TELA’AH PEMIKIRAN IR. SOEKARNO TENTANG NEGARA DAN AGAMA - Abulaka Archaida

Kamis, 22 September 2016

TELA’AH PEMIKIRAN IR. SOEKARNO TENTANG NEGARA DAN AGAMA




Oleh: Abu Laka

A.    BIOGRAFI IR. SOEKARNO
1.      Nama Kecil Ir. Soekarno
Ketika dilahirkan, Soekarno diberikan nama Kusno Sosrodihardjo oleh orangtuanya.Namun karena ia sering sakit maka ketika berumur lima tahun namanya diubah menjadi Soekarno oleh ayahnya. Nama tersebut diambil dari seorang panglima perang dalam kisah Bharata Yudha yaitu Karna. Nama “Karna” menjadi “Karno” karena dalam bahasa Jawa huruf “a” berubah menjadi “o” sedangkan awalan “su” memiliki arti “baik”.
Di kemudian hari ketika menjadi Presiden R.I., ejaan nama Soekarno diganti olehnya sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah (Belanda). Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena tanda tangan tersebut adalah tanda tangan yang tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah. Sebutan akrab untuk Soekarno adalah Bung Karno.

Asal Usul Nama Achmed Soekarno
Di beberapa negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang ditulis Achmed Soekarno. Hal ini terjadi karena ketika Soekarno pertama kali berkunjung ke Amerika Serikat, sejumlah wartawan bertanya-tanya, “Siapa nama kecil Soekarno?” karena mereka tidak mengerti kebiasaan sebagian masyarakat di Indonesia yang hanya menggunakan satu nama saja atau tidak memiliki nama keluarga. Entah bagaimana, seseorang lalu menambahkan nama Achmed di depan nama Soekarno. Hal ini pun terjadi di beberapa Wikipedia, seperti wikipedia bahasa Ceko, bahasa Wales, bahasa Denmark, bahasa Jerman, dan bahasa Spanyol.
Sukarno menyebutkan bahwa nama Achmed di dapatnya ketika menunaikan ibadah haji. Dalam beberapa versi lain, disebutkan pemberian nama Achmed di depan nama Sukarno, dilakukan oleh para diplomat muslim asal Indonesia yang sedang melakukan misi luar negeri dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan negara Indonesia oleh negara-negara Arab.


2.      Kehidupan Ir. Soekarno
Soekarno dilahirkan dengan seorang ayah yang bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya yaitu Ida Ayu Nyoman Rai. Keduanya bertemu ketika Raden Soekemi yang merupakan seorang guru ditempatkan di Sekolah Dasar Pribumi di Singaraja, Bali. Nyoman Rai merupakan keturunan bangsawan dari Bali dan beragama Hindu sedangkan Raden Soekemi sendiri beragama Islam. Mereka telah memiliki seorang putri yang bernama Sukarmini sebelum Soekarno lahir. Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya, Raden Hardjokromo di Tulung Agung, Jawa Timur.
Ia bersekolah pertama kali di Tulung Agung hingga akhirnya ia pindah ke Mojokerto, mengikuti orangtuanya yang ditugaskan di kota tersebut. Di Mojokerto, ayahnya memasukan Soekarno ke Eerste Inlandse School, sekolah tempat ia bekerja.Kemudian pada Juni 1911 Soekarno dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS) untuk memudahkannya diterima di Hoogere Burger School (HBS). Pada tahun 1915, Soekarno telah menyelesaikan pendidikannya di ELS dan berhasil melanjutkan ke HBS. di Surabaya, Jawa Timur. Ia dapat diterima di HBS atas bantuan seorang kawan bapaknya yang bernama H.O.S. Tjokroaminoto.
Tjokroaminoto bahkan memberi tempat tinggal bagi Soekarno di pondokan kediamannya. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu, seperti Alimin, Musso, Dharsono, Haji Agus Salim, dan Abdul Muis. Soekarno kemudian aktif dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Darmo yang dibentuk sebagai organisasi dari Budi Utomo. Nama organisasi tersebut kemudian ia ganti menjadi Jong Java (Pemuda Jawa) pada 1918. Selain itu, Soekarno juga aktif menulis di harian “Oetoesan Hindia” yang dipimpin oleh Tjokroaminoto.

3.      Pergulatan Intelektual Bung Karno
Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil dan tamat pada tahun 1925. Saat di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan anggota Sarekat Islam dan sahabat karib Tjokroaminoto. Di sana ia berinteraksi dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij. Sikap politik Soekarno muda terbangun di rumah pendiri Syarikat Islam, H.O.S. Tjokroaminoto-kawan karib ayah Karno di Surabaya.
Soekarno muda dititipkan di rumah tokoh pergerakan Islam itu, ketika saat masuk Hoogere Burger School (HBS). Di rumah inilah ia dapat berkenalan dengan tokoh Pergerakan Nasional seperti Wahidin Soedirohusodo dan Soetomo. Juga para tokoh Islam seperti Agoes Salim, Abdoel Moeis, Ahmad Dahlan, Hasjim Asj’ari, dan A. Hassan, seorang tokoh Persis Bandung yang belakangan menjadi kawan korespondensinya yang termasyhur.
Di rumah Tjokro pula, Soekarno berkenalan dengan tokoh dari Marxisme dan sosialisme, seperti Alimin, Semaun Darsono, dan Tan Malaka. Tiga terakhir awalnya adalah pengurus Sarekat Islam kemudian memisahkan diri untuk bergabung dengan kelompok Marxis. Mereka selanjutnya mendirikan Partai Komunis Indonesia pada 1920, sementara Soekarno dan kawan-kawan mendirikan Partai Nasionalis Indonesia di Bandung, 1927.
PENJARA, pengasingan di Ende dan Bengkulu, adalah tempat Soekarno lebih merenungi soal Islam. Penjara Sukamiskin, misalnya, melarang buku politik dan surat kabar masuk ke sel Soekarno. Sepanjang masa di penjara itu, satu-satunya hiburan Soekarno adalah belajar tentang agama dan menulis. Penjara sesungguhnya memang di Ende, kampung nelayan di Flores, Nusa Tenggara Timur. Empat tahun lamanya, ia menjalani politik pengasingan akibat aktivitas politik nonkoperasi melalui Partindo.
Di pulau itulah, Soekarno menghabiskan waktu dengan membaca buku Islam. Renungan-renungannya tentang Islam muncul dalam suasana intens, terutama surat-menyurat pribadi yang dikirimkannya kepada A. Hassan. Surat-surat itu kelak masyhur disebut sebagai “Surat-surat dari Ende”.
Pernah Soekarno menulis soal tabir atau hijab yang memisahkan perempuan dan laki-laki. Ia juga dengan cemerlang menulis tentang donor darah. Juga menjawab tudingan bahwa ia anggota Ahmadiyah. Yang menarik, meski tak meyakini Ahmadiyah, ia tak menyinggung perlu-tidaknya Ahmadiyah hidup di bumi Indonesia. Tidak juga menuduhnya aliran sesat. Juga tidak merasa Islam yang dianutnya yang paling benar.
Di Ende dan Bengkulu, selain surat-suratnya ke A. Hassan dan artikelnya yang termashyur di Panji Islam, Soekarno meninggalkan ratusan karya tulis dan beberapa naskah drama. Beberapa di antaranya dipentaskan selama ia berada di Ende. Namun “temuan” penting sesungguhnya adalah konsepsinya yang kelak dinamai Pancasila. Dari seluruh masa Soekarno muda, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, menilai periode 1926-1930 adalah puncak kreativitas pemikiran Soekarno akan nasionalisme dan sikap kerasnya menentang kolonialisme. Juga kegandrungannya pada persatuan. Karakter Soekarno sebagai pemersatu dan aktivis anti-imperialis yang militan terlihat jelas di era ini. Begitu pula era sesudahnya hingga menjelang kemerdekaan, 1945. “Selama masa itulah, kita dengan mudah mengenal siapa sesungguhnya Soekarno,” kata Eros Djarot, salah seorang politikus nasionalis.
Boleh jadi, karena itu pula, Di Bawah Bendera Revolusi jilid I menjadi karya Soekarno yang paling populer. Buku ini diterbitkan pertama kali oleh sebuah panitia penerbitan resmi dari Departemen Penerangan yang dipimpin Mualiff Nasution, 17 Agustus 1959. Tebal 650 halaman, berisi 61 tulisan Soekarno antara 1926 dan 1941.
Menurut Asvi, butuh lima tahun bagi panitia itu untuk bekerja mengumpulkan tulisan yang tersebar di mana-mana. Semuanya masih dalam ejaan lama. Kabarnya, Soekarno sendiri yang membubuhkan judul, Di Bawah Bendera Revolusi. Soekarno pula yang menggandeng Tjio Wie Tjay alias Haji Masagung, pengusaha Toko Buku Gunung Agung, sebagai penerbit dan penyalur.
Pada 1963, buku monumental ini dicetak ulang. Hanya dalam waktu dua minggu edisi pertama terjual habis. Pada 1965, buku itu dicetak yang keempat kalinya. Dan pada 2005, penerbitan buku itu dilakukan anak-anak Soekarno melalui Yayasan Bung Karno




B.     PEMIKARAN SOEKARNO
1.      Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme
Bung Karno bukan hanya politikus hebat, bapak pendiri bangsa, pejuang yang gigih, dan mantan Presiden. Semasa hidupnya, Bung Karno aktif dalam pergulatan pemikiran. Ia mewariskan pemikiran-pemikiran besar, yang berguna bagi bangsa ini hingga sekarang.
Bung Karno muncul sebagai cendekiawan dalam usia masih muda. Itu terjadi di tahun 1920-an. Pada usia 20 tahun, misalnya, ia sudah mulai bergulat dengan upaya meletakkan marxisme dalam konteks Indonesia. Hasilnya adalah marhaenisme.
Kemudian, pada usia 25 tahun, Ia mengeluarkan tulisan yang cukup berpengaruh, yakni Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme.  Artikel yang ditulis tahun 1926 itu berusaha mempertemukan kenyataan objektif dan keharusan historis bagi bersatunya tiga aliran politik dalam perjuangan anti-kolonial di Indonesia, yakni nasionalis, agamais, dan marxis.
Pada tahun 1930-an, Bung Karno menulis artikel berjudul “Demokrasi Politik Dan Demokrasi Ekonomi”. Artikel inilah kelak yang melandasi pemikiran Bung Karno untuk melahirkan dua pemikiran besar. Pertama, sosio-nasionalisme, yakni konsepsi nasionalisme Indonesia yang bercita-cita membangun masyarakat tanpa penindasan dan penghisapan. Kedua, sosio-demokrasi, yakni konsep demokrasi alternatif yang berusaha mengawinkan antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.
Pancasila, yang dianggap satu sumbangsih besar pemikiran Bung Karno dalam konsepsi kenegaraan kita, akarnya adalah sosio-demokrasi dan sosio-nasionalisme. Konsep persatuan Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis) juga berakar di tulisan Bung Karno pada tahun 1926, Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Memang, harus diakui, bahwa dalam membentangkan pemikirannya, Bung Karno banyak mengutip pemikir marxis barat. Yang paling banyak dikutip adalah Karl Marx, Karl Kautsky (Sosialis-Demokrat Jerman), Jean Jaures (Sosialis Perancis), PJ Troelstra (Sosialis Belanda), dan Hendriette Roland Holst (pengarang kiri Belanda).
Sebagai seorang intelektual, Bung Karno punya beberapa ciri yang cukup menonjol. Pertama, kendati banyak menghirup pemikiran kaum marxis maupun intelektual politik di barat, tetapi Bung Karno selalu memperhadapkan pemikiran itu dengan realitas konkret di Indonesia. Ini terlihat jelas dalam terobosan Bung Karno melahirkan Marhaenisme, Sosio-Nasionalisme, dan Sosio-Demokrasi. Tiga pemikiran itu murni kreasi Bung Karno. Tetapi dasar-dasar teoritiknya/analisisnya banyak dipengaruhi oleh pemikiran dari luar, yakni marxisme.
Kedua, Bung Karno membaca banyak buku, majalah dan mengetahui banyak hal melalui interaksinya dengan dunia luar. Menariknya, Soekarno selalu berhasil menjelaskan apa yang diketahuinya dengan bahasa sederhana kepada rakyatnya. Ia selalu ingin apa yang diketahuinya juga diketahui oleh rakyatnya. Dalam banyak pidatonya, ia tak segan-segan mengutip pemikiran Marx, Lenin, Trotsky, Abraham Lincoln, Otto Bauer, H Roland Holst, dan lain-lain. Tidak jarang, agar pendengarnya gampang memahami teorinya, Bung Karno menggunakan perumpamaan-perumpamaan, meminjam epos-epos, hikayat-hikayat rakyat, hingga cerita-cerita pewayangan.
Bung Karno menggunakan pidato sebagai medium menyampaikan pesan dan menambah khasanah pengetahuan rakyat. Ia mengulang-ulang banyak istilah penting, seperti revolusi, sosialisme, anti-kolonialisme, anti-imperialisme, agar rakyat faham istilah tersebut. Namun, corak pemikiran Bung Karno bukan tanpa kekurangan. Banyak pemikiran Bung Karno itu masih bersifat umum dan butuh elaborasi lebih lanjut. Sebut saja, misalnya, konsep sosio-demokrasi. Bung Karno hanya mengulas konsep ini dalam beberapa artikel dan pidato. Muncul masalah: ketika Bung Karno menolak konsep demokrasi borjuis eropa, termasuk sistem parlementernya, lantas apa alternatifnya? Ini belum terjawab dalam artikel-artikel dan pidato Bung Karno.
Karena itu, menurut pengajar filsafat Universitas Indonesia, Donny Gahral Adian, Bung Karno bukan hanya seorang orator yang cemerlang, tetapi juga seorang ideolog. “Tujuan orator itu hanya menyampaikan saja apa yang dikepalanya. Sedangkan seorang ideolog ingin menanamkan apa yang disampaikannya kedalam hati sanubari pendengarnya,” ujarnya.
Selain itu, seperti diakui penulis “Soekarno: Biografi Politik”, Kapitsa M.S dan Maletin N.P, Bung Karno adalah ahli yang memahami jiwa dan psikologi massa. Ia sanggup menangkap apa yang tersirat di dalam lubuk hati rakyatnya. Inilah yang membuat Bung Karno menjadi tokoh politik yang paling dicintai oleh rakyatnya. Ketiga, Bung Karno tidak mengikat dirinya dalam satu arus pemikiran besar. Kita tahu, Bung Karno selalu menyebut dirinya seorang marxis, tetapi tidak pernah mengikatkan dirinya pada tendensi marxis tertentu—sosial-demokrat, trotskys, maois, leninis, dan lain-lain.




2.      Pancasila
Pertikaian yang terjadi diantara sesama kaum pergerakan Indonesia pada tahun 1920-an menyebabkan Soekarno berusaha keras bagaimana menyatukan berbagai kelompok aliran politik yang ada pada waktu itu. Sedangkan perdebatan tentang dasar negara yang terjadi pada tahun 1945 tidak terlepas dari fragmentasi kehidupan aliran ideologi yang terpolarisasi dalam tiga kekuatan besar yakni Islam (SI-PSI), Nasional (PNI-PNI Baru) dan Komunis (PKI). Pengaruh tokoh dan ideologi partai menguat dan diperjuangkan sebagai dasar negara dalam sidang BPUPKI dan kemudian pada Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk oleh Jepang pada 7 Agustus 1945 untuk menggantikan BPUPKI. Perdebatan “apakah dasar negara kita, jika merdeka?” memang menghangat di sidang-sidang BPUPKI dan PPKI.
Soekarno-Hatta dan kaum nasionalis berada di barisan terdepan untuk meyakinkan Pancasila sebagai dasar negara yang pas bagi Indonesia yang akan merdeka. Tapi, kelompok tokoh Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah, KH. Wahid Hasyim dari NU, dan KH. Achmad Sanusi dari PUI menolak Pancasila dan menginginkan Islam sebagai dasar negara. Puncak dari pemikiran Soekarno dalam menyatukan berbagai aliran utama dalam masyarakat Indonesia menjelang Indonesia merdeka ini adalah lima rumusan saling berkaitan yang diberi nama Pancasila. Disini dapat dikatakan bahwa Pancasila merupakan suatu nota kesepakatan antara golongan nasionalis, kelompok agama Islam dan Kristen-Katolik dalam kehidupan bernegara.
Sebagai salah satu founding fathers Indonesia, pemikiran-pemikiran Soekarno memiliki keistimewaan dibanding tokoh-tokoh Indonesia pada waktu itu. Dasar-dasar pemikiran politik Soekarno memberi akomodasi pada aliran-aliran penting yang hidup di dalam masyarakat, yaitu ke arah mempersatukannya ke dalam suatu “common denominator”, apakah namanya Marhaenisme, Pancasila, atau Nasakom. Untuk keperluan itu, dia memilih apa yang dianggapnya baik atau positif dari masing-masing aliran. Dalam hal ini dia berpegang pada sikap kesediaan untuk memberi dan menerima dari masing-masing aliran atau ideologi yang ada.[1]
Dalam merumuskan Pancasila, Soekarno berusaha menyatukan semua pemikiran dari berbagai tokoh dan golongan serta membuang jauh-jauh kepentingan perorangan, etnik maupun kelompok. Soekarno menyadari sepenuhnya bahwa kemerdekaan Indonesia adalah kemerdekaan untuk semua golongan. Menyadari akan kebhinekaan bangsa Indonesia tersebut, Soekarno mengemukakan konsep dasar Pancasila yang didalamnya terkandung semangat “semua buat semua”. Pancasila tidak hanya digunakan sebagai ideologi pemersatu dan sebagai perekat kehidupan dan kepentingan bangsa, tetapi juga sebagai dasar dan filsafat serta pandangan hidup bangsa. Sesuai dengan Tuntutan Budi Nurani Manusia, Pancasila mengandung nilai-nilai ke-Tuhanan, Kemanusiaan (humanisme), Kebangsaan (persatuan), demokrasi dan keadilan. Ini merupakan dasar untuk membangun masyarakat baru Indonesia, yaitu masyarakat sosialis Indonesia.[2]
Pancasila merupakan puncak dari perkembangan pemikiran Soekarno yang selalu mencoba untuk mengawinkan semua ide yang ada dan tumbuh didalam masyarakat menjadi suatu ide baru yang lebih tinggi tempatnya dan dapat diterima oleh semua elemen penting yang ada. Pancasila oleh Soekarno diyakini sebagai pengangkatan yang lebih tinggi atau hogere optrekking daripada Declaration of Independence dan Manifesto Komunis karena didalam Declaration of Independence tidak ada keadilan social atau sosialisme sedangkan didalam Manifesto Komunis tidak mengandung Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.[3] Pancasila mengandung keduanya sehingga Soekarno menganggap bahwa Pancasila mempunyai nilai yang lebih tinggi dari Declaration of Independence maupun Manifesto Komunis.

Dalam perkembangan selanjutnya, pertemuan dengan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia semasa dia bersekolah di Surabaya telah membentuk karakter dan cara berpikirnya akan kemerdekaan bangsanya dari kaum penjajah. Tokoh-tokoh tersebut adalah H.O.S Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Ki Hadjar Dewantoro, tokoh-tokoh partai komunis seperti Hendrik Sneevliet, Semaun, dan Alimin, kemudian Douwes Dekker dan Tan Malaka.[4] Kegemarannya akan membaca tulisan-tulisan pengarang asing juga sangat berdampak besar terhadap alur pemikirannya dalam usaha mempersatukan bangsanya untuk mencapai Indonesia merdeka.[5]
Dalam perkembangan selanjutnya, pertemuan dengan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia semasa dia bersekolah di Surabaya telah membentuk karakter dan cara berpikirnya akan kemerdekaan bangsanya dari kaum penjajah. Tokoh-tokoh tersebut adalah H.O.S Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Ki Hadjar Dewantoro, tokoh-tokoh partai komunis seperti Hendrik Sneevliet, Semaun, dan Alimin, kemudian Douwes Dekker dan Tan Malaka.[6] Kegemarannya akan membaca tulisan-tulisan pengarang asing juga sangat berdampak besar terhadap alur pemikirannya dalam usaha mempersatukan bangsanya untuk mencapai Indonesia merdeka.[7]

3.      Marhenisme
Pada tahun 1930-an Soekarno mulai merumuskan konsepnya yang baru yang diberinya nama Marhaenisme. Konsep Marhaenisme ini banyak dipengaruhi oleh ajaran Karl Marx. Teori perjuangan Marx, yang kemudian dikenal dengan Marxisme banyak berpengaruh dalam benak Soekarno dan menginspirasi Soekarno dalam pemikiran dan tingkah laku politiknya. Bahkan Soekarno kemudian secara jujur mengakui bahwa Marhaenisme yang ia ciptakan adalah Marxisme yang diterapkan di Indonesia, artinya Marxisme yang disesuaikan dengan kondisi dan masyarakat Indonesia.[8] Dalam perkembangannya Marhaenisme kemudian menjadi dasar perjuangan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partindo yang didirikan Soekarno. Asas Mahaenisme adalah sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.
Sosio-nasionalisme adalah faham yang mengandung faham kebangsaan yang sehat dan berdasarkan perikemanusiaan, persamaan nasib, gotong royong, hidup kemasyarakatan yang sehat, kerjasama untuk mencapai sama bahagia, tidak untuk menggencet dan menghisap. Jadi dalam faham kebangsaan itu harus ada semangat kerjasama dan gotong royong antar bangsa Indonesia dan antara bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Sosio-demokrasi adalah faham yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Gagasan ini merupakan reaksi terhadap demokrasi yang muncul di barat pada waktu Soekarno mencetuskan ide ini. Demokrasi di Barat yang dipahami Soekarno adalah Demokrasi yang lebih bersifat liberalistis yang hanya menjamin kebebasan warganya dalam bidang politik saja dan tidak berlaku di bidang ekonomi.[9]

C.    KONSEP SOEKARNO TENTANG NEGARA dan AGAMA
Perdebatan sengit seputar hubungan Islam dan Negara di Indonesia telah muncul sejak sebelum merdeka. Polemik Soekarno versus Mohammad Natsir tentang hubungan negara dan agama yang terjadi di Panji Islam pada era 1940-an ini adalah bukti konkretnya. Di dalamnya tergambar sebuah pertarungan ideologi antara pemikiran Nasionalis-Sekular dan Islam-Politik.  Ide pemisahan agama dan negara yang dilontarkan Soekarno, dan pandangan mengenai pentingnya agama dalam negara yang dianut Natsir, menjadi platform pemikiran yang hingga kini masih mempunyai pendukungnya sendiri-sendiri.
Buku ini jelas memperlihatakan pemikiran-pemikiran Soekarno muda dalam rentan waktu 1926-1941 dimana pemikiran-pemikiran selanjutnya hanyalah kelanjutan dari pemikiran-pemikan mudanya (Susilo, 2010:75). Setiap kelompok masyarakat mempunyai suatu moralitas bersama. Indonesia sebagai suatu kelompok masyarakat yang baru, lahir dari suatu perasaan dan sentimen yang dialaminya bersama dalam sejarah kehidupan bersama. Imperialisme nampaknya telah menjadi suatu kekuatan yang menekan kebebasan hati nurani di manapun imperialisme itu hadir. Imperialisme begitu dasyatnya menghancurkan tatanan masyarakat bangsa-bangsa. Dengan demikian lahirnya suatu bangsa yang baru, secara khusus bangsa Indoensia, meluap dari hati nurani yang ingin bebas, merdeka, menikmati otonomi individunya dalam kehidupan semesta.
Kesadaran kolektif inilah yang telah membangun tekad „founding fathers“ untuk menyatukan kepelbagaian kelompok-kelompok yang ada di bumi nusantara ini, menjadi suatu bangsa yang baru. Sebagai suatu kelompok masyarakat baru, dibutuhkan suatu dasar untuk menata kesatuan bangsa ini. Soekarno, dengan kepekaan hati nurani dan keseriusan terhadap upaya kesatuan, cepat menyadari adanya berbagai macam aliran pemahaman dasar kesatuan bangsa, justru akan menghancurkan kesadaran kolektif bangsa Indoensia. Kelompok-kelompok itu saling berjuang menurut kepentingan, harapan dan cita-citanya masing-masing. Dalam situasi seperti ini, Soekarno dengan kesadaran Nasionalismenya yang sangat kuat, melihat kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan dan harapannya masing-masing itu sebagai suatu kekuatan bangsa.
Dengan gaya rethoriknya yang khas, ia mencari landaan hubungan masing-masing kelompok itu. Ia melihat kesamaan kepentingan dan harapan kelompok Nasionalisme, Islamisme, Marxisme dalam konteks kesadaran kolektif seluruh bangsa .1 Soekarno meletakan kepentingan dan harapan bangsa di atas kepentingan kelomnpok. Ia memberi makna(Soekarno, „Nasionalisme, Islamisme, Marxisme“, dalam Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Djilid I, Panitya Penerbit di bawah Revolusi, Jakarta, 1963.) baru terhadap pokok-pokok pikiran dari ketiga „isme“ dari konteks di mana „isme“ itu lahir. Dari sini jelas sekali arah pemikiran Soekarno yang melahirkan pancasila, yang diterima sebagai ideologi bangsa Indonesia.
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, agama-agama memperlihatkan suatu gejala kepentingannya sendiri. Hal ini jelas sekali terlihat dalam revolusi-revolusi sesudah Indonesia merdeka (bukan hanya revolusi agama tetapi juga revolusi daerah dan revolusi ideologi). Ini menunjukan bahwa setiap agama, daerah, ideologi ingin mewujudkan harapan dan cicta-citanya di Negara Indonesia. Indonesia yang menjadi suatu bangsa yang baru dalam kesatuan Negara Republik ini, adalah hasil keinginan bersama yang diperjuangkan secara sadar. Negara yang dimaksud disini menunjuk pada „ kesatuan hidup rakyat yang punya cita-cita dan tujuan hidup yang sama (organisasi)“.[10] Dalam kesatuan itu, Indonesia telah membuat suatu konsensus bersama yang diatur dalam undang-undang berdasarkan Pancasila.
Konsekuensinya Pancasila dan UUD 45 adalah sumber kekuatan integrasi dan solidaritas negara Indonesia yang saling terkait. Dengan demikian Pancasila adalah sumber moralitas Indonesia. Idealnya Pancasila ini yang menjadi agama yang lahir dari masyarakat Indonesia. Sebab itu masyarakat Indonesia dapat disebutkan sebagai yang telah melahirkan agama yang sui generis dari masyarakat Indonesia yang sui generis. Tetapi hal ini jelas sekali bukan sebagaimana yang dimaksudkan oleh konsensus masyarakat Indonesia. Pancasila sebagai pandangan hidup seluruh bangsa Indonesi, kepribadian bangsa Indonesia“ Demikian pandangan Suharto tentang Pancasila.[11] Indonesia adalah suatu bangsa baru yang tidak sama dengan masyarakat pra-Indonesia. Masyarakat Indonesia mempunyai kepentingan khusus yang adalah juga kepentingan yang sama dengan kepentingan seluruh kelompok masyarakat, agama-agama dan ideologi lainnya.Oleh sebab itu kehadiran agama harus dilihat dalam terang harapan dan cita-cita seluruh masyarakat Indonesia seperti yang telah dinyatakan dalam „Pembukaan UUD 45.
Agama adalah sumber integrasi tetapi juga menjadi sumber konflik yang menghancurkan konsensus hidup bersama bangsa Indonesia. Hal kedua yang akan terjadi jika agama - agama tertentu di Indonesia akan selalu merasa superior dan lebih berjasa dari agama yang lain.Lalu yang terjadi adalah kehancuran Indonesia yang kemerdekaanya telah diraih melalui pengorbanan, waktu dan tenaga yang sangat banyak. Tentu saja ini bukan pilihan yang tepat bagi bangsa Indonesia. Oleh karena rasa superior diatas agama lain, berarti menghianati atau mengingkari bangsa yang lahir tanggal 17 Agustus 1945. Oleh sebab itu upaya pemikiran bersama terhadap hubungan antara ideologi agama dan ideologi Negara sangat penting.
Alinea ke dua dalam Pembukaan UUD 45 menyebutkan tujuan negara: „ dan perjuangan kemerdekaan Indoensia telah sampai kepada saat yang berbahagia dengna selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur“. Oleh karena ini harapan dan cita-cita semua bangsa Indonesia, maka diaturlah suatu „bingkai“ gerak bersama, yaitu UUD 45.  Ini penting dalam rangka mengatur hak- hak dan kewajiban seluruh rakyat Indonesia. Dalam bingkai hukum, rakyat Indonesia bebas menghirup dan menjaga kemerdekaan untuk mencapai cita-citanya. Itulah sebabnya, pada saat „gentlements agrrement“ disepakati dan di sahkan, maka bab II pasal 29 ayat 1, tentang agama dan bab III pasal 6 ayat 1, tentang syarat-syarat pemilihan presiden turut berubah. Perubahan ini menunjukan betapa pentingnya kehidupan beragama juga diatur oleh suatu perundang-undangan. Sangat penting bagi kita untuk memahami konteks kehadiran agama. Agama-agama hanya dapat menjadi sumber dukungan moral bangsa bilamana ia melepaskan kepentingan kebudayaan „ in status nascendi“ (di tempat agama itu lahir) dan yang menjadi dasar adalah kepentingan masyarakat dimana agama itu hadir.
Soekarno adalah sosok pribadi yang kompleks. Lewat atribut revolusionernya, dia berusaha untuk memodernisasikan kaum konservatif dengan tidak bisa lari jauh dari eksistensi manusia sendiri yang secara kodrati sebagai makhluk yang dikarunia oleh Tuhan beberapa hak yang tidak bisa dimonopoli, termasuk di dalamnya hak untuk memperoleh kemerdekaan. Hal ini tidak lepas dari latar belakang Soekarno sendiri sebagai orang yang jauh di bawah elitisme. Bagi Soekarno, bangsa, kebangsaan atau nasionalisme dan tanah air merupakan suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.[12]
Nasionalisme menurut Soekarno merupakan kekuatan bagi bangsa­bangsa yang terjajah yang kelak akan membuka masa gemilang bagi bangsa tersebut. Dengan nasionalismelah bangsa Indonesia akan mendirikan syarat­syarat hidup mereka yang bersifat kebatinan dan kebendaan. Kecintaan kepada bangsa dan tanah air merupakan alat yang utama bagi perjuangan Soekarno.
