Oleh : M. Abu Laka
SY*)
Indonesia
merdeka sejak tahun 1945. Sebentar lagi, negeri ini memasuki usia yang ke-64. Momentum
sejarah ini tepat dijadikan medium reflesksi segalah hal yang terkait dengan
pemersatu Bangsa Indonesia. Salah satunya Bhinneka Tunggal, yang merupakan hasil
konsensus bersama bahwa rakyat Indonesia mengakui adanya perbedan, keberagaman,
dan pluralitas atas sesama.
Betapa
banyaknya keaneka-ragaman yang kita miliki. Sebagaimana yang dijalani selama
ini ; bermacam-macam suku, budaya, bahasa, etnis dan agama. Semua itu merupakan
kekayaan Ibu Pertiwi yang tak ternilai harganya. Agar tercipta satu-kesatuan,
toleransi, saling memahami dan menghormati, kemudian dibungkus dalam satu wadah
yang bernama Bhinneka Tunggal Ika–walaupun berbeda-beda, tapi tetap satu jua.
Usia kian tua,
ibarat manusia, Indonesia sudah mencapai pada lavel kematangan hidup. Sebelumnya
melewati masa kanak-kanak, pertumbuhan, dewasa dan tingkatan tetinggi, yaitu standar
kesuksesan hidup seseorang–biasanya diukur diatas umur 40 tahun.
Memahami
analogi siklus manusia diatas, maka Indonesia idealnya sudah memasuki pada
level kedewasaan menajalankan sekian atribut kebudayaan yang mengajak pada kebersamaan,
perdamaian dan saling menghormati. Pula dalam penerapan ajaran luhur Bhinneka
Tunggal Ika–mengakui perbedaan–sepantasnya sudah terpati dalam jiwa dan raga
umat manusia Indonesia, yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari.
Namun,
realitas yang terjadi, jauh dari harapan. Sebagian besar rakyat Indonesia
nampaknya belum siap hidup ditengah keberagama, khususnya dalam pluralitas
agama. Fakta tersebut sangat beralasan, seperti kegiatan yang dilaksanakan Institut
Dialog Antar-Iman di Indonenesia (DIAN), Lokakarya guru-guru lintas agama
se-Kabupaten Bantul (4-6/08) di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Bantul. Tema
yang diambil “Membangun Wawasan Bhinneka Tunggal Ika Melalui Penanaman
Nilai-nilai Keagamaan”
Ada realitas
yang memprihatinkan dari tema tersebut. Sebagaimana Saya kritik ketika acara
tengah berlangsung, mengapa tema yang dibuat didahului dengan kata membangun?
Bukankah Pemerintah sudah membangun wawasan Bhinneka Tunggal Ika sejak kita
merdeka melaui seminar, lokakarya dan di sekolah-sekolah. Saya pikir saat ini
(relevannya) kita menerapkan nilai-nilai yang terkandung didalamnya, tidak lagi
pada ranah membangun.
Sungguh
mengejutkan. Jawaban yang diberikan oleh panitia menohok perasaan kita. Alasan
dari panitia mengambil tema itu bahwa rakyat Indonesia rata-rata belum siap
hidup berdampingan berlainan agama. Hal itu ditemukan pihak institut Dian
setelah melaksankan pelatihan-pelatihan dan penelitian yang dilaksanakan hampir
diseluruh wilayah Indonesia.Ternyata tema yang dibuat tidak berangkat dari
ruang yang kosong.
Kurangnya
pemahaman masyarakat, bahkan guru-guru atas keberagaman dan pluralitas agama
juga di sampaikan oleh guru-guru agama (baca:lintas agama) dalam forum itu.
Realitas diatas sering terjadi dimasyarakat, lingkungan kerja dan juga di sekolah-sekolah.
Meskipun disekolah sering kali sudah diberikan pelajaran agama tentang
perbedaan, tapi tetap saja sulit diterapkan. Hal inilah menjadi koreksi dan
pertanyaan bersama, mengapa demikian?
Setelah
melewati beberapa diskusi, baik yang disampaikan oleh pembicara maupun sesama
peserta. Ada beberapa faktor mengapa disekolah siswa kurang memahami tentang
pluralitas beragama. Pertama, jam pelajaran yang singkat membuat guru
kurang berinteraksi dengan siswa untuk mengajarkan toleransi dan menerima
perbedaan. Sebagaimana pembicara (lintas agama) mengatakan setiap agama
mengajarkan dan mengakui pluralitas dalam keyakinan.
Kedua, Kurikulum
menuntut siswa hanya memahami materi saja, tidak menekan pada sikap bagaimana hidup
bertoleransi dan saling menghormati dalam berbeda keyakinan. Tidak heran kalau
pendidikan di Indonesia melahirkan out-put manusia korup, bermental
tempe, dan tidak memahami keberagaman yang dimiliki Bangsa ini.
Ketiga, terbatasnya
kegiatan yang mengarah pada kebersamaan. Seperti kegiatan kerohanian lintas
agama yang mengagendakan dialog antar agama, jelajah alam dan kegiatan lain
yang menciptakan solidaritas atas sesama. Dengan kegiatan ini, siswa lebih
banyak berinteraksi, dan otomatis akan tercipta diantara mereka rasa
kebersamaan dan saling menghormati walaupun berbeda keyakinan.
Kalau saja
sekolah tidak bisa lagi menjadi medium pemahaman anak-anak atas perbedaan,
keberagaman dan pluralitas dalam berbagai hal. Lantas dimana lagi anak didik
mempelajarinya? Di lingkungan keluarga yang merupakan tempat pembelajaran anak sebelum
disekolah, juga tidak bisa diharapkan. Karena pendidikan keluarga secara umum
bersifat eksklusif. Artinya, keluarga hanya mengajarkan agama yang dianut oleh Nenek
moyang mereka.
Dengan
demikian, sekolahlah menjadi tumpuhan utama, agar sekolah lebih memaksimalkan peran
tersebut. Sebagaimana kita ketehui bahwa pola pikir orang dewasa tergantung di
masa kecilnya. Jika di masa kecil tidak diajarkan keberagaman. Pun dimasa besar
menjadi asing jika menemukan sesuatu yang diluar kebiasaan mereka.
Realitas diatas
seharusnya dipahami oleh pihak-pihak yang terkait–sekolah, masyarakat dan
pemerintah setempat–agar segera mencari solusi. Kalau hal ini dibiarkan
terus-menerus, bukan jadi tragedi berdarah yang terjadi di Ambon dan Poso atas
nama agama akan terulang kembali di Bumi Pertiwi ini. Atau tidak kemungkinan, disintegrasi
wilayah kesatuan Repiblik Indonesia bisa saja sewaktu-waktu menjadi kenyataan.
Untuk
menghindari bayang-bayang mengerikan itu, hemat Penulis ada beberapa hal yang
harus dilakukan oleh pemegang kebijakan (stake holder) secepatnya. Diantaranya, pertama, pihak
pemerintah (pusat dan daerah). Pemerintah pusat merevisi kurikulum.
Kedepan kuruikulum mata pelajaran agama tidak hanya mengutamakan penguasaan
materi, tapi juga menyentuh ranah pentingnya pemahaman perbedaan dan multikulturalisme
dalam kehidupan sehari-hari. Juga pemerintah setempat agar memfasilitasi
kegiantan-kegitan yang mengarah pada dialog lintas agama.
Kedua, pihak sekolah
harus kreatif dan inovasi dalam mengembangkan kurikulum yang dirancang oleh
pemerintah. Bagaiman caranya sekolahan bisa menyesuaikan (kurikulum berbasis
realitas) lingkungan dan realitas siswa. Pada titik ini, gurulah yang sangat
berperan (terutama guru agama). Meskipun guru agama terbatas jam pelajarannya, Mereka
bisa memaksimalkan diluar jam mengjar. Semisal membuat forum persahabatan
siswa-siswi lintas agama.
Ibu Pertiwi hanya sebuah benda mati yang bernama Indonesia.
Berapa pun usianya ia tetaplah Indonesia. Tinggal kita (rakyat, pemerintah,
guru, politikus, cendikiawan, ekonom, penegak hukum, juga tokoh agama) mau menjadikan
Indonesia seperti apa? Layaknya orang dewasa–siap menerima keaneka-ragaman. Ataukah
anak kecil yang belum bisa melaksanakan ajaran luhur yang terkandung dalam
Bhinneka Tunggal Ika?. Wallahu a’lam
*) Penulis adalah Peserta Lokakarya Institut DIAN dan
Ketua Senat Mahasiswa UIN
Sunan Kalijaga
Yogyakarta
Dimuat di Harjo : Kamis, 27 Agustus 2009
Tidak ada komentar: