![]() |
Abulaka Archaida |
Tulung Selapan, Dibesarkan dalam
kultur Islam tradisional, membentuk karakternya menjadi petarung yang pantang
menyerah. Diteladani figur-figur ikhlas nan berilmu, membangung kepribadiannya
menjadi sosok peduli dan lekat dengan kemandirian. Lahir di Palembang, 10
Oktober 1986, anak muda itu bernama Abulaka Archaida (AA).
Menurutnya, pemuda harus berkesadaran sosial, nasionalis,
wirausaha, dan berpengetahuan tinggi, baik secara teori maupun pengalaman.
Selanjutnya, pemuda harus mempunyai kesadaran sosial, karena itulah modal awal
bergerak.
“Kesadaran sosiallah yang mendorong pemuda berkontribusi nyata
untuk keluarganya, masyarakat, bangsa, dan agama, sehingga dipastikan ia akan
selalu terlibat dalam kegiatan positif untuk membangun negeri ini,” ujar
Abulaka, Sabtu (18/11/2017).
Jiwa nasionalisme tinggi, sambungnya, harus dimiliki oleh pemuda,
agar semua kemampuan yang dimiliki dapat tercurah untuk kepentingan bangsa,
serta bukan kepentingan diri sendiri, keluarga, pengusaha, dan bangsa
asing.
“Banyak orang pintar di negeri ini, tapi mereka bekerja melayani
kepentingan para koruptor dan bangsa asing. Lihat saja, yang terjadi, korupsi
seolah menjadi tradisi yang bukan lagi tabu. Aset-aset negara dijual ke asing
demi kepentingan kelompok. Kekayaan alam dikeruk untuk kepentingan asing, yang
penting kelompok mereka banyak mendapat keuntungan. Itu semua terjadi karena
kesadaran nasionalisme mereka sangat lemah. Mereka banyak dibekali pengetahuan
hebat dengan teori-teori Barat yang menjajah Indonesia,” tandas alumnus Ponpes
Al-Munaawir Krapyak, Bantul, Yogyakarta tersebut.
Abulaka juga memandang bahwa kewirausahaan penting dimiliki setiap
pemuda agar tercipta insan yang mandiri-tegak dan tidak berpatron pada kekuatan
siapa pun.
“Kemandirian ekonomilah yang membuat kita kuat mempertahankan
prinsip dan idealisme yang dimiliki. Banyak orang pintar memiliki skill sekelas
‘dewa’ tapi mereka masih diperbudak orang-orang berduit. Dan yang lebih memprihatinkan
lagi, mereka menjadi budak orang asing atau bekerja di perusahaan asing,”
tandasnya.
Ia menyebut, banyak orang pintar dan mempunyai idealime atas
prinsip yang mereka pertahankan selama ini, tapi luntur, jika berhadapan dengan
uang.
“Apa pun pekerjaan kita, kalau kita sudah memiliki aset untuk
menopang kehidupan sehari-hari keluarga maka profesi yang kita jalani itu
adalah sebuah pengabdian, bukan untuk mencari pundi-pundi rupiah semata. Ada
yang jadi dokter, guru, penceramah, peneliti, pegawai negeri, dan profesi
lainnya tidak maksimal dalam menjalankan tugas, karena fokusnya bukan
pengabdian, tapi hanya sekadar melepas tanggung jawab lantaran sudah digaji,”
ungkap tokoh yang rajin menulis itu.
Merujuk pada kehidupan Nabi Muhammad SAW, Abulaka berpandangan,
persoalan ekonomi harus selesai terlebih dahulu, baru kemudian berbicara
pengabdian kepada masyarakat.
“Muhammad diangkat menjadi Nabi pada umur 40 tahun, ketika
ekonominya sudah stabil. Makanya ada yang berpendapat, sebelum menjadi ustaz,
guru, penceramah, ya harus kaya dulu, agar ketika mengajar, kita fokus pada
materi pelajarannya, bukan berapa besar isi amplopnya,” katanya lugas.
Tidak dapat dilupakan, tutur Abulaka, adalah ilmu pengetahuan
sebagai hal paling mendasar yang dimiliki oleh setiap orang.
“Ayat yang pertama kali turun adalah perintah membaca. Itu dapat
dipahami bahwa pengetahuan sangatlah penting. Seorang mau jadi preman, guru,
politisi, pengamat, dokter, filsuf, atau apa pun, tergantung pada ilmu yang ada
di otaknya. Pengetahuan, baik didapat dari membaca buku atau langsung ditemukan
di lapangan dari pengalaman hidup akan mempangaruhi kualitas cara hidup
seseorang dalam menjalani aktivitas sehari-hari,” jelas mantan Pengurus
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY) ini.