Nasionalisme Soekarno dapat dikatakan sebagai nasionalisme yang komplek, yaitu nasionalisme yang dapat beriringan dengan Islamisme yang pada hakekatnya non-natie dan relatif bergerak secara leluasa di dataran marginalitas yang mengenyampingkan pada intrik ras dan etnisitas. Nasionalisme telah memegang peranan penting dan bersifat positif dalam menopang tumbuhnya persatuan dan kesatuan serta nilai-nilai demokratisasi yang pada gilirannya akan mampu melaksanakan pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan kualitas pendidikan rakyat. Hal ini karena konsep nasionalisme merupakan dorongan yang mendasar dalam pengaktualisasian Prinsip pertama yang menjadi perhatian Soekarno adalah Kebangsaan.
Mengenai sila Kebangsaan ini, Soekarno terilhami oleh tulisan Dr. Sun Yat Sen yang berjudul “San Min Chu I” atau “The Three People’s Prinsiples”.  Kebangsaan Soekarno semakin matang dengan pengaruh dari Mahatma Gandhi yang menyatakan bahwa “My nationalism is humanity”. Kebangsaan yang diyakini Soekarno adalah Kebangsaan yang berperikemanusiaan, kebangsaan yang tidak meremehkan bangsa lain, kebangsaan yang bukan chauvinisme. Faham bangsa yang dimaksud adalah tidak dibangun atas dasar faham ras, suku bangsa kebudayaan ataupun Agama tertentu.
Nation yang dimaksud juga tidak hanya mendasarkan kepada paham satu kelompok manusia yang bersatu menjadi bangsa karena kehendak untuk bersatu (le desir d’etre ensemble) menurut Ernest Renan, maupun berdasarkan paham persatuan watak yang timbul karena persamaan nasib (“Eine Nation ist aus schik salsgemeinschaft erwachsende Charaktergemeinschaft”) menurut Otto Bauer, yang kedua-duanya menurut Soepomo dan Muh. Yamin sudah “verouderd” atau sudah tua, melainkan harus disatukan dengan prinsip Geopolitik. Jadi Kebangsaan Indonesia adalah seluruh manusia Indonesia yang ditakdirkan oleh Allah SWT mendiami seluruh kepulauan Indonesia antara dua benua dan dua samudera, yang menurut geopolitik tinggal di pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian.[13] Paham Kebangsaan ini berlawanan dengan faham kosmopolitanisme yang menyatakan tidak ada kebangsaan.
Prinsip kedua yang diuraikan Soekarno adalah Internasionalisme. Internasionalisme yang dimaksud disini bukanlah kosmopolitanisme yang tidak menginginkan adanya kebangsaan. Internasionalisme sangat berhubungan dengan prinsip Kebangsaan yang diuraikan Soekarno pada sila pertama. Tujuan Soekarno dengan melontarkan prinsip ini adalah bukan hanya sekedar membangun nasionalisme dalam negeri yang dimerdekakan, melainkan lebih dari itu yaitu untuk membangun kekeluargaan bangsa-bangsa.[14] Dalam era sekarang lebih tepat dikatakan sebagai usaha membangun kerjasama antar bangsa-bangsa dan membangun perdamaian dunia.
“Saya ingin sekali membaca lain-lain buah pena saudara… Saya perlu kepada Bukhari dan Muslim itu, karena di situlah dihimpunkan hadis-hadis yang dinamakan sahih. Padahal saya membaca keterangan dari salah seorang pengenal Islam bangsa Inggris, bahwa Bukharipun masih terselip hadis-hadis yang lemah. Diapun, menerangkan bahwa kemunduran Islam, kekunoan Islam, ketakhayulan orang Islam, banyaklah karena hadis-hadis lemah itu, yang lebih sering ”laku” daripada ayat-ayat Al-Quran . . .” (Surat-Surat Dari Ende di dalam DBR Jilid I)
Dengan melihat sejarah, khususnya pasang surut dan pasang naik kekuatan Islam, Soekarno memandang perlu pemisahan urusan negara dengan urusan agama. Dengan pemisahan urusan itu, negara dapat mendorong kehidupan keberagamaan yang dinamis. Disatu pihak kehidupan beragama bisa diatur dan disusun agar tidak merusak persatuan bangsa, kehidupan beragama mesti menjamin kesetaraan antar sesama manusia, ia tidak boleh menjadi alat penindas sesama, tetap berpihak kepada kepentingan masyarakat luas dan mampu mewujudkan keadilan bagi semua.
Dalam tulisannya berjudul “ Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dengan Negara” yang terbit di tahun 1940 terkait dengan keputusan Kemal Attaturk di Turki), Sukarno berpandangan bahwa agama adalah aturan-aturan spiritual, sedangkan negara merupakan urusan duniawi. Ia pun mengutip Halide Edib Hanoum, bahwa:
“. . . Agama itu perlu dimerdekakan dari asuhannya supaya menjadi subur. Kalau Islam terancam bahaya pengaruhnya di atas rakyat Turki, maka itu bukanlah karena tidak diurus pemerintah tetapi justru diurus oleh pemerintah. Umat Islam terikat kaki-tangannya dengan rantai kepada politiknya pemerintahan. Hal ini adalah suatu halangan besar sekali buat kesuburan Islam di Turki dan bukan saja di Turki, tetapi di mana-mana saja, karena pemerintah campur tangan di dalam urusan agama, di situ menjadikan ia satu halangan besar yang tak dapat dienyahkan.” (lihat DBR Jilid I)
Pemisahan urusan agama dengan urusan negara ini kembali dipertegas oleh Presiden Soekarno saat berpidato di Amuntai dan juga pada beberapa forum lainnya. Dengan mempelajari dan mendalam “alam pikir” dari setiap paham itu, Sukarno pun berkata: “Saya bukan seorang nasionalis. Saya bukan seorang religius. Saya bukan seorang sosialis. Saya adalah saripati dari ketiganya.”

D.    MEMAHAMI NILAI KETUHANAN dalam PEMIKIRAN SOEKARNO
Untuk dapat memahami Pancasila perlu memahami logika pemikiran Soekarno yang sebagian besar dibangun secara empiris melalui pengalaman sejarah kehidupan bangsa ini.
Tata urutan sila-sila Pancasila yang diucapkan oleh Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945 adalah:
1. Kebangsaaan Indonesia
2. Internasionalisme – atau Perikemanusiaan
3. Mufakat – atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan
Sedangkan urutan sila-sila hasil Panitia Sembilan yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta adalah:
1.      Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknya.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
   permusyawaratan/perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selanjutnya, tata urutan sila-sila Pancasila di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah sebagai berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa,
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
    permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Karena itu pula, tata urutan sila-sila Pancasila yang diucapkan pada 1 Juni 1945 dapat disebut sebagai formulasi empiris. Sedangkan versi Panitia Sembilan dapat disebut sebagai formulasi filosofis sedangkan di dalam Pembukaan UUD 1945 adalah formulasi yuridis. Pemahaman mendalam nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila baik filosofis maupun yuridis tentu hanya tercapai jika terlebih dahulu memahami fakta empiris yang diungkapkan oleh Soekarno, serta logika pemikiran Soekarno, terutama pada masa pra kemerdekaan.
Terkait Pidato 1 Juni 1945, maka satu hal yang kerap dipertanyakan oleh berbagai pihak adalah penempatan “Prinsip Ketuhanan” pada urutan terakhir, sementara prinsip Kebangsaan pada urutan pertama. Oleh karena itu beberapa kalangan menilai Soekarno seorang nasionalis sekularis, setidaknya jika menggunakan alur logika barat. Tetapi, penilaian seperti ini kerap terbantahkan jika melihat alur pemikiran Soekarno di berbagai tulisan dan pidatonya, yang sesungguhnya sarat dengan nilai-nilai keimanan (tauhid).
Pada tulisannya berjudul “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme,” dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I (2),terlihat dengan jelas upaya Soekarno mempertemukan aliran pemikiran yang oleh banyak kalangan mustahil dapat dipertemukan seraya menempatkannya dalam perspektif keimanan. Yakni dengan melihat esensi dan makna yang lebih tinggi atau hogere optrekking (3) dari masing-masing paham itu. Dalam tulisan yang diterbitkan oleh Suluh Indonesia Muda (1926) Sukarno mengatakan:
“…nasionalisme di dalam kelebaran dan keluasannya mengasih tempat cinta pada lain bangsa, sebagai lebar dan luasnya udara, yang mengasih tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup … nasionalisme yang membuat kita menjadi ‘perkakasnya Tuhan’ dan membuat kita menjadi ‘hidup dalam roh’ …”
Jika menyimak Pidato 1 Juni 1945, sesungguhnya saat Soekarno menjelaskan prinsip kebangsaan, ia telah meletakkan konsep negara sebagai sesuatu yang berciri khas Indonesia yang didalamnya terkandung nilai –nilai keimanan. Dalam pidato itu Soekarno berkata:
“.. Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan (4) dan Otto Bauer (5) hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan gemeinschaftnya dan perasaan orangnya, “I ame et le desir. Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia. Apakah tempat itu ? tempat itu adalah tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah SWT membuat peta dunia, menyusun peta dunia…
Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, tanah air kita ? Menurut geopolitik (6) maka Indonesia-lah tanah air kita. Indonesia yang bulat – bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja atau Selebes saja atau Ambon saja atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah SWT menjadi satu kesatuan antara dua benua dan dua samudera – itulah tanah air kita (7) (Pidato 1 Juni 1945)
Menghubungkan prinsip kebangsaan, internasionalisme (peri kemanusiaan) serta prinsip permusyawaratan/perwakilan, tidak hanya menunjukkan kemampuan Soekarno mengadopsi pemikiran barat modern, tapