Rabu, 21 September 2016

Menanamkan Ke-Bhinneka Tunggal Ika-an Melalui Pendidikan Agama


Oleh : M. Abu Laka SY*)

            Indonesia merdeka sejak tahun 1945. Sebentar lagi, negeri ini memasuki usia yang ke-64. Momentum sejarah ini tepat dijadikan medium reflesksi segalah hal yang terkait dengan pemersatu Bangsa Indonesia. Salah satunya Bhinneka Tunggal, yang merupakan hasil konsensus bersama bahwa rakyat Indonesia mengakui adanya perbedan, keberagaman, dan pluralitas atas sesama.
Betapa banyaknya keaneka-ragaman yang kita miliki. Sebagaimana yang dijalani selama ini ; bermacam-macam suku, budaya, bahasa, etnis dan agama. Semua itu merupakan kekayaan Ibu Pertiwi yang tak ternilai harganya. Agar tercipta satu-kesatuan, toleransi, saling memahami dan menghormati, kemudian dibungkus dalam satu wadah yang bernama Bhinneka Tunggal Ika–walaupun berbeda-beda, tapi tetap satu jua.

Usia kian tua, ibarat manusia, Indonesia sudah mencapai pada lavel kematangan hidup. Sebelumnya melewati masa kanak-kanak, pertumbuhan, dewasa dan tingkatan tetinggi, yaitu standar kesuksesan hidup seseorang–biasanya diukur diatas umur 40 tahun.
Memahami analogi siklus manusia diatas, maka Indonesia idealnya sudah memasuki pada level kedewasaan menajalankan sekian atribut kebudayaan yang mengajak pada kebersamaan, perdamaian dan saling menghormati. Pula dalam penerapan ajaran luhur Bhinneka Tunggal Ika–mengakui perbedaan–sepantasnya sudah terpati dalam jiwa dan raga umat manusia Indonesia, yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, realitas yang terjadi, jauh dari harapan. Sebagian besar rakyat Indonesia nampaknya belum siap hidup ditengah keberagama, khususnya dalam pluralitas agama. Fakta tersebut sangat beralasan, seperti kegiatan yang dilaksanakan Institut Dialog Antar-Iman di Indonenesia (DIAN), Lokakarya guru-guru lintas agama se-Kabupaten Bantul (4-6/08) di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Bantul. Tema yang diambil “Membangun Wawasan Bhinneka Tunggal Ika Melalui Penanaman Nilai-nilai Keagamaan”

Ada realitas yang memprihatinkan dari tema tersebut. Sebagaimana Saya kritik ketika acara tengah berlangsung, mengapa tema yang dibuat didahului dengan kata membangun? Bukankah Pemerintah sudah membangun wawasan Bhinneka Tunggal Ika sejak kita merdeka melaui seminar, lokakarya dan di sekolah-sekolah. Saya pikir saat ini (relevannya) kita menerapkan nilai-nilai yang terkandung didalamnya, tidak lagi pada ranah membangun.

Sungguh mengejutkan. Jawaban yang diberikan oleh panitia menohok perasaan kita. Alasan dari panitia mengambil tema itu bahwa rakyat Indonesia rata-rata belum siap hidup berdampingan berlainan agama. Hal itu ditemukan pihak institut Dian setelah melaksankan pelatihan-pelatihan dan penelitian yang dilaksanakan hampir diseluruh wilayah Indonesia.Ternyata tema yang dibuat tidak berangkat dari ruang yang kosong.

Kurangnya pemahaman masyarakat, bahkan guru-guru atas keberagaman dan pluralitas agama juga di sampaikan oleh guru-guru agama (baca:lintas agama) dalam forum itu. Realitas diatas sering terjadi dimasyarakat, lingkungan kerja dan juga di sekolah-sekolah. Meskipun disekolah sering kali sudah diberikan pelajaran agama tentang perbedaan, tapi tetap saja sulit diterapkan. Hal inilah menjadi koreksi dan pertanyaan bersama, mengapa demikian?

Setelah melewati beberapa diskusi, baik yang disampaikan oleh pembicara maupun sesama peserta. Ada beberapa faktor mengapa disekolah siswa kurang memahami tentang pluralitas beragama. Pertama, jam pelajaran yang singkat membuat guru kurang berinteraksi dengan siswa untuk mengajarkan toleransi dan menerima perbedaan. Sebagaimana pembicara (lintas agama) mengatakan setiap agama mengajarkan dan mengakui pluralitas dalam keyakinan.

Kedua, Kurikulum menuntut siswa hanya memahami materi saja, tidak menekan pada sikap bagaimana hidup bertoleransi dan saling menghormati dalam berbeda keyakinan. Tidak heran kalau pendidikan di Indonesia melahirkan out-put manusia korup, bermental tempe, dan tidak memahami keberagaman yang dimiliki Bangsa ini.

Ketiga, terbatasnya kegiatan yang mengarah pada kebersamaan. Seperti kegiatan kerohanian lintas agama yang mengagendakan dialog antar agama, jelajah alam dan kegiatan lain yang menciptakan solidaritas atas sesama. Dengan kegiatan ini, siswa lebih banyak berinteraksi, dan otomatis akan tercipta diantara mereka rasa kebersamaan dan saling menghormati walaupun berbeda keyakinan.

Kalau saja sekolah tidak bisa lagi menjadi medium pemahaman anak-anak atas perbedaan, keberagaman dan pluralitas dalam berbagai hal. Lantas dimana lagi anak didik mempelajarinya? Di lingkungan keluarga yang merupakan tempat pembelajaran anak sebelum disekolah, juga tidak bisa diharapkan. Karena pendidikan keluarga secara umum bersifat eksklusif. Artinya, keluarga hanya mengajarkan agama yang dianut oleh Nenek moyang mereka.

Dengan demikian, sekolahlah menjadi tumpuhan utama, agar sekolah lebih memaksimalkan peran tersebut. Sebagaimana kita ketehui bahwa pola pikir orang dewasa tergantung di masa kecilnya. Jika di masa kecil tidak diajarkan keberagaman. Pun dimasa besar menjadi asing jika menemukan sesuatu yang diluar kebiasaan mereka.

Realitas diatas seharusnya dipahami oleh pihak-pihak yang terkait–sekolah, masyarakat dan pemerintah setempat–agar segera mencari solusi. Kalau hal ini dibiarkan terus-menerus, bukan jadi tragedi berdarah yang terjadi di Ambon dan Poso atas nama agama akan terulang kembali di Bumi Pertiwi ini. Atau tidak kemungkinan, disintegrasi wilayah kesatuan Repiblik Indonesia bisa saja sewaktu-waktu menjadi kenyataan.

Untuk menghindari bayang-bayang mengerikan itu, hemat Penulis ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh pemegang kebijakan (stake holder) secepatnya. Diantaranya, pertama, pihak pemerintah (pusat dan daerah). Pemerintah pusat merevisi kurikulum. Kedepan kuruikulum mata pelajaran agama tidak hanya mengutamakan penguasaan materi, tapi juga menyentuh ranah pentingnya pemahaman perbedaan dan multikulturalisme dalam kehidupan sehari-hari. Juga pemerintah setempat agar memfasilitasi kegiantan-kegitan yang mengarah pada dialog lintas agama.

Kedua, pihak sekolah harus kreatif dan inovasi dalam mengembangkan kurikulum yang dirancang oleh pemerintah. Bagaiman caranya sekolahan bisa menyesuaikan (kurikulum berbasis realitas) lingkungan dan realitas siswa. Pada titik ini, gurulah yang sangat berperan (terutama guru agama). Meskipun guru agama terbatas jam pelajarannya, Mereka bisa memaksimalkan diluar jam mengjar. Semisal membuat forum persahabatan siswa-siswi lintas agama.

Ibu Pertiwi hanya sebuah benda mati yang bernama Indonesia. Berapa pun usianya ia tetaplah Indonesia. Tinggal kita (rakyat, pemerintah, guru, politikus, cendikiawan, ekonom, penegak hukum, juga tokoh agama) mau menjadikan Indonesia seperti apa? Layaknya orang dewasa–siap menerima keaneka-ragaman. Ataukah anak kecil yang belum bisa melaksanakan ajaran luhur yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika?. Wallahu a’lam

*) Penulis adalah Peserta Lokakarya Institut DIAN dan Ketua Senat Mahasiswa UIN 
    Sunan Kalijaga Yogyakarta


Dimuat di Harjo : Kamis, 27 Agustus 2009 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar