Oleh: Abu Laka
A. BIOGRAFI
IR. SOEKARNO
Ketika dilahirkan, Soekarno diberikan nama Kusno
Sosrodihardjo oleh orangtuanya.Namun karena ia sering sakit maka ketika berumur
lima tahun namanya diubah menjadi Soekarno oleh ayahnya. Nama tersebut diambil
dari seorang panglima perang dalam kisah Bharata Yudha yaitu Karna. Nama
“Karna” menjadi “Karno” karena dalam bahasa Jawa huruf “a” berubah menjadi “o”
sedangkan awalan “su” memiliki arti “baik”.
Di kemudian hari ketika menjadi Presiden R.I., ejaan nama
Soekarno diganti olehnya sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya nama
tersebut menggunakan ejaan penjajah (Belanda). Ia tetap menggunakan nama
Soekarno dalam tanda tangannya karena tanda tangan tersebut adalah tanda tangan
yang tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh
diubah. Sebutan akrab untuk Soekarno adalah Bung Karno.
Asal Usul Nama Achmed Soekarno
Asal Usul Nama Achmed Soekarno
Di beberapa negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang
ditulis Achmed Soekarno. Hal ini terjadi karena ketika Soekarno pertama kali
berkunjung ke Amerika Serikat, sejumlah wartawan bertanya-tanya, “Siapa nama
kecil Soekarno?” karena mereka tidak mengerti kebiasaan sebagian masyarakat di
Indonesia yang hanya menggunakan satu nama saja atau tidak memiliki nama
keluarga. Entah bagaimana, seseorang lalu menambahkan nama Achmed di depan nama
Soekarno. Hal ini pun terjadi di beberapa Wikipedia, seperti wikipedia bahasa
Ceko, bahasa Wales, bahasa Denmark, bahasa Jerman, dan bahasa Spanyol.
Sukarno menyebutkan bahwa nama Achmed di dapatnya ketika
menunaikan ibadah haji. Dalam beberapa versi lain, disebutkan pemberian nama
Achmed di depan nama Sukarno, dilakukan oleh para diplomat muslim asal
Indonesia yang sedang melakukan misi luar negeri dalam upaya untuk mendapatkan
pengakuan kedaulatan negara Indonesia oleh negara-negara Arab.
2.
Kehidupan
Ir. Soekarno
Soekarno dilahirkan dengan seorang ayah yang bernama
Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya yaitu Ida Ayu Nyoman Rai. Keduanya
bertemu ketika Raden Soekemi yang merupakan seorang guru ditempatkan di Sekolah
Dasar Pribumi di Singaraja, Bali. Nyoman Rai merupakan keturunan bangsawan dari
Bali dan beragama Hindu sedangkan Raden Soekemi sendiri beragama Islam. Mereka
telah memiliki seorang putri yang bernama Sukarmini sebelum Soekarno lahir.
Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya, Raden Hardjokromo di Tulung
Agung, Jawa Timur.
Ia bersekolah pertama kali di Tulung Agung hingga
akhirnya ia pindah ke Mojokerto, mengikuti orangtuanya yang ditugaskan di kota
tersebut. Di Mojokerto, ayahnya memasukan Soekarno ke Eerste Inlandse School,
sekolah tempat ia bekerja.Kemudian pada Juni 1911 Soekarno dipindahkan ke
Europeesche Lagere School (ELS) untuk memudahkannya diterima di Hoogere Burger
School (HBS). Pada tahun 1915, Soekarno telah menyelesaikan pendidikannya di
ELS dan berhasil melanjutkan ke HBS. di Surabaya, Jawa Timur. Ia dapat diterima
di HBS atas bantuan seorang kawan bapaknya yang bernama H.O.S. Tjokroaminoto.
Tjokroaminoto bahkan memberi tempat tinggal bagi Soekarno
di pondokan kediamannya. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para
pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu,
seperti Alimin, Musso, Dharsono, Haji Agus Salim, dan Abdul Muis. Soekarno
kemudian aktif dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Darmo yang dibentuk sebagai
organisasi dari Budi Utomo. Nama organisasi tersebut kemudian ia ganti menjadi
Jong Java (Pemuda Jawa) pada 1918. Selain itu, Soekarno juga aktif menulis di
harian “Oetoesan Hindia” yang dipimpin oleh Tjokroaminoto.
3.
Pergulatan
Intelektual Bung Karno
Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke
Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung dengan mengambil jurusan
teknik sipil dan tamat pada tahun 1925. Saat di Bandung, Soekarno tinggal di
kediaman Haji Sanusi yang merupakan anggota Sarekat Islam dan sahabat karib
Tjokroaminoto. Di sana ia berinteraksi dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto
Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi
National Indische Partij. Sikap
politik Soekarno muda terbangun di rumah pendiri Syarikat Islam, H.O.S.
Tjokroaminoto-kawan karib ayah Karno di Surabaya.
Soekarno muda
dititipkan di rumah tokoh pergerakan Islam itu, ketika saat masuk Hoogere Burger School (HBS). Di rumah inilah ia dapat
berkenalan dengan tokoh Pergerakan Nasional seperti Wahidin Soedirohusodo dan
Soetomo. Juga para tokoh Islam seperti Agoes Salim, Abdoel Moeis, Ahmad Dahlan,
Hasjim Asj’ari, dan A. Hassan, seorang tokoh Persis Bandung yang belakangan
menjadi kawan korespondensinya yang termasyhur.
Di rumah Tjokro
pula, Soekarno berkenalan dengan tokoh dari Marxisme dan sosialisme, seperti Alimin, Semaun Darsono, dan Tan
Malaka. Tiga terakhir awalnya adalah pengurus Sarekat Islam kemudian memisahkan
diri untuk bergabung dengan kelompok Marxis. Mereka selanjutnya mendirikan Partai
Komunis Indonesia pada 1920, sementara Soekarno dan kawan-kawan mendirikan
Partai Nasionalis Indonesia di Bandung, 1927.
PENJARA,
pengasingan di Ende dan Bengkulu, adalah tempat Soekarno lebih merenungi soal
Islam. Penjara Sukamiskin, misalnya, melarang buku politik dan surat kabar
masuk ke sel Soekarno. Sepanjang masa di penjara itu, satu-satunya hiburan
Soekarno adalah belajar tentang agama dan menulis. Penjara sesungguhnya memang
di Ende, kampung nelayan di Flores, Nusa Tenggara Timur. Empat tahun lamanya,
ia menjalani politik pengasingan akibat aktivitas politik nonkoperasi melalui
Partindo.
Di pulau itulah, Soekarno menghabiskan
waktu dengan membaca buku Islam. Renungan-renungannya tentang Islam muncul
dalam suasana intens, terutama surat-menyurat pribadi yang dikirimkannya kepada
A. Hassan. Surat-surat itu kelak masyhur disebut sebagai “Surat-surat dari
Ende”.
Pernah Soekarno
menulis soal tabir atau hijab yang memisahkan perempuan dan laki-laki. Ia juga
dengan cemerlang menulis tentang donor darah. Juga menjawab tudingan bahwa ia
anggota Ahmadiyah. Yang menarik, meski tak meyakini Ahmadiyah, ia tak
menyinggung perlu-tidaknya Ahmadiyah hidup di bumi Indonesia. Tidak juga
menuduhnya aliran sesat. Juga tidak merasa Islam yang dianutnya yang paling benar.
Di Ende dan
Bengkulu, selain surat-suratnya ke A. Hassan dan artikelnya yang termashyur di
Panji Islam, Soekarno meninggalkan ratusan karya tulis dan beberapa naskah
drama. Beberapa di antaranya dipentaskan selama ia berada di Ende. Namun
“temuan” penting sesungguhnya adalah konsepsinya yang kelak dinamai Pancasila.
Dari seluruh masa Soekarno muda, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, Asvi Warman Adam, menilai periode 1926-1930 adalah puncak
kreativitas pemikiran Soekarno akan nasionalisme dan sikap kerasnya menentang
kolonialisme. Juga kegandrungannya pada persatuan. Karakter Soekarno sebagai
pemersatu dan aktivis anti-imperialis yang militan terlihat jelas di era ini.
Begitu pula era sesudahnya hingga menjelang kemerdekaan, 1945. “Selama masa
itulah, kita dengan mudah mengenal siapa sesungguhnya Soekarno,” kata Eros
Djarot, salah seorang politikus nasionalis.
Boleh jadi, karena
itu pula, Di Bawah Bendera Revolusi jilid I menjadi karya Soekarno yang paling
populer. Buku ini diterbitkan pertama kali oleh sebuah panitia penerbitan resmi
dari Departemen Penerangan yang dipimpin Mualiff Nasution, 17 Agustus 1959.
Tebal 650 halaman, berisi 61 tulisan Soekarno antara 1926 dan 1941.
Menurut Asvi, butuh lima tahun bagi
panitia itu untuk bekerja mengumpulkan tulisan yang tersebar di mana-mana.
Semuanya masih dalam ejaan lama. Kabarnya, Soekarno sendiri yang membubuhkan
judul, Di Bawah Bendera Revolusi. Soekarno pula yang menggandeng Tjio Wie Tjay
alias Haji Masagung, pengusaha Toko Buku Gunung Agung, sebagai penerbit dan
penyalur.
Pada 1963, buku
monumental ini dicetak ulang. Hanya dalam waktu dua minggu edisi pertama
terjual habis. Pada 1965, buku itu dicetak yang keempat kalinya. Dan pada 2005,
penerbitan buku itu dilakukan anak-anak Soekarno melalui Yayasan Bung Karno
B. PEMIKARAN
SOEKARNO
1.
Nasionalisme,
Islamisme, dan Marxisme
Bung Karno bukan
hanya politikus hebat, bapak pendiri bangsa, pejuang yang gigih, dan mantan
Presiden. Semasa hidupnya, Bung Karno aktif dalam pergulatan pemikiran. Ia
mewariskan pemikiran-pemikiran besar, yang berguna bagi bangsa ini hingga
sekarang.
Bung Karno muncul
sebagai cendekiawan dalam usia masih muda. Itu terjadi di tahun 1920-an. Pada
usia 20 tahun, misalnya, ia sudah mulai bergulat dengan upaya meletakkan marxisme
dalam konteks Indonesia. Hasilnya adalah marhaenisme.
Kemudian, pada usia 25 tahun, Ia
mengeluarkan tulisan yang cukup berpengaruh, yakni Nasionalisme, Islamisme,
dan Marxisme. Artikel yang ditulis tahun 1926 itu berusaha
mempertemukan kenyataan objektif dan keharusan historis bagi bersatunya tiga
aliran politik dalam perjuangan anti-kolonial di Indonesia, yakni nasionalis,
agamais, dan marxis.
Pada tahun 1930-an,
Bung Karno menulis artikel berjudul “Demokrasi Politik Dan Demokrasi Ekonomi”.
Artikel inilah kelak yang melandasi pemikiran Bung Karno untuk melahirkan dua
pemikiran besar. Pertama, sosio-nasionalisme, yakni konsepsi nasionalisme
Indonesia yang bercita-cita membangun masyarakat tanpa penindasan dan
penghisapan. Kedua, sosio-demokrasi, yakni konsep demokrasi alternatif yang
berusaha mengawinkan antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.
Pancasila, yang
dianggap satu sumbangsih besar pemikiran Bung Karno dalam konsepsi kenegaraan
kita, akarnya adalah sosio-demokrasi dan sosio-nasionalisme. Konsep persatuan
Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis) juga berakar di tulisan Bung Karno pada
tahun 1926, Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Memang, harus diakui,
bahwa dalam membentangkan pemikirannya, Bung Karno banyak mengutip pemikir
marxis barat. Yang paling banyak dikutip adalah Karl Marx, Karl Kautsky
(Sosialis-Demokrat Jerman), Jean Jaures (Sosialis Perancis), PJ Troelstra
(Sosialis Belanda), dan Hendriette Roland Holst (pengarang kiri Belanda).
Sebagai seorang
intelektual, Bung Karno punya beberapa ciri yang cukup menonjol. Pertama,
kendati banyak menghirup pemikiran kaum marxis maupun intelektual politik di
barat, tetapi Bung Karno selalu memperhadapkan pemikiran itu dengan realitas
konkret di Indonesia. Ini terlihat jelas dalam terobosan Bung Karno melahirkan
Marhaenisme, Sosio-Nasionalisme, dan Sosio-Demokrasi. Tiga pemikiran itu murni
kreasi Bung Karno. Tetapi dasar-dasar teoritiknya/analisisnya banyak
dipengaruhi oleh pemikiran dari luar, yakni marxisme.
Kedua, Bung Karno
membaca banyak buku, majalah dan mengetahui banyak hal melalui interaksinya
dengan dunia luar. Menariknya, Soekarno selalu berhasil menjelaskan apa yang
diketahuinya dengan bahasa sederhana kepada rakyatnya. Ia selalu ingin apa yang
diketahuinya juga diketahui oleh rakyatnya. Dalam banyak pidatonya, ia tak
segan-segan mengutip pemikiran Marx, Lenin, Trotsky, Abraham Lincoln, Otto
Bauer, H Roland Holst, dan lain-lain. Tidak jarang, agar pendengarnya gampang
memahami teorinya, Bung Karno menggunakan perumpamaan-perumpamaan, meminjam
epos-epos, hikayat-hikayat rakyat, hingga cerita-cerita pewayangan.
Bung Karno
menggunakan pidato sebagai medium menyampaikan pesan dan menambah khasanah
pengetahuan rakyat. Ia mengulang-ulang banyak istilah penting, seperti
revolusi, sosialisme, anti-kolonialisme, anti-imperialisme, agar rakyat faham
istilah tersebut. Namun, corak pemikiran Bung Karno bukan tanpa kekurangan.
Banyak pemikiran Bung Karno itu masih bersifat umum dan butuh elaborasi lebih
lanjut. Sebut saja, misalnya, konsep sosio-demokrasi. Bung Karno hanya mengulas
konsep ini dalam beberapa artikel dan pidato. Muncul masalah: ketika Bung Karno
menolak konsep demokrasi borjuis eropa, termasuk sistem parlementernya, lantas
apa alternatifnya? Ini belum terjawab dalam artikel-artikel dan pidato Bung
Karno.
Karena itu, menurut
pengajar filsafat Universitas Indonesia, Donny Gahral Adian, Bung Karno bukan
hanya seorang orator yang cemerlang, tetapi juga seorang ideolog. “Tujuan
orator itu hanya menyampaikan saja apa yang dikepalanya. Sedangkan seorang
ideolog ingin menanamkan apa yang disampaikannya kedalam hati sanubari
pendengarnya,” ujarnya.
Selain itu, seperti
diakui penulis “Soekarno: Biografi Politik”, Kapitsa M.S dan Maletin N.P, Bung
Karno adalah ahli yang memahami jiwa dan psikologi massa. Ia sanggup menangkap
apa yang tersirat di dalam lubuk hati rakyatnya. Inilah yang membuat Bung Karno
menjadi tokoh politik yang paling dicintai oleh rakyatnya. Ketiga, Bung Karno tidak mengikat dirinya dalam satu arus pemikiran
besar. Kita tahu, Bung Karno selalu menyebut dirinya seorang marxis, tetapi
tidak pernah mengikatkan dirinya pada tendensi marxis tertentu—sosial-demokrat,
trotskys, maois, leninis, dan lain-lain.
2. Pancasila
Pertikaian yang terjadi
diantara sesama kaum pergerakan Indonesia pada tahun 1920-an menyebabkan
Soekarno berusaha keras bagaimana menyatukan berbagai kelompok aliran politik
yang ada pada waktu itu. Sedangkan perdebatan tentang dasar negara yang terjadi
pada tahun 1945 tidak terlepas dari fragmentasi kehidupan aliran ideologi yang terpolarisasi dalam tiga
kekuatan besar yakni Islam (SI-PSI), Nasional (PNI-PNI Baru) dan Komunis (PKI).
Pengaruh tokoh dan ideologi partai menguat dan diperjuangkan sebagai dasar
negara dalam sidang BPUPKI dan kemudian pada Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) yang dibentuk oleh Jepang pada 7 Agustus 1945 untuk
menggantikan BPUPKI. Perdebatan “apakah dasar
negara kita, jika merdeka?” memang menghangat di sidang-sidang BPUPKI dan PPKI.
Soekarno-Hatta dan kaum
nasionalis berada di barisan terdepan untuk meyakinkan Pancasila sebagai dasar negara yang pas bagi Indonesia
yang akan merdeka. Tapi, kelompok tokoh Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo dari
Muhammadiyah, KH. Wahid Hasyim dari NU, dan KH. Achmad Sanusi dari PUI menolak
Pancasila dan menginginkan Islam sebagai dasar negara. Puncak dari pemikiran Soekarno dalam menyatukan berbagai aliran utama dalam
masyarakat Indonesia menjelang Indonesia merdeka ini adalah lima rumusan saling
berkaitan yang diberi nama Pancasila. Disini dapat dikatakan bahwa Pancasila merupakan suatu nota kesepakatan
antara golongan nasionalis, kelompok agama Islam dan Kristen-Katolik dalam
kehidupan bernegara.
Sebagai salah satu founding
fathers Indonesia, pemikiran-pemikiran Soekarno memiliki keistimewaan
dibanding tokoh-tokoh Indonesia pada waktu itu. Dasar-dasar pemikiran politik Soekarno memberi
akomodasi pada aliran-aliran penting yang hidup di dalam masyarakat, yaitu ke
arah mempersatukannya ke dalam suatu “common denominator”, apakah
namanya Marhaenisme, Pancasila, atau Nasakom. Untuk keperluan itu, dia memilih
apa yang dianggapnya baik atau positif dari masing-masing aliran. Dalam hal ini
dia berpegang pada sikap kesediaan untuk memberi dan menerima dari
masing-masing aliran atau ideologi yang ada.[1]
Dalam merumuskan
Pancasila, Soekarno berusaha menyatukan semua pemikiran dari berbagai tokoh dan
golongan serta membuang jauh-jauh kepentingan perorangan, etnik maupun
kelompok. Soekarno menyadari sepenuhnya bahwa kemerdekaan Indonesia adalah
kemerdekaan untuk semua golongan. Menyadari akan kebhinekaan bangsa Indonesia
tersebut, Soekarno mengemukakan konsep dasar Pancasila yang didalamnya
terkandung semangat “semua buat semua”. Pancasila tidak hanya digunakan sebagai
ideologi pemersatu dan sebagai perekat kehidupan dan kepentingan bangsa, tetapi
juga sebagai dasar dan filsafat serta pandangan hidup bangsa. Sesuai dengan
Tuntutan Budi Nurani Manusia, Pancasila mengandung nilai-nilai ke-Tuhanan, Kemanusiaan
(humanisme), Kebangsaan (persatuan), demokrasi dan keadilan. Ini merupakan
dasar untuk membangun masyarakat baru Indonesia, yaitu masyarakat sosialis
Indonesia.[2]
Pancasila merupakan
puncak dari perkembangan pemikiran Soekarno yang selalu mencoba untuk
mengawinkan semua ide yang ada dan tumbuh didalam masyarakat menjadi suatu ide baru yang lebih
tinggi tempatnya dan dapat diterima oleh semua elemen penting yang ada.
Pancasila oleh Soekarno diyakini sebagai pengangkatan yang lebih tinggi atau hogere
optrekking daripada Declaration of Independence dan Manifesto Komunis
karena didalam Declaration of Independence tidak ada keadilan social atau
sosialisme sedangkan didalam Manifesto Komunis tidak mengandung Ke-Tuhanan Yang
Maha Esa.[3] Pancasila mengandung keduanya sehingga Soekarno menganggap bahwa Pancasila
mempunyai nilai yang lebih tinggi dari Declaration of Independence maupun
Manifesto Komunis.
Dalam perkembangan selanjutnya,
pertemuan dengan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia semasa dia bersekolah di
Surabaya telah membentuk karakter dan cara berpikirnya akan kemerdekaan
bangsanya dari kaum penjajah. Tokoh-tokoh tersebut adalah H.O.S Tjokroaminoto,
H. Agus Salim, Ki Hadjar Dewantoro, tokoh-tokoh partai komunis seperti Hendrik
Sneevliet, Semaun, dan Alimin, kemudian Douwes Dekker dan Tan Malaka.[4]
Kegemarannya akan membaca tulisan-tulisan pengarang asing juga sangat berdampak
besar terhadap alur pemikirannya dalam usaha mempersatukan bangsanya untuk
mencapai Indonesia merdeka.[5]
Dalam perkembangan
selanjutnya, pertemuan dengan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia semasa dia
bersekolah di Surabaya telah membentuk karakter dan cara berpikirnya akan
kemerdekaan bangsanya dari kaum penjajah. Tokoh-tokoh tersebut adalah H.O.S
Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Ki Hadjar Dewantoro, tokoh-tokoh partai komunis
seperti Hendrik Sneevliet, Semaun, dan Alimin, kemudian Douwes Dekker dan Tan
Malaka.[6]
Kegemarannya akan membaca tulisan-tulisan pengarang asing juga sangat berdampak
besar terhadap alur pemikirannya dalam usaha mempersatukan bangsanya untuk
mencapai Indonesia merdeka.[7]
3. Marhenisme
Pada tahun 1930-an
Soekarno mulai merumuskan konsepnya yang baru yang diberinya nama Marhaenisme.
Konsep Marhaenisme ini banyak dipengaruhi oleh ajaran Karl Marx. Teori
perjuangan Marx, yang kemudian dikenal dengan Marxisme banyak berpengaruh dalam
benak Soekarno dan menginspirasi Soekarno dalam pemikiran dan tingkah laku
politiknya. Bahkan Soekarno kemudian secara jujur mengakui bahwa Marhaenisme
yang ia ciptakan adalah Marxisme yang diterapkan di Indonesia, artinya Marxisme
yang disesuaikan dengan kondisi dan masyarakat Indonesia.[8] Dalam
perkembangannya Marhaenisme kemudian menjadi dasar perjuangan Partai Nasional
Indonesia (PNI) dan Partindo yang didirikan Soekarno. Asas Mahaenisme adalah
sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.
Sosio-nasionalisme
adalah faham yang mengandung faham kebangsaan yang sehat dan berdasarkan
perikemanusiaan, persamaan nasib, gotong royong, hidup kemasyarakatan yang
sehat, kerjasama untuk mencapai sama bahagia, tidak untuk menggencet dan
menghisap. Jadi dalam faham kebangsaan itu harus ada semangat kerjasama dan
gotong royong antar bangsa Indonesia dan antara bangsa Indonesia dengan
bangsa-bangsa lain di dunia. Sosio-demokrasi adalah faham yang menjunjung
tinggi kedaulatan rakyat. Gagasan ini merupakan reaksi terhadap demokrasi yang
muncul di barat pada waktu Soekarno mencetuskan ide ini. Demokrasi di Barat
yang dipahami Soekarno adalah Demokrasi yang lebih bersifat liberalistis yang
hanya menjamin kebebasan warganya dalam bidang politik saja dan tidak berlaku
di bidang ekonomi.[9]
C. KONSEP
SOEKARNO TENTANG NEGARA dan AGAMA
Perdebatan sengit
seputar hubungan Islam dan Negara di Indonesia telah muncul sejak sebelum
merdeka. Polemik Soekarno versus Mohammad Natsir tentang hubungan negara dan
agama yang terjadi di Panji Islam pada era 1940-an ini adalah bukti
konkretnya. Di dalamnya tergambar sebuah pertarungan ideologi antara pemikiran
Nasionalis-Sekular dan Islam-Politik. Ide
pemisahan agama dan negara yang dilontarkan Soekarno, dan pandangan mengenai
pentingnya agama dalam negara yang dianut Natsir, menjadi platform
pemikiran yang hingga kini masih mempunyai pendukungnya sendiri-sendiri.
Buku ini jelas memperlihatakan pemikiran-pemikiran Soekarno muda dalam
rentan waktu 1926-1941
dimana pemikiran-pemikiran selanjutnya hanyalah kelanjutan dari
pemikiran-pemikan mudanya (Susilo, 2010:75). Setiap kelompok masyarakat mempunyai suatu moralitas
bersama. Indonesia sebagai suatu kelompok masyarakat yang baru, lahir dari
suatu perasaan dan sentimen yang dialaminya bersama dalam sejarah kehidupan
bersama. Imperialisme nampaknya telah menjadi suatu kekuatan yang menekan
kebebasan hati nurani di manapun imperialisme itu hadir. Imperialisme begitu
dasyatnya menghancurkan tatanan masyarakat bangsa-bangsa. Dengan demikian
lahirnya suatu bangsa yang baru, secara khusus bangsa Indoensia, meluap dari
hati nurani yang ingin bebas, merdeka, menikmati otonomi individunya dalam
kehidupan semesta.
Kesadaran kolektif
inilah yang telah membangun tekad „founding fathers“ untuk menyatukan
kepelbagaian kelompok-kelompok yang ada di bumi nusantara ini, menjadi suatu
bangsa yang baru. Sebagai suatu kelompok masyarakat baru, dibutuhkan suatu
dasar untuk menata kesatuan bangsa ini. Soekarno, dengan kepekaan hati nurani
dan keseriusan terhadap upaya kesatuan, cepat menyadari adanya berbagai macam
aliran pemahaman dasar kesatuan bangsa, justru akan menghancurkan kesadaran
kolektif bangsa Indoensia. Kelompok-kelompok itu saling berjuang menurut
kepentingan, harapan dan cita-citanya masing-masing. Dalam situasi seperti ini,
Soekarno dengan kesadaran Nasionalismenya yang sangat kuat, melihat
kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan dan harapannya masing-masing itu
sebagai suatu kekuatan bangsa.
