Rabu, 21 September 2016

Kamuflase Sekolah Gratis


Oleh : Abu Laka*

            Lagi-lagi pemerintah tidak konsisten dan “membohongi” rakyat. Pernyataan itulah yang pantas ditujukan pada Pemerintah dalam menjalankan amanat UUD 1945 Bab XIII Pasal 31 (2). Sebagaimana disebutkan dalam UU tersebut setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
            Dari orde baru sampai pemerintah sekarang, idealisme anggaran pendidikan 20 persen hanya sebatas di UU, rapat DPR dan meja seminar. Namun, pada kenyataannya tidak pernah terealisasi. Pun demikian kebijakan Pemerintah sekolah gratis 2009 melalui dana BOS yang dicairkan mulai Januari lalu. Harapannya, agar pendidikan mulai tingkat SD, SMP dan SMA bisa gratis semua.
Tak tanggung-tanggung, untuk melegitimasi kebijakan tersebut pemerintah membuat iklan sekolah gratis yang dibintangi Cut Meme. Iklan ini sudah beredar dan ditayangkan pemerintah sejak April lalu. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah pantas iklan tersebut ditayangkan, sedangkan realitas yang terjadi justru sebaliknya?. Fakta di lapangan membuktikan bahwa masih banyak sekolah memungut bayaran pada wali siswa. Padahal masyarakat terlanjur memahami sekolah gratis dari iklan yang dibuat pemerintah.
Belum lagi, munculnya sekolah-sekolah bertaraf Internasional (SBI). Logika yang digunakan pemerintah adalah untuk menghasilkan out-put yang berkualitas dan mampu menembus pendidikan luar negeri. Namun, tak semua orang tua bisa bermimpi menyekolahkan anaknya di SBI. Pasalnya, orang tua terpaksa harus merogoh kocek jutaan rupiah. Fakta ini menguatkan adagium bahwaw orang miskin dilarang sekolah (Eko Prasetiyo, 2005).
Sebagaimana kita ketahui, dasar hukum BOS adalah UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang mengamanatkan kepada pemerintah dan pemerintah daerah (Pemda) untuk menjamin terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. UU Sisdiknas No 20/2003 pasal 50 ayat 3 juga mengamanatkan pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu-satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertarap internasional.
Pada ranah inilah terdapat kontradiksi dan ketidak konsistenan pemerintah dalam merealisasikan pendidikan gratis. Satu sisi pemeritah bertanggung jawab penuh atas biaya sekolah. Di sisi lain, pemerintah membuka peluang pemerintah daerah menyelenggarakan SBI yang notabene memakan biaya lebih mahal (UU sisdiknas no 20/2003 pasal 50 ayat 3).
Kalau memang pemerintah konsisten dengan kebijakan sekolah gratis, idealnya SBI pun bebas dari pungutan. Adanya pungutan yang membebani orang tua merupakan bukti bahwasanya pendidikan belum bisa dikatakan gratis. Realitas demikian secara tidak langsung memunculkan dikotomi bahwa seolah-olah hanya orang kaya yang berhak menikmati pendidikan berkualitas. Sementara orang miskin tidak boleh. Pada hal logika pendidikan gratis adalah untuk semua kalangan (Education for All) sebagimana yang diimpikan oleh  Paulo Fraire–tidak ada kastanisasi sekolah dan siswa.
Memahami realitas diatas, dapat ditarik konklusi sekolah gratis yang didengungkan pemerintah jauh dari harapan. Pemerintah terkesan belum konsisten untuk merealisasikan amanat UU pendidikan gratis dan murah.
Itulah sebabnya, iklan gratis (bertepatan momentum pilpres) yang terkesan dipaksakan perlu dipertanyakan. Menurut Penulis, iklan sekolah gratis versi pemerintah adalah “kamuflase” belaka untuk mengambil simpati masyarakat dan menggiring opini publik bahwa pemerintah sudah menjalankan kewajiban konsitusi anggaran pendidikan 20 persen.
Pada wilayah fundamental (baca: pendidikan) saja, pemerintah tidak bersikap politicl will, apa lagi pada rana kebijakan yang lain. Padahal pendidikan merupakan instrument vital dalam membangun karakter sebuah Bangsa. Bukankah Soekarno pernah berkata, membangun kekuatan ekonomi, politik dan budaya itu penting, namun ada yang lebih penting lagi, yaitu membangun karakter (character building) Bangsa Indonesia melalui pendidikan. Semoga.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar