minus. Ia masih bertahan di jalur gerakan sosial, karena keyakinannya pada hadits Rasulullah Muhammad SAW, tentang sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat atas sesama manusia. 

“Apa pun kondisi hidup saya sekarang dan ke depan, saya tetap ingin berkontribusi atas sesama. Semua yang kita miliki, baik itu harta, jabatan, dan pengetahuan, tidak akan bermakna jika kita tidak berkontribusi pada peradaban zaman. Semasa saya hidup, paling tidak, ada sesuatu yang saya kerjakan dan itu bermakna serta bermanfaat bagi banyak orang,” tekadnya kuat.

Dunia gerakan sosial bagi Abulaka telah menjadi bagian kehidupan, bahkan hobi. Bila banyak berdiam di rumah dan tidak berkegiatan, ia justru pusing kepala. Kebiasaannya, di mana pun berada, ia ingin selalu berkegiatan dan berkaitan dengan orang banyak.

Pilihannya untuk eksis di jalur kepemudaan tentu bukan tanpa alasan. Bagi Abulaka, pemuda merupakan aset bangsa yang harus diberdayakan. Untuk melihat sebuah bangsa itu maju atau tidak, dapat dilihat kualitas generasi mudanya. Jika pemudanya produktif dan berkarya, tentu majulah negara tersebut. 


“Tesis saya pun bicara Gerakan Mahasiswa pasca-98. Artinya, baik di lapangan maupun dalam dunia bacaan teori, saya suku topik kepemudaan. Sejarah negara ini adalah sejarah pemuda, karena setiap momentum penting, pemuda selalu terlibat dan bahkan menjadi garda terdapan dalam memulai suatu perubahan,” Abulaka berkata mantap.

Meski begitu, ia tidak lantas apolitis, karena sadar bahwa semua keputusan penting bangsa ini dilahirkan dari politik. Abulaka mengutip pendapat penyair Jerman, Bertolt Brecht bahwa buta yang terburuk adalah buta politik, yakni tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. 

Ia menjelaskan, orang-orang yang buta politik tidak akan mengerti perkembangan negara dan bahkan tidak paham telah menjadi bagian dari korban politik. Pemahaman dasar itulah yang membuat Abulaka mengharuskan diri untuk mengerti politik. Menilik pengalaman pribadinya, sewaktu tanah keluarga dirampas pihak perusahaan, bagi Abulaka, sangatlah berkaitan dengan aktivitas politik. 

“Saya tidak ingin hal itu terjadi lagi, baik kepada keluarga saya maupun orang lain. Oleh karena itu, saya harus paham politik, dan bila perlu, terjun langsung,” kali ini, ia lebih dari sungguh-sungguh. 


Pemuda Peka Zaman

Lebih jauh, Abulaka berpandangan, desain zaman dan sistem demokrasi liberal yang kini menjadi tantangan terberat dalam mempertahankan idealisme. Era modern telah terjebak pada wilayah simbolis di mana banyak orang lebih mengedepankan bungkus daripada isi. Penampilan manusianya dituntut serba-modern dan harus mengikuti perkembangan zaman. 

“Setiap orang seperti diharuskan memiliki akun media sosial, agar tergolong generasi yang gaul. Budaya nongkrong mulai menjamur dan menghabiskan waktu produktif. Semua fenomena tersebut terus menggerus tradisi ilmiah yang berkaitan dengan pendirian idealisme,” bebernya sedikit khawatir.

Situasi demokrasi liberal, lanjutnya, berujung pada semua hal yang mesti diselesaikan dengan uang, termasuk dalam dunia gerakan; terkontaminasi hal-hal yang mengarah transaksional. Hal tersebut, ulas Abulaka, telah menjadi tuntutan zaman, karena negara dikontrol oleh pasar. Watak pasar pun berbicara dan mempengaruhi generasi muda sekarang.

Bagaimana berhadapan dengan situasi seperti ini? Abulaka pun terus aktif dan mendampingi kader-kader organisasi yang masih beridealisme, membesarkan organisasi dengan tujuan menciptakan kesadaran generasi muda untuk berbuat atas sesama. 


“Saya sering kontak jaringan yang ada di daerah tanah kelahiran saya, Sumatera Selatan, dan sekitarnya. Biasanya, jadwal Hari Minggu saya, selain untuk beristrahat juga untuk menelpon semua jaringan yang pernah saya rintis atau sekadar berkomunikasi. Biasanya saya bertanya tentang perkembangan dan mengingatkan tujuan, jika mereka tengah lesu bergerak. Saya memberikan motivasi agar pergerakan terus berjalan, dan bercerita harapan bersama untuk membuat perubahan nyata bagi daerah,” ucap Abulaka.

Abulaka berpendapat, Indonesia di masa mendatang, tergantung pada pemudanya hari ini. Menurutnya, Indonesia sedang mengalami bonus demografi, di mana penduduk usia produktif sangatlah banyak. Jika generasi usia produktif tidak dipersiapkan sejak dini maka Indonesia terancam menjadi Negara Gagal, karena pemuda yang termasuk generasi usia produktif akan membebani negara, jika mereka tidak dipersiapkan memiliki SDM berkualitas. 

“Pemimpin-pemimpin daerah yang memahami sejarah tentulah tidak memandang sebelah mata peran pemuda dalam memajukan daerah,” pesannya bagi para pemimpin daerah.

Indonesia, sambungnya, berpeluang menjadi kiblat perubahan kekuatan dunia. Kiblat dunia dari Benua Eropa akan bergeser ke Asia Pasifik, dan arahnya menuju Ibu Pertiwi. 

“Belum lagi sudah diberlakukannya perdagangan bebas. Semestinya, disambut pemuda dengan wawasan internasional agar mampu bersaing dengan orang-orang asing yang memang SDM mereka berkualitas. Jika tidak bersaing dalam skala internasioal maka pemuda kita akan menjadi budak di negeri sendiri. Ketika keran perdagangan bebas sudah dibuka pemerintah, mau tidak mau, pemuda harus mempersiapkan diri agar bisa bersaing, go international,” pungkasnya. (sumber: palembangdaily.com)

Tidak ada komentar:

@abulaka