Dengan gaya
rethoriknya yang khas, ia mencari landaan hubungan masing-masing kelompok itu.
Ia melihat kesamaan kepentingan dan harapan kelompok Nasionalisme, Islamisme,
Marxisme dalam konteks kesadaran kolektif seluruh bangsa .1 Soekarno meletakan
kepentingan dan harapan bangsa di atas kepentingan kelomnpok. Ia memberi
makna(Soekarno, „Nasionalisme, Islamisme, Marxisme“, dalam Soekarno, Dibawah
Bendera Revolusi, Djilid I, Panitya Penerbit di bawah Revolusi, Jakarta, 1963.)
baru terhadap pokok-pokok pikiran dari ketiga „isme“ dari konteks di mana
„isme“ itu lahir. Dari sini jelas sekali arah pemikiran Soekarno yang
melahirkan pancasila, yang diterima sebagai ideologi bangsa Indonesia.
Dalam perjalanan
sejarah bangsa Indonesia, agama-agama memperlihatkan suatu gejala
kepentingannya sendiri. Hal ini jelas sekali terlihat dalam revolusi-revolusi
sesudah Indonesia merdeka (bukan hanya revolusi agama tetapi juga revolusi
daerah dan revolusi ideologi). Ini menunjukan bahwa setiap agama, daerah,
ideologi ingin mewujudkan harapan dan cicta-citanya di Negara Indonesia. Indonesia
yang menjadi suatu bangsa yang baru dalam kesatuan Negara Republik ini, adalah
hasil keinginan bersama yang diperjuangkan secara sadar. Negara yang dimaksud disini
menunjuk pada „ kesatuan hidup rakyat yang punya cita-cita dan tujuan hidup
yang sama (organisasi)“.[10]
Dalam kesatuan itu, Indonesia telah membuat suatu konsensus bersama yang diatur
dalam undang-undang berdasarkan Pancasila.
Konsekuensinya Pancasila
dan UUD 45 adalah sumber kekuatan integrasi dan solidaritas negara Indonesia
yang saling terkait. Dengan demikian Pancasila adalah sumber moralitas
Indonesia. Idealnya Pancasila ini yang menjadi agama yang lahir dari masyarakat
Indonesia. Sebab itu masyarakat Indonesia dapat disebutkan sebagai yang telah
melahirkan agama yang sui generis dari masyarakat Indonesia yang sui generis.
Tetapi hal ini jelas sekali bukan sebagaimana yang dimaksudkan oleh konsensus
masyarakat Indonesia. Pancasila sebagai pandangan hidup seluruh bangsa
Indonesi, kepribadian bangsa Indonesia“ Demikian pandangan Suharto tentang
Pancasila.[11] Indonesia
adalah suatu bangsa baru yang tidak sama dengan masyarakat pra-Indonesia.
Masyarakat Indonesia mempunyai kepentingan khusus yang adalah juga kepentingan
yang sama dengan kepentingan seluruh kelompok masyarakat, agama-agama dan
ideologi lainnya.Oleh sebab itu kehadiran agama harus dilihat dalam terang
harapan dan cita-cita seluruh masyarakat Indonesia seperti yang telah
dinyatakan dalam „Pembukaan UUD 45.
Agama adalah sumber
integrasi tetapi juga menjadi sumber konflik yang menghancurkan konsensus hidup
bersama bangsa Indonesia. Hal kedua yang akan terjadi jika agama - agama
tertentu di Indonesia akan selalu merasa superior dan lebih berjasa dari agama
yang lain.Lalu yang terjadi adalah kehancuran Indonesia yang kemerdekaanya
telah diraih melalui pengorbanan, waktu dan tenaga yang sangat banyak. Tentu
saja ini bukan pilihan yang tepat bagi bangsa Indonesia. Oleh karena rasa
superior diatas agama lain, berarti menghianati atau mengingkari bangsa yang
lahir tanggal 17 Agustus 1945. Oleh sebab itu upaya pemikiran bersama terhadap
hubungan antara ideologi agama dan ideologi Negara sangat penting.
Alinea ke dua dalam
Pembukaan UUD 45 menyebutkan tujuan negara: „ dan perjuangan kemerdekaan
Indoensia telah sampai kepada saat yang berbahagia dengna selamat sentosa
mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu negara Indonesia, yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur“. Oleh karena ini harapan dan cita-cita
semua bangsa Indonesia, maka diaturlah suatu „bingkai“ gerak bersama, yaitu UUD
45. Ini penting dalam rangka mengatur
hak- hak dan kewajiban seluruh rakyat Indonesia. Dalam bingkai hukum, rakyat
Indonesia bebas menghirup dan menjaga kemerdekaan untuk mencapai cita-citanya.
Itulah sebabnya, pada saat „gentlements agrrement“ disepakati dan di sahkan,
maka bab II pasal 29 ayat 1, tentang agama dan bab III pasal 6 ayat 1, tentang
syarat-syarat pemilihan presiden turut berubah. Perubahan ini menunjukan betapa
pentingnya kehidupan beragama juga diatur oleh suatu perundang-undangan. Sangat
penting bagi kita untuk memahami konteks kehadiran agama. Agama-agama hanya
dapat menjadi sumber dukungan moral bangsa bilamana ia melepaskan kepentingan kebudayaan
„ in status nascendi“ (di tempat agama itu lahir) dan yang menjadi dasar adalah
kepentingan masyarakat dimana agama itu hadir.
Soekarno adalah
sosok pribadi yang kompleks. Lewat atribut revolusionernya, dia berusaha untuk
memodernisasikan kaum konservatif dengan tidak bisa lari jauh dari eksistensi
manusia sendiri yang secara kodrati sebagai makhluk yang dikarunia oleh Tuhan
beberapa hak yang tidak bisa dimonopoli, termasuk di dalamnya hak untuk
memperoleh kemerdekaan. Hal ini tidak lepas dari latar belakang Soekarno
sendiri sebagai orang yang jauh di bawah elitisme. Bagi Soekarno, bangsa,
kebangsaan atau nasionalisme dan tanah air merupakan suatu kesatuan yang tak
dapat dipisahkan.[12]
Nasionalisme
menurut Soekarno merupakan kekuatan bagi bangsabangsa yang terjajah yang kelak
akan membuka masa gemilang bagi bangsa tersebut. Dengan nasionalismelah bangsa
Indonesia akan mendirikan syaratsyarat hidup mereka yang bersifat kebatinan
dan kebendaan. Kecintaan kepada bangsa dan tanah air merupakan alat
yang utama bagi perjuangan Soekarno.
Nasionalisme
Soekarno dapat dikatakan sebagai nasionalisme yang komplek, yaitu nasionalisme
yang dapat beriringan dengan Islamisme yang pada hakekatnya non-natie dan
relatif bergerak secara leluasa di dataran marginalitas yang mengenyampingkan
pada intrik ras dan etnisitas. Nasionalisme telah memegang peranan penting dan
bersifat positif dalam menopang tumbuhnya persatuan dan kesatuan serta
nilai-nilai demokratisasi yang pada gilirannya akan mampu melaksanakan
pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan kualitas pendidikan rakyat. Hal
ini karena konsep nasionalisme merupakan dorongan yang mendasar dalam
pengaktualisasian Prinsip pertama yang
menjadi perhatian Soekarno adalah Kebangsaan.
Mengenai sila Kebangsaan
ini, Soekarno terilhami oleh tulisan Dr. Sun Yat Sen yang berjudul “San Min Chu
I” atau “The Three People’s Prinsiples”.
Kebangsaan Soekarno semakin matang dengan pengaruh dari Mahatma Gandhi
yang menyatakan bahwa “My nationalism is humanity”. Kebangsaan yang diyakini
Soekarno adalah Kebangsaan yang berperikemanusiaan, kebangsaan yang tidak
meremehkan bangsa lain, kebangsaan yang bukan chauvinisme. Faham bangsa yang
dimaksud adalah tidak dibangun atas dasar faham ras, suku bangsa kebudayaan
ataupun Agama tertentu.
Nation yang dimaksud
juga tidak hanya mendasarkan kepada paham satu kelompok manusia yang bersatu
menjadi bangsa karena kehendak untuk bersatu (le desir d’etre ensemble)
menurut Ernest Renan, maupun berdasarkan paham persatuan watak yang timbul
karena persamaan nasib (“Eine Nation ist aus schik salsgemeinschaft
erwachsende Charaktergemeinschaft”) menurut Otto Bauer, yang kedua-duanya
menurut Soepomo dan Muh. Yamin sudah “verouderd” atau sudah tua, melainkan
harus disatukan dengan prinsip Geopolitik. Jadi Kebangsaan Indonesia adalah
seluruh manusia Indonesia yang ditakdirkan oleh Allah SWT mendiami seluruh
kepulauan Indonesia antara dua benua dan dua samudera, yang menurut geopolitik
tinggal di pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian.[13]
Paham Kebangsaan ini berlawanan dengan faham kosmopolitanisme yang menyatakan
tidak ada kebangsaan.
Prinsip kedua yang
diuraikan Soekarno adalah Internasionalisme. Internasionalisme yang dimaksud
disini bukanlah kosmopolitanisme yang tidak menginginkan adanya kebangsaan.
Internasionalisme sangat berhubungan dengan prinsip Kebangsaan yang diuraikan
Soekarno pada sila pertama. Tujuan Soekarno dengan melontarkan prinsip ini
adalah bukan hanya sekedar membangun nasionalisme dalam negeri yang
dimerdekakan, melainkan lebih dari itu yaitu untuk membangun kekeluargaan
bangsa-bangsa.[14] Dalam era sekarang lebih tepat
dikatakan sebagai usaha membangun kerjasama antar bangsa-bangsa dan membangun
perdamaian dunia.
“Saya ingin sekali
membaca lain-lain buah pena saudara… Saya perlu kepada Bukhari dan Muslim itu,
karena di situlah dihimpunkan hadis-hadis yang dinamakan sahih. Padahal saya
membaca keterangan dari salah seorang pengenal Islam bangsa Inggris, bahwa Bukharipun
masih terselip hadis-hadis yang lemah. Diapun, menerangkan bahwa kemunduran
Islam, kekunoan Islam, ketakhayulan orang Islam, banyaklah karena hadis-hadis
lemah itu, yang lebih sering ”laku” daripada ayat-ayat Al-Quran . . .”
(Surat-Surat Dari Ende di dalam DBR Jilid I)
Dengan melihat
sejarah, khususnya pasang surut dan pasang naik kekuatan Islam, Soekarno
memandang perlu pemisahan urusan negara dengan urusan agama. Dengan pemisahan
urusan itu, negara dapat mendorong kehidupan keberagamaan yang dinamis. Disatu
pihak kehidupan beragama bisa diatur dan disusun agar tidak merusak persatuan
bangsa, kehidupan beragama mesti menjamin kesetaraan antar sesama manusia, ia
tidak boleh menjadi alat penindas sesama, tetap berpihak kepada kepentingan
masyarakat luas dan mampu mewujudkan keadilan bagi semua.
Dalam tulisannya
berjudul “ Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dengan Negara”
yang terbit di tahun 1940 terkait dengan keputusan Kemal Attaturk di Turki),
Sukarno berpandangan bahwa agama adalah aturan-aturan spiritual, sedangkan
negara merupakan urusan duniawi. Ia pun mengutip Halide Edib Hanoum, bahwa:
“. . . Agama itu
perlu dimerdekakan dari asuhannya supaya menjadi subur. Kalau Islam terancam
bahaya pengaruhnya di atas rakyat Turki, maka itu bukanlah karena tidak diurus
pemerintah tetapi justru diurus oleh pemerintah. Umat Islam terikat
kaki-tangannya dengan rantai kepada politiknya pemerintahan. Hal ini adalah
suatu halangan besar sekali buat kesuburan Islam di Turki dan bukan saja di
Turki, tetapi di mana-mana saja, karena pemerintah campur tangan di dalam
urusan agama, di situ menjadikan ia satu halangan besar yang tak dapat dienyahkan.”
(lihat DBR Jilid I)
Pemisahan urusan
agama dengan urusan negara ini kembali dipertegas oleh Presiden Soekarno saat
berpidato di Amuntai dan juga pada beberapa forum lainnya. Dengan mempelajari
dan mendalam “alam pikir” dari setiap paham itu, Sukarno pun berkata: “Saya
bukan seorang nasionalis. Saya bukan seorang religius. Saya bukan seorang
sosialis. Saya adalah saripati dari ketiganya.”
D. MEMAHAMI
NILAI KETUHANAN dalam PEMIKIRAN SOEKARNO
Untuk dapat
memahami Pancasila perlu memahami logika pemikiran Soekarno yang sebagian besar
dibangun secara empiris melalui pengalaman sejarah kehidupan bangsa ini.
Tata urutan
sila-sila Pancasila yang diucapkan oleh Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945 adalah:
1. Kebangsaaan
Indonesia
2.
Internasionalisme – atau Perikemanusiaan
3. Mufakat – atau
Demokrasi
4. Kesejahteraan
Sosial
5. Ketuhanan
Sedangkan urutan
sila-sila hasil Panitia Sembilan yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta
adalah:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknya.
2. Kemanusiaan yang
adil dan beradab
3. Persatuan
Indonesia
4.Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.
5. Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selanjutnya, tata urutan sila-sila Pancasila
di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah sebagai berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa,
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Karena itu pula, tata urutan sila-sila
Pancasila yang diucapkan pada 1 Juni 1945 dapat disebut sebagai formulasi empiris. Sedangkan versi Panitia Sembilan dapat
disebut sebagai formulasi filosofis sedangkan di dalam
Pembukaan UUD 1945 adalah formulasi yuridis. Pemahaman
mendalam nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila baik filosofis maupun
yuridis tentu hanya tercapai jika terlebih dahulu memahami fakta empiris yang
diungkapkan oleh Soekarno, serta logika pemikiran Soekarno, terutama pada masa
pra kemerdekaan.
Terkait Pidato 1
Juni 1945, maka satu hal yang kerap dipertanyakan oleh berbagai pihak adalah
penempatan “Prinsip Ketuhanan” pada urutan terakhir, sementara prinsip
Kebangsaan pada urutan pertama. Oleh karena itu beberapa kalangan menilai
Soekarno seorang nasionalis sekularis, setidaknya jika menggunakan alur logika
barat. Tetapi, penilaian seperti ini kerap terbantahkan jika melihat alur
pemikiran Soekarno di berbagai tulisan dan pidatonya, yang sesungguhnya sarat
dengan nilai-nilai keimanan (tauhid).
Pada tulisannya
berjudul “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme,” dalam buku Di Bawah
Bendera Revolusi Jilid I (2),terlihat dengan jelas upaya
Soekarno mempertemukan aliran pemikiran yang oleh banyak kalangan mustahil
dapat dipertemukan seraya menempatkannya dalam perspektif keimanan. Yakni
dengan melihat esensi dan makna yang lebih tinggi atau hogere optrekking
(3) dari masing-masing paham itu. Dalam tulisan
yang diterbitkan oleh Suluh Indonesia Muda (1926) Sukarno mengatakan:
“…nasionalisme di
dalam kelebaran dan keluasannya mengasih tempat cinta pada lain bangsa, sebagai
lebar dan luasnya udara, yang mengasih tempat pada segenap sesuatu yang perlu
untuk hidupnya segala hal yang hidup … nasionalisme yang membuat kita menjadi ‘perkakasnya
Tuhan’ dan membuat kita menjadi ‘hidup dalam roh’ …”
Jika menyimak
Pidato 1 Juni 1945, sesungguhnya saat Soekarno menjelaskan prinsip kebangsaan,
ia telah meletakkan konsep negara sebagai sesuatu yang berciri khas Indonesia
yang didalamnya terkandung nilai –nilai keimanan. Dalam pidato itu Soekarno
berkata:
“.. Orang dan
tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada
di bawah kakinya. Ernest Renan (4) dan Otto Bauer (5) hanya
sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan gemeinschaftnya dan perasaan
orangnya, “I ame et le desir. Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat
tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia. Apakah tempat itu ?
tempat itu adalah tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah
SWT membuat peta dunia, menyusun peta dunia…
Maka manakah yang
dinamakan tanah tumpah darah kita, tanah air kita ? Menurut geopolitik (6) maka Indonesia-lah tanah air kita. Indonesia yang bulat –
bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja atau Selebes saja atau
Ambon saja atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk
oleh Allah SWT menjadi satu kesatuan antara dua benua dan dua
samudera – itulah tanah air kita (7) (Pidato 1 Juni
1945)
Menghubungkan
prinsip kebangsaan, internasionalisme (peri kemanusiaan) serta prinsip
permusyawaratan/perwakilan, tidak hanya menunjukkan kemampuan Soekarno
mengadopsi pemikiran barat modern, tapi sekaligus memperbaikinya dengan memberi
landasan keimanan. Beberepa sumber menjelaskan dalam soal kebangsaan, Soekarno
memang cenderung memandangnya sebagai fenomena sosial, sebagai fakta empiris.
Tapi, persinggungannya dengan H Agus Salim, membuka cakrawala baru tentang
kebangsaan sebagai fenomena teologis, yakni tauhid dalam ajaran Islam. Tauhid
mengandung pengertian adanya kesatuan yang Mutlak yakni Allah. Selain itu
prinsip Tauhid mengandung pengertian akan kesamarataan semua makhluk di depan
Allah SWT tanpa membedakan rasa dan asal usulnya.
Nilai-nilai yang terkandung
di dalam perikehidupan bangsa Indonesia yang oleh Soekarno diformulasikan baik
dalam Pancasila, Trisila dan Ekasila, sesungguhnya dapat ditemukan di dalam
pesan-pesan agama yang hidup subur di Indonesia. Karena itu, saat mengenalkan
Pancasila kepada dunia, Presiden Soekarno saat berpidato di depan Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengutip surat Al Hujarat ayat 13 yang
berbunyi “Wahai manusia
sesungguhnya aku menjadikan kamu dari seorang lelaki dan seorang perempuan,
agar kamu hidup bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, dan kamu sekalian dapat
mengenal satu sama lain, tapi ketahuilah yang mulia diantara kamu sekalian
ialah yang bertaqwa kepadaKu.”[15]
Menurut Soekarno,
prinsip Ketuhanan (salah satu sila dari Pancasila) digali dari perikehidupan masyarakat
Indonesia, dan dengan keyakinannya itu, ia lebih memilih Indonesia sebagai
negara nasional bukan negara berlandaskan agama. Untuk memahami hal ini, tentu
perlu mengetahui alur pemikiran Soekarno, khususnya mengenai soal Ketuhanan.
Seperti diakuinya
kepercayaannya akan eksistensi Tuhan sudah tertanam di dalam dirinya sejak
kecil. “Kami adalah bangsa yang hidup dari pertanian, dan siapakah yang
menumbuhkan segala sesuatu ? Al Khalik, Yang Maha Pencipta. Kami terima ini
sebagai kenyataan hidup. Jadi aku adalah orang yang takut kepada Tuhan dan
cinta kepada Tuhan sejak lahir, dan keyakinan ini telah bersenyawa dengan
diriku,” (Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat halaman 151)
Begitu pula, pada
kesempatan yang berbeda, ia kerap mengutip ayat-ayat Injil tentang Hukum
Kasih, atau menjelaskan makna “Tat Twam Asi” yang
terdapat di dalam kitab agama Hindu “Uphanisad Chandogya, bahkan pada
saat menerima gelar Doctor (HC) di bidang ilmu Tauhid dari Universitas
Muhammadiyah Jakarta, Soekarno mengutip beberapa kalimat dari serat Bhagavat
Gita dari umat Hindu.
Pemahamannya
tentang Islam baru berkembang setelah bersekolah di HBS HBS (Hoogore Burger
School) Surabaya, saat ini indekos di rumah HOS Tjokroaminoto, Ketua
Serikat Islam. Tetapi, ia peroleh bersama HOS Tjokroaminoto bukan pengetahuan
agama yang bersifat dogmatis teologis, melainkan pemikiran-pemikiran Islam yang
berhubungan dengan paham kebangsaan dan sosialisme. Jadi lebih berhubungan
masalah sosiologi politik. Meski memimpin organisasi Serikat Islam, HOS
Tjokroaminoto memang bukan seorang “guru agama” tapi pemimpin pergerakan
kebangsaan yang dikemas dengan identitas Islam. Tapi, Soekarno juga menyerap
ide-ide pembaruan dalam Islam yang diusung oleh Gerakan Muhamadiyah ia peroleh
melalui ceramah-ceramah K H Ahmad Dahlan. “Sejak umur 15 tahun, saat berdiam di
rumah Tjokroaminoto, saya telah terpukau dengan K H Ahmad Dahlan,” kata
Soekarno. Tahun 1938, ia jadi anggota resmi Muhammadiyah. Bahkan di depan
Muktamar Muhamadiyah tahun 1962, ia berdoa agar bisa dikubur dengan nama
Muhamadiyah di kain kafannya.
Dalam tulisan “Surat-Surat dari Endeh,”
terlihat adanya keyakinan kuat dalam diri Soekarno terhadap eksistensi Tuhan.
Ia percaya agama dapat berfungsi sebagai enerji menuju kemajuan. Tapi
sebaliknya, ia mengeritik kehidupan keberagamaan yang jadi penghambat kemajuan
di masyarakat. Menurut Soekarno, itu terjadi karena nilai-nilai ajaran agama,
telah disimpangkan oleh para pemuka dan jemaahnya dengan mengatasnamakan agama.
Kehidupan keberagamaan (Islam) yang menyimpang akibat lebih mengagungkan fiqh
atau fikih, yan ia sebut Islam Sontoloyo.[16]
[1] Alfian, Pemikiran dan
Perubahan Politik Indonesia : Kumpulan Karangan, Jakarta : P.T Gramedia,
1978, Hal. 123
[2] Re-So-Pim (Revolusi –
Sosialisme Indonesia – Pimpinan Nasional), amanat Presiden RI pada hari ulang
tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1961.
[3] Amanat Presiden RI pada
Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggall 17
Agustus 1960 dengan judul “Jalannya Revolusi Kita”. Tujuh Bahan Pokok
Indoktrinasi, Cetakan ke II. Departemen Penerangan, Tujuh Bahan Pokok
Indoktrinasi, Jakarta: Percetakan Negara, hal. 79-80
[4] Legge, Op.Cit,
Hal.55
[5] Adams, Op.cit, Hal. 53-54
[6] Legge, Op.Cit,
Hal.55
[7] Adams, Op.cit, Hal. 53-54
[8] Ign. Gatut Saksono, Marhaenisme Bung Karno: Marxisme
Ala Indonesia, Yogyakarta: Rumah Belajar Yabinkas, 2007, Hal. 62
[9] Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Jakarta: Panitya
Penerbit Dibawah Bendera Revolusi , 1964, Hal. 174
[10] John
Titaley, „Gereja dan Negara: Suatu Analisis socio-historis terhadap hubungan
Gereja di Indonesia dengan Republik Indonesia“ (Makalah) disampaikan pada Sidang
MPL-PGI, 7-13 Mei 1933, di Bandung, hal.1.
[11] Suharto, Pandangan Presiden Soharto
tentang Pancasila, Jakarta, CSIS-Yayasan Proklamasi, 1976, hal.9.
[12] Nazaruddin Sjamsuddin (ed.), Soekarno,
Pemikiran Politik dan Kenyataan Praktek., (Jakarta: CV. Rajawali, 1988),
hlm. 38)
[13] Bambang Rahardjo, Syamsuhadi, Garuda
Emas Pancasila Sakti, Jakarta : Yapeta Pusat, 1995, Hal. 53 dan 55
[14] Yapeta Pusat, Ibid,
Hal. 58-59
[15] ) Lihat “ To Bulid World Anew
(Membangun Dunia Baru): Pidato Presiden Soekarno di depan sidang
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa tahun 1960.
[16] Menarik dalam tulisannya berjudul “ Islam
Sontoloyo,” di dalam buku “ Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I”
Soekarno dengan mengutip lengkap berita “Guru Mencabuli Murid-Muridnya” melalui
satu ritual pengajian setiap malam jumat. Para murid diajak berdzikir dari
maghrib hingga subuh. Sebelumnya, para murid itu harus meneriakkan kalimat
“Saya muridnya Kiyai (nama kiyai itu)”. Dengan berseru demikian, katanya, Allah
SWT mengampuni dosa-dosa mereka. Setiap murid perempuan, meski masih anak-anak,
wajib menutup muka. Saat mengaji, mereka dipisah dari para murid laki-laki.
Dimulailah pelajaran dari bab “perempuan itu boleh disedekahi”. Akan tetapi,
karena perempuan tidak boleh dilihat laki-laki (kecuali suami), maka itulah
mereka diwajibkan menutupi mukanya. Nah, bagaimana sang guru bisa “menyedekahi”
murid-murid yang perempuan?
Tidak ada komentar: