 |
Bersama KH. Mohammad S Baidlowi, Pengasuh Ponpes Ma'hadut Tholabah Babakan Tegal |
Setiap pulang kampung Slarang Lor, kecamatan Dukuh Waru, insya Allah selalu mampir di Ponpes Ma'hadut Tholabah Babakan. Slarang Lor adalah kampung ke dua setelah kampung halaman di mana aku dilahirkan. Bahasa gaul keseharian Pesantren orang menyebutnya penjara suji, bagiku label apapun yang diberikan terhadap Pesantren, tetap saja institusi tersebut sangat berkesan dalam perjalanan hidup aku.
Tempat inilah mengenalkan aku pertama kali bagaimana menjalani hidup penuh dengan tuntunan. Bisa merasakan hidup tanpa beban karena semua urusan diserahkan keapada Allah SWT. Singkatnya, aku banyak mengengal sesuatu baru dan tidak dan sedikit mengalami peristiwa spiritual bagi aku sungguh berkesan. Kali ini aku tidak mencaritakan pengalaman dan beberapa hal yang baru aku kenal waktu menjalani proses belajar di sana.
Namun, yang aku mau ceritakan pada catatan ini adalah hasil obrolan dengan Sang Pengasuh, KH. Ahmad Syafi'i Baidlowi. Meskipun aku bukan termasuk alumni yang patut dibanggakan, dalam artian waktu menjadi santri biasa - biasa saja, tidak ahli dalam kitab kuning, kurang dalam memahami pelajaran agama yang diajarkan di pondok, ibadahnya masih bolong - bolong. Pada initinya selama belajar di sana, ilmunya baru sebatas untuk bekal diri sendiri, maka bagiku belum layak disebut santri.
Aku hanyalah sosok manusia yang punya keinginan menjadi orang baik dan bermanfaat bagi orang lain, tidak lebih dari itu.
Meskipun demikian, aku tetap menjalin komunikasi dan silaturrahmi dengan Pak Kiai sebagai orang yang telah berjasa dalam hidupku. Bagiku, di tengah ketidaksempurnaanku sebagai santri, justru aku ingin tetap mendekatkan diri kepada orang-orang bersih dan ‘alim. Paling tidak setelah jumpa dengan beliau-beliau, akan muncul pandangan untuk menjadi orang yang lebih baik, dan tentunya yang sangat diharapakan adalah mendapat berkah dan doa dari mereka.
Selebihnya aku tidak mengerti apa yang mendorong tetap selalu sowan dengan Beliau, padahal kalau ngobrol-ngobrol, ya hal – hal yang santai saja. Namun, aku akui kalau ngobrol dengan Beliau pembicaraan selalu nyambung. Beliau selalu menyesuaikan yang diajak bicara, aku misalnya, hnayak ngobrol hal yang sederhana terkait dalam kehidupan sehari-hari. Beliau selalu nyambung bicara topik umum, misal berkaitan dengan kuliah, sosial-masyarakat, politik dan hukum, meskipun Pak Kiai selama ini hanya memperdalam ilmu kepondokannya, kitab dan Al-Qura’an.
Selama ini, kita pahami yang namanya pengasuh pondok biasanya hanya fokus ilmu keagamaan saja. Pemahaman seperti itu mendadak berubah setelah banyak ngobrol dengan seorang Kiai terbilang muda ketika memimpin Pesantren, karena baru beberapa bulan setelah selesai mondok kemudian diangkat sebagai Pengasuh penanggung jawab santri Putra. 15 tahun lalu banyak berinteraksi dengan Beliau karena mengabdi satu tahun setelah lulus sekolah umum, membantu Pesantren dalam bidang administrasi dan keuangan.
Selama berinteraksi banyak aku temukan hal baru pemandangan aku selama ini terhadap sosok seorang Kiai. Beliau bagiku sangat toleransi dalam mendidik para santrinya. Misalnya, terhadap aku, pak Kiai memaklumi kecendrungan aku lebih mata pelajaran umum dan keorganisasian. Beliau tidak lantas memojokan aku yang punya keterbatasan dalam mempelajari ilmu keagamaan, ya wajar toh, yang namanya pesantren harusnya keagamaan yang diutamakan.
Dalam keseharian selama aku belajar di sana, aku mengamati cara Beliau menghadapi santri tidak terlalu menjaga image sebagai seorang Kiai yang harus dihormati. Aku pikir itu dilakukan beliau agar santrinya tidak terlalu kaku ketika berhadapan dengannya. Setiap aku bangun di 1/3 malam aku selalu menemukan Pak Kiai keliling komplek mengamati para santrinya. Nampaknya memang pak kiai tidak tidur malam, sampai pengajian kitab setelah shubuh baru istrahat, menjelang siang sudah siap-siap karena sering ada tamu.
Hari pertama Senin, 24 Juni 2019 berjumpa tidak bisa ngobrol banyak karena Pak Kiai banyak menerima tamu. Pertemuan hari ke dua Selasa, 25 Juni 2019 baru sempat ngobrol meskipun tidak banyak, lagi-lagi terpotong banyak tamu yang sowan ke beliau. Meskipun singkat, obrolan yang aku peroleh sangat bermanfaat. Dalam perbincangan menganjurkan aku menjadi dosen di kampus UNU (Universitas Nahdlotul Ulama’) Jogja, entah kenapa Beliau sangat mendukung aku ngajar di sana.
Sebenarnya ini kesempatan aku mengabdi dengan NU setelah sekian lama meninggalkan semua aktivitas yang berkaitan dengan organisasi masyarakat terbesar di Indonesia ini.
Bincang soal peluang mengajar dan pengabdian, Pak Kiai mengeluarkan kata – kata “ojok terlalu ngumpet, lan ojok terlalu mucul” demikian Pak Kiai menekankan kredo tersebut, seolah bentuk kritik prinsip yang aku jalani selama ini.
Aku tidak memahami apakah Pak Kiai mengerti prinsip yang aku jalani atau hanya kebetulan nasihat itu muncul, yang pasti pribahasa itu cocok untuk situasi aku sekarang. Bagiku, meskipun aku NU tidak perlau aku mengatakan bahwa aku NU, aku pernah mondok tidak perlu mengatakan bahwa aku alumni Ponpes. Dalam beberapa hal perbuatan dan sikap aku sengajakan untuk menutupi sesuatu, karena aku meyakani “lebih baik orang memandang kita salah tapi sebenarnya kita benar. Dari pada orang memandang kita benar, tapi kita salah.”
Kembali kata – kata nasihat yang diberikan Pak Kiai di atas maksudnya dalam menjalani hidup kita jangan terlalu menyembunyikan sesuatu (apapun) yang kita miliki. Ada dalam keadaan tertentu kita harus menunjukan siapa kita, apa kita, dan bagaimana kita bukan bentuk kesombongan, tapi untuk kepentingan tertentu. Pun ketika kita sudah berada di atas (populer) atau semacam posisi penting dalam strutur tertentu, maka kita jangan terlalu menunjukan diri (sombong).
Pak Kiai mencontohkan dirinya pada hal yang sederhana, soal penulisan gelar KH, pada umumnya Beliau tidak mau ditulis dengan gelar KH, namum untuk kepentingan dan keadaan tertentu harus ditulisakan gelar tersebut. Berlanjut Beliau menekankan lagi kepada aku, seolah nasihat ini sangat penting sekali bagiku. Mungkin ini petunjuk dari Tahun dalam menjalani kehidupan melalui dari seorang Kiai yang memang selama ini masih menjalin komunikasi.
Sejak dulu aku menyukai silaturrahmi, kepada semua level manusia yang penting aku kenal insya Allah aku silaturrahmi. Setiap menyelesaikan proses silaturrahmi, insya Allah ada pelajaran yang aku dapat, entah dari cerita atau prinsip hidup orang tersebut atau pengetahuan yang mereka sampaikan ketika obrolan berjalan. Seperti kali ini, Pak Kiai menyampaikan prinsip hidupnya “Setiap ketemu orang anggaplah dia lebih pintar dari kita agar bisa menghilangkan rasa kesombongan.” Sederhana, tapi memiliki pelajaran hidup yang luar biasa karena kita dituntut menghilangkan rasa ego dalam diri.
Penyakit sombong sering kali menimpa setiap insan apa lagi bagi mereka yang sudah memiliki posisi penting dalam struktur masyarakat. Aku sebagai orang yang kenal dengan Beliau, yaitu sosok Kiai yang memiliki keilmuan dan ke’alamin yang tinggi, belajar di berbagai Pondok Pesantran dengan waktu puluhan tahun, dan yang jarang dimiliki orang – orang, beliau juga seorang Hafidz (hafal Al-Qur’an 30 Juz).
Pelajaran berharga yang dapat aku ambil, sekelas Beliau yang keilmuan dan ke’aliminnya tidak diragukan lagi, pun masih tetap memuliakan orang lain dan menganggap bahwa orang lain memiliki banyak kelebihan dari pada kita. Jika dibandingkan diriku yang ilmunya tidak seberapa dan masih dalam proses terus belajar, maka aku harus bersikap lebih rendah hati lagi dari Pak Kiai dalam menghadapi orang lain. Sebenarnya nasihat ini sudah beberapa kali Beliau sampaikan di beberapa kesempatan aku sowan, terakhir awal 2018 ketika aku selesai wisuda.
Pelajaran satu ini bagiku sangat menyentuh sekali karena berkaitan dengan sikap kita sehari-hari dalam menjalani hidup. Insya Allah akan menjadi bekal dalam pergaulan sehari – hari, cocok sekali bagi aku yang suka memperbanyak teman, berkumpul, bergaul dan melakukan sesuatu positif bagi masyarakat, intinya senang bersosial.
Ketika aku bertanya soal perubahan tujuan hidup lantaran dari proses dialektika yang dijalani, Pak Kiai menjawab “setiap manusia mengalami perubahan sehingga.”
Baginya jangan takut dengan perubahan, ikuti saja ritme yang sedang terjadi, sebagai manusia hanya mempunyai tugas mempersiapkan dalam setiap hal. Sebelumnya aku sempat aktif di Politik, namun akhir – akhir ini pelan – pelan mengurungi karena sudah terlalu banyak bagaimana realitas politik hari ini. Pak Kiai memberikan pertimbangan antara politik dan mengajar “dunia politik itu ada masa karirnya, tapi ilmu itu bermanfaat sepanjang masa.”
Ya, begitu dalam ajaran agama Islam bahwa ilmu yang bermanfaat akan menjadapat pahala sepanjang masa karena ia bagian dari amal jariyah. Lamunku terhenti sejenak sembari menerawang jauh meresapi kata – kata tersebut karena memang agak berat kalau dijalani. Terlalu lama aktif dalam dunia sosial dan politik memang butuh waktu panjang untuk meninggalkan semua itu.
Yogyakarta, Juli 2019