Baginya, jangan sampai terjebak pada ilmu formal, karena hal yang
lebih penting adalah ilmu hidup. Apabila ilmu formal dan ilmu hidup didapatkan
akan lebih membekas dan merupakan berkah dari Tuhan.
“Dengan pengetahuanlah hidup akan menjadi terarah. Ia seperti
kompas yang akan menuntun langkah kita agar tidak tersesat dalam situasi
serba-modern seperti sekarang. Para Pendiri Bangsa bisa memerdekakan Indonesia,
karena pengetahuan yang mereka miliki. Tanpa pengetahuan yang mereka dapatkan
melalui membaca, diskusi, dan menulis, bisa saja bangsa ini masih dalam kondisi
dijajah sampai sekarang,” Abulaka semakin berapi-api.
Darma Pramuka
Boleh dikatakan, Abulaka kecil mendapatkan kesadaran
berorganisasi, salah satunya, dari kegiatan Pramuka. Di tempat kelahirannya,
Desa Ujung Tanjung, Kecamata Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir,
mulai SD dan berlanjut ke MTs Al-Ishlah, ia bergiat di kepramukaan dan dilatih
para guru hebat dari Jawa Timur. Pada kesempatan itu, Abulaka benar-benar
ditempa kedisiplinan, tanggung jawab, dan cara berbicara yang baik di depan
publik.
Dari segi pengalaman, Abulaka pernah turut dalam perkemahan
tingkat sekolah, kecamatan, kabupaten, hingga provinsi, juga Jambore Daerah
Sumsel 2000 di Taman Perkemahan Putih Kayu, Kota Palembang.
Selain Pramuka, kesadaran sosial Abulaka dilatih oleh para guru
dengan kegiatan takziah ke rumah keluarga teman sekolah yang meninggal dunia
dan dianjurkan bertugas di masjid-masjid kampung sebagai bilal Shalat Jumat,
muazin, mengajar mengaji, dan kegiatan keagamaan lain.
“Bersamaan di masa sekolah MTs, kami diajarkan berorganisasi oleh
Kanda Sahiri, alumni IAIN Raden Fatah Palembang. Setiap malam Jumat, yasinan
bersama, belajar pidato, dan belajar ngaji,” kenangnya.
Ia merasa, peran penting datang dari orangtuanya, yang selalu
mendukung untuk tampil ke masyarakat. Bagi orangtua Abulaka, ilmu yang
bermanfaat adalah yang diamalkan ke masyarakat.
Atas saran orangtua pula, ia melanjutkan Sekolah Menengah Atas di
Pulau Jawa, tepatnya di Tegal, Jawa Tengah, tempat kelahiran Sang Bapak. Di
Tegal, Abulaka memilih Madrasah Aliyah Negeri Babakan, Lebaksiu—dulunya, milik
pesantren Ma’hadut Tholabah, kemudian berubah menjadi sekolah negeri.
Ketika bersekolah di sana, kecintaan Abulaka kepada organisasi
semakin menjadi. Hampir setiap kegiatan yang ada di sekolah, ia ikuti. Tak
hanya Pramuka, ia aktif di Palang Merah Remaja (PMR), media sekolah bernama
Mesis, pencak silat lokal Tegal, dan OSIS. Ketekunan dan kecintaan terhadap
organisasi akhirnya mengantarkan Abulaka sebaga Pradana atau Ketua Pramuka MAN
Babakan, meski dalam waktu bersamaan, ia harus rela menolak tawaran sebagai
Ketua PMR.
Jiwa kepemimpinan tampak mulai tumbuh ketika itu, karena Abulaka
dibebani tanggung jawab seluruh kegiatan Pramuka MAN Babakan. Banyak prestasi
yang diraih selama ia memimpin Pramuka MAN Babakan, di antaranya Juara Latihan
Gabungan Tingkat Kabupaten Tegal, Juara Peserta Delegasi Seleksi Unit Bantuan
Pertolongan Pramuka (UBALOKA) PKC Kabupaten Tegal, dan menjadi peserta Raimuna
Nasional (RAINAS) di Prambanan pada 2002.
Setelah lulus, bersama teman-teman Pramuka, Abulaka menggagas
organisasi alumni bernama Persatuan Alumni Anggota Pramuka MAN Babakan Lebaksiu
Tegal atau PALAPA.
Santri Tulen yang Luar Biasa Aktif
Di pesantren, Abulaka memegang tanggung jawab Ikatan Santri Tegal
Barat (ISTB) yang sedang mondok di Pesantren Ma’hadutholabah Babakan. Ia
belajar bertanggung jawab dan berdisiplin ketika harus menyetorkan hapalan, dan
dihukum saat melanggar.
“Ada acara seminggu dua kali, namanya musyawarah. Di sinilah saya
berlatih tanggung jawab, karena harus menjelaskan materi yang sudah disepakati
kepada teman-teman kelompok, layaknya guru mengajar di kelas. Setelah
menjelaskan secara detail kemudian dilanjutkan tanya jawab dengan peserta
musyawarah. Saya dididik secara mental menjadi seorang pemberani dalam
menyampaikan pendapat kepada khalayak banyak,” Abulaka berkisah.
Lulus MAN pada 2004, Abulaka mengabdi untuk pesantren. Ia ditugaskan
Sang Kiai untuk mengurus semua administrasi pesantren, sembari menyelasaikan
sekolah non-formal di pesantren.
Pada 2005, ia menempuh kuliah di Kampus Rakyat atau Kampus Putih,
IAIN Sunan Kalijaga, yang sekarang bernama UIN Yogyakarta.
“Kampus ini juga sering disebut Kampus Perlawanan, karena pusat
anak gerakan di Jogja, ya di kampus ini,” paparnya bangga.
Ketika mengikuti OSPEK, selama seminggu, Abulaka bermalam di
kampus bersama para aktivis senior, karena terpilih menjadi peserta debat
ilmiah, mewakili Fakultas Dakwah di tingkat universitas.
Interaksi dengan para aktivis senior dengan pengetahuan yang
sangat mumpuni dan jiwa demonstran yang sangat tinggi, karena kesadaran sosial
dalam diri yang kuat menginspirasi Abulaka.
“Waktu seminggu itu mengawali perubahan kesadaran saya yang selama ini sekadar belajar untuk diri sendiri, berubah menjadi kesadaran bahwa kita punya tanggung jawab sosial. Apalagi sebagai mahasiswa, sudah menjadi kewajiban harus berkontribusi terhadap masyarakat,” Abulaka pun mengambil sikap sosialnya.
“Waktu seminggu itu mengawali perubahan kesadaran saya yang selama ini sekadar belajar untuk diri sendiri, berubah menjadi kesadaran bahwa kita punya tanggung jawab sosial. Apalagi sebagai mahasiswa, sudah menjadi kewajiban harus berkontribusi terhadap masyarakat,” Abulaka pun mengambil sikap sosialnya.
Pada proses ini, Abulaka lantas mengenal bahasa-bahasa ilmiah
populer, serta buku-buku sejarah dan perjuangan para tokoh Pendiri Bangsa. Ia
mulai jatuh cinta pada buku-buku sosial, perjuangan, dan sejarah. Sebelumnya,
ia hanya mengenal buku pelajaran dan Kitab Kuning.
Selama seminggu itu, para aktivis senior berkisah tentang
kebebasan berpikir, perlawanan, perjuangan, ketimpangan sistem pendidikan,
sejarah, dan tradisi para aktivis kampus rakyat yang sering turun ke jalan, serta
menjadi barometer gerakan Jogja, bahkan nasional. Abulaka diyakinkan bahwa
apabila kampusnya bergerak, otomatis akan diikuti kampus lain di luar
Yogyakarta.
“Doktrin mereka ke arah kesadaran sosial cukup mempengaruhi pola
pikir saya yang memang selama ini normatif saja. Ya yang namanya hidup di
lingkungan pesantren tidak terlalu banyak menyentuh perkembangan di luar
lingkungan pesantren,” ucapnya.
Selanjutnya, muncul keinginan Abulaka untuk turut dalam organisasi
ekstra-kampus yang sering menyuarakan kepentingan rakyat, seperti PMII, HMI,
IMM, GMNI, FMN, dan KAMMI. Dengan pertimbangan dan saran para aktivis senior,
akhirnya ia bergabung ke PMII, karena basic yang cenderung ke-NU-an, lebih
cocok dengan ranah tradisi keseharian Abulaka.
Bersama PMII, ia ditempa menjadi mahasiswa bertanggung jawab
sosial serta peduli terhadap dinamika kenegaraan. Ia tidak lagi mengabaikan
realitas sosial, seperti anak putus sekolah, kemiskinan, perampasan lahan,
biaya sekolah yang mahal, serta peredaran narkoba yang mengancam masa depan
generasi muda bangsa.
Semakin hari, kesadaran itu semakin bertumbuh, karena dibarengi
dengan membaca buku, berdiskusi, menulis, menggelar aksi jalanan, dan advokasi
lapangan terhadap masyarakat yang memperoleh rasa ketidakadilan, baik dari
negara maupun dari bandit-bandit berdasi. Semakin tumbuh kesadaran sosial
tersebut, semakin tinggi pula kecintaan Abulaka terhadap organisasi.
Keterlibatan Abulaka dalam organisasi semasa kuliah di Kampus Rakyat terhitung sangat maksimal. Pada waktu bersamaan, ia turut pula dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), seperti Pramuka, Bahasa Asing, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Rethor dan MD Training Center.
Bukan hanya itu. Pada lingkungan Pesantren Krapyak, ia aktif di
Forum Santri Tegal-Brebes (Foster) dan Korps Dakwah Masyarakat (Kodama).
Sementara pada organisasi intra-kampus, ia aktif di BEM Jurusan sebagai Wakil
Ketua, Forum Komunikasi Mahasiswa Manajemen Dakwah (FKM-MD) Seluruh Indonesia
sebagai Ketua Umum Pertama, serta Senat Mahasiswa Universitas sebagai Ketua.
Ketika memegang amanah sebagai Ketua Umum FKM-MD Seluruh Indonesia
dan Ketua Senat Mahasiswa Universitas, kesadaran Abulaka untuk berkontribusi
kepada Ibu Pertiwi semakin tumbuh. Selama memegang amanah tersebut, ia dituntut
mengurusi semua problem yang dialami mahasiswa UIN Jogja yang harus didampingi
hingga lahir solusi.
Pelaksanaan program kerja berbentuk seminar, kajian, workshop,
atau kongres, Abulaka sering kali berjumpa dengan para pejabat negara. Dinamika
itu membuat kesadaran sosialnya tentang pemuda yang harus berkontribusi nyata
terhadap negeri ini, semakin menggebu.
“Menuliskan ide setelah membaca dan mengamati realitas yang sedang
terjadi, adalah bagian dari tradisiku menjalani hidup dalam dunia gerakan.
Seringnya dimuat di media massa dalam bentuk opini dan resensi. Ada rasa
kebanggaan tersendiri, karena ide kita dihargai oleh pihak redaktur, kemudian
dipublikasikan,” ia bertutur lebih detail.
Meski ia pun mengaku, ketika mulai concern pada aksi jalanan untuk
mengkritik banyak hal, tradisi menulisnya pun tak urung ikut berkurang.
“Puncaknya, ketika lahan kami dirampas pihak pengusaha sawit yang
bekerja sama dengan Kepala Desa dan dilindungi pejabat Pemda. Semua itu membuat
saya semakin yakin atas jalan yang digeluti hari ini. Keyakinan tentang
pergerakan ranah sosial agar keluarga dan orang-orang lemah tidak menjadi
bagian dari korban politik jahat persengkokolan para elite dengan para
komprador yang sering merampas hak milik rakyat,” tegasnya tanpa gamang
sejengkal pun.
Bergerak dan Berniaga
Abulaka terhitung tahan banting. Ia terus melakukan pendampingan
kepada para pemuda yang sedang memulai membangun kesadaran sosial dan aktif
organisasi. Ia mendorong dan memotivasi mereka untuk terus bergerak dan
menciptakan sesuatu yang besar, agar generasi sekarang menyukai
organisasi.
Selain itu, ia turut mengontrol organisasi yang telah ada, seperti
organisasi kedaerahan, intra kampus, ekstra kampus, kepenulisan, dan komunitas
kepenulisan. Abulaka membentuk organ-organ baru yang sekiranya dibutuhkan dalam
konteks kekininan.
Ia bersama beberapa teman mendirikan organisasi kedaerahan bernama
Aliansi Mahasiswa Pantai Timur (AMPATI) pada 2010, juga Ikatan Pemuda Pemuda
Ujung Tanjung (IPPU) di kampung halaman dengan tujuan agar pemuda desa mengenal
organisasi.
Bukan hanya itu, ia mendorong terbentuknya Sanggar Sriwijaya dan
terwujud pada 2014 bersamaan dengan Peringatan Hari Sumpah Pemuda.
Abulaka mendorong mahasiswa Sumatera Selatan untuk membentuk Ikatan Keluarga Pelajar dan Mahasiswa (IKPM) awal 2017 dan dideklarasikan di Griya Agung Gubernur Sumsel. Sekarang, ia bersama teman-teman Sumsel lintas daerah mendorong pembentukan IKPM Sumsel Nusantara, yakni gabungan mahasiswa-mahasiswa Sumsel yang kuliah di berbagai daerah.
Abulaka mendorong mahasiswa Sumatera Selatan untuk membentuk Ikatan Keluarga Pelajar dan Mahasiswa (IKPM) awal 2017 dan dideklarasikan di Griya Agung Gubernur Sumsel. Sekarang, ia bersama teman-teman Sumsel lintas daerah mendorong pembentukan IKPM Sumsel Nusantara, yakni gabungan mahasiswa-mahasiswa Sumsel yang kuliah di berbagai daerah.
Tak lupa, Abulaka bergerak dalam bidang swasta atau berniaga.
Bergerak di bidang bisnis bukan berarti melupakan tradisi akademik, karena
pengetahuan tidak boleh dilepaskan. Ia berpandangan, jika tidak ditopang
pengetahuan usaha yang digeluti tidak akan maksimal.
“Kegemaran saya dalam dunia sosial jika tidak ditopang dengan
usaha nyata tentu akan menyiksa saya, karena dalam pergerakan sosial
membutuhkan ongkos tinggi. Tidak adanya keinginan menjadi PNS membuat saya
mantap bergelut dalam bidang wiraswasta,” akunya jujur.
Benar adanya memang, karena sekian waktu, meskipun beberapa kali
terjun dalam dunia bisnis, seperti pernah membuka usaha warung makan, pulsa,
keripik, pakaian, sablon, dan jualan online, dengan hasil kurang maksimal,
tidak menjadikan Abulaka surut dalam berbisnis. Justru rasa penasarannya
semakin tinggi, karena belum mendapat jatah suksesnya. Apalagi, di saat
bersamaan, ia tengah menyelesaikan pendidikan pascasarjana-nya di UIN Sunan
Kalijaga konsentrasi Studi Politik dan Pemerintahan Islam, agar tradisi
ilmiahnya tidak ditinggalkan.
Berkontribusi pada Sesama
Abulaka mengatakan, banyak orang penasaran, mengapa ia masih
bertahan dalam ranah gerakan sosial yang bila menggunakan hitungan matematika,
hasilnya tentu minus. Ia masih bertahan di jalur gerakan sosial, karena
keyakinannya pada hadits Rasulullah Muhammad SAW, tentang sebaik-baik manusia
adalah yang bermanfaat atas sesama manusia.
“Apa pun kondisi hidup saya sekarang dan ke depan, saya tetap
ingin berkontribusi atas sesama. Semua yang kita miliki, baik itu harta,
jabatan, dan pengetahuan, tidak akan bermakna jika kita tidak berkontribusi
pada peradaban zaman. Semasa saya hidup, paling tidak, ada sesuatu yang saya
kerjakan dan itu bermakna serta bermanfaat bagi banyak orang,” tekadnya kuat.
Dunia gerakan sosial bagi Abulaka telah menjadi bagian kehidupan,
bahkan hobi. Bila banyak berdiam di rumah dan tidak berkegiatan, ia justru
pusing kepala. Kebiasaannya, di mana pun berada, ia ingin selalu berkegiatan
dan berkaitan dengan orang banyak.
Pilihannya untuk eksis di jalur kepemudaan tentu bukan tanpa
alasan. Bagi Abulaka, pemuda merupakan aset bangsa yang harus diberdayakan.
Untuk melihat sebuah bangsa itu maju atau tidak, dapat dilihat kualitas
generasi mudanya. Jika pemudanya produktif dan berkarya, tentu majulah negara
tersebut.
“Tesis saya pun bicara Gerakan Mahasiswa pasca-98. Artinya, baik
di lapangan maupun dalam dunia bacaan teori, saya suku topik kepemudaan.
Sejarah negara ini adalah sejarah pemuda, karena setiap momentum penting,
pemuda selalu terlibat dan bahkan menjadi garda terdapan dalam memulai suatu
perubahan,” Abulaka berkata mantap.
Meski begitu, ia tidak lantas apolitis, karena sadar bahwa semua
keputusan penting bangsa ini dilahirkan dari politik. Abulaka mengutip pendapat
penyair Jerman, Bertolt Brecht bahwa buta yang terburuk adalah buta politik,
yakni tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam
peristiwa politik.
Ia menjelaskan, orang-orang yang buta politik tidak akan mengerti
perkembangan negara dan bahkan tidak paham telah menjadi bagian dari korban
politik. Pemahaman dasar itulah yang membuat Abulaka mengharuskan diri untuk
mengerti politik. Menilik pengalaman pribadinya, sewaktu tanah keluarga
dirampas pihak perusahaan, bagi Abulaka, sangatlah berkaitan dengan aktivitas
politik.
“Saya tidak ingin hal itu terjadi lagi, baik kepada keluarga saya
maupun orang lain. Oleh karena itu, saya harus paham politik, dan bila perlu,
terjun langsung,” kali ini, ia lebih dari sungguh-sungguh.
Pemuda Peka Zaman
Lebih jauh, Abulaka berpandangan, desain zaman dan sistem
demokrasi liberal yang kini menjadi tantangan terberat dalam mempertahankan
idealisme. Era modern telah terjebak pada wilayah simbolis di mana banyak orang
lebih mengedepankan bungkus daripada isi. Penampilan manusianya dituntut
serba-modern dan harus mengikuti perkembangan zaman.
“Setiap orang seperti diharuskan memiliki akun media sosial, agar
tergolong generasi yang gaul. Budaya nongkrong mulai menjamur dan menghabiskan
waktu produktif. Semua fenomena tersebut terus menggerus tradisi ilmiah yang
berkaitan dengan pendirian idealisme,” bebernya sedikit khawatir.
Situasi demokrasi liberal, lanjutnya, berujung pada semua hal yang
mesti diselesaikan dengan uang, termasuk dalam dunia gerakan; terkontaminasi
hal-hal yang mengarah transaksional. Hal tersebut, ulas Abulaka, telah menjadi
tuntutan zaman, karena negara dikontrol oleh pasar. Watak pasar pun berbicara
dan mempengaruhi generasi muda sekarang.
Bagaimana berhadapan dengan situasi seperti ini? Abulaka pun terus
aktif dan mendampingi kader-kader organisasi yang masih beridealisme,
membesarkan organisasi dengan tujuan menciptakan kesadaran generasi muda untuk
berbuat atas sesama.
“Saya sering kontak jaringan yang ada di daerah tanah kelahiran
saya, Sumatera Selatan, dan sekitarnya. Biasanya, jadwal Hari Minggu saya,
selain untuk beristrahat juga untuk menelpon semua jaringan yang pernah saya
rintis atau sekadar berkomunikasi. Biasanya saya bertanya tentang perkembangan
dan mengingatkan tujuan, jika mereka tengah lesu bergerak. Saya memberikan
motivasi agar pergerakan terus berjalan, dan bercerita harapan bersama untuk
membuat perubahan nyata bagi daerah,” ucap Abulaka.
Abulaka berpendapat, Indonesia di masa mendatang, tergantung pada
pemudanya hari ini. Menurutnya, Indonesia sedang mengalami bonus demografi, di
mana penduduk usia produktif sangatlah banyak. Jika generasi usia produktif
tidak dipersiapkan sejak dini maka Indonesia terancam menjadi Negara Gagal,
karena pemuda yang termasuk generasi usia produktif akan membebani negara, jika
mereka tidak dipersiapkan memiliki SDM berkualitas.
“Pemimpin-pemimpin daerah yang memahami sejarah tentulah tidak
memandang sebelah mata peran pemuda dalam memajukan daerah,” pesannya bagi para
pemimpin daerah.
Indonesia, sambungnya, berpeluang menjadi kiblat perubahan
kekuatan dunia. Kiblat dunia dari Benua Eropa akan bergeser ke Asia Pasifik,
dan arahnya menuju Ibu Pertiwi.
“Belum lagi sudah diberlakukannya perdagangan bebas. Semestinya,
disambut pemuda dengan wawasan internasional agar mampu bersaing dengan
orang-orang asing yang memang SDM mereka berkualitas. Jika tidak bersaing dalam
skala internasioal maka pemuda kita akan menjadi budak di negeri sendiri.
Ketika keran perdagangan bebas sudah dibuka pemerintah, mau tidak mau, pemuda
harus mempersiapkan diri agar bisa bersaing, go international,”
pungkasnya. (sumber: palembangdaily.com)
Tidak ada komentar: