(Oleh: Abu Laka)
Apa yang akan terjadi jika
pemangku kebijakan negara bersekongkol, berkoalisi atau berkolusi dengan para
pengusaha? Berkaca pada rezim Orde Baru, kala itu pemerintah bersekongkol
dengan barisan militer hingga melahirkan sistem pemerintahan yang sentralistik
dan otoriter. Penguasa tunggal Orde Baru pun mampu bertahan kuat selama lebih
dari tiga dasawarsa sebelum akhirnya tumbang oleh gerakan massa 12 tahun silam.
Kini, dalam dunia perpolitikan
nasional kita mengenal istilah politik kartel. Dalam kamus ilmiah populer
kartel diartikan kerjasama beberapa perusahaan sejenis dengan mengadakan
persetujuan untuk mengatur kepentingan bersama. Dan politik kartel menurut
David Slater (2004) merupakan bentuk relasi antarelite politik yang dicirikan dengan
kolusi antarelite. Cirinya, masih menurut Slater, berupa minimnya kekuatan
oposisi dan terlindungnya para elite tersebut dari mekanisme akuntabilitas.
Bagi Indonesia, perilaku politik
kartel dapat dikatakan adalah fenomena kontemporer pasca tumbangnya rezim Orde
Baru. Beberapa ciri lain perilaku politik kartel di Indonesia sangat kontras
terlihat oleh kita. Pertama, hilangnya peran ideologi partai sebagai
faktor penentu perilaku koalisi partai politik. Lihat saja, koalisi antarpartai
politik di pemerintahan dibangun atas dasar kolusi, bagi-bagi jatah, jabatan
atau posisi, bukan atas dasar faktor kesamaan atau kemiripan ideologi. Kedua,
sikap permisif dalam pembentukan oposisi.
Ketiga, hasil-hasil pemilu nyaris tidak
berpengaruh di dalam proses menentukan perilaku partai politik. Menang dan
kalah tidak jadi soal, yang terpenting justru bagaimana kursi kekuasaan dapat
dibagi-bagi dengan dalih koalisi membangun negara dengan kesamaan-kesamaan
tertentu yang dipaksakan. Keempat, kuatnya kecenderungan partai politik
untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok serta menafikan bangunan
ideal ideologi dasar parpol tersebut. Partai politik beramai-ramai masuk ke
dalam lingkaran yang menang dengan harapan memperoleh jatah kekuasaan. Barisan
partai politik yang menjalankan fungsi oposisi atau meminjam istilah Ambardi, koalisi bongsor (oversized coalition)
seketika absen.
Terutama pasca pemilu 2010, partai politik di
Indonesia membanjir. Namun, tidak satupun dari puluhan partai politik yang
turut serta dalam kontes pesta demokrasi, terutama partai-partai sepuluh
tersbesar secara tegas menyatakan diri berdiri pada posisi strategis di kubu
oposisi. Kalau pun ada, tak lebih hanyalah sebatas formalitas dan tidak sepenuh
hati menjalankan fungsi kontrol sebagai posisi sejati, dan tergantung situasi,
jika ajakan koalisi dari pemerintah menguntungkan partai, maka lunturlah fungsi
oposisi tersebut. Sebaliknya, ketika kebijakan pemerintah dianggap merugikan
partai politik tertentu, dengan sigap dan spontan tiba-tiba jadi oposisi. Nabi
Muhammad SAW mengatakan orang seperti itu bermental anjing, mengikut jika
diberikan tulang (keuntungan).
Perilaku politik kartel tampak jelas ketika Mantan
Menteri Keuangan dipaksa meninggalkan posisinya di kabinet Indonesia bersatu
jilid II. Percekcokan pribadi antara Sri Mulyani dengan Aburizal Bakrie
berujung pada kepergian Sri menuju Bank Dunia (Wolrd Bank), dan ia
menyadari bahwa kepergiannya adalah implikasi dari perilaku politik kartel
antara pemerintah dan pengusaha yang disebutnya dengan istilah “kawin politik”.
Buktinya, beberapa hari setelah pengunduran diri Sri Mulyani dari jabatan
Menteri Keuangan, Aburizal Bakrie naik jabatan di posisi sebagai ketua harian
sekretariat gabungan antar partai koalisi. Padahal, hari-hari sebelumnya
anakbuah Aburizal Bakrie amat sangat gencar mencecar Sri Mulyani dalam skandal bailout
bank Century.
Praktek politik kartel bukan lagi hal yang tabu
dilakukan. Sebab, dengan terang-terangan praktek itu dapat kita saksikan di
lingkungan kekuasaan atau kepemerintahan. Hadirnya praktek politik kartel
membuat negera ini dibangun oleh dua kubu, pemerintah (partai politik) dan
pengusaha. Dan pihak yang paling keras bertepuk tangan ialah pihak pengusaha
karena korporasi-korporasinya yang berkeliaran di seantaro negeri akan terjaga
aman melalui kebijakan-kebijakan pemerintah. Sementara pemerintah mengambil
keuntungan dari para pengusaha secara finansial untuk mempertahankan eksistensi
partainya agar tidak kekurangan logistik pada saat pemilu. Masyarakat dibuat
semakin pragmatis dengan berbagai praktek politik uang (money politic). Pantaslah
Bung Hatta pernah menyatakan bahwa jangan sampai terjadi partai politik menjadi
tujuan, sedangkan negara hanya menjadi alatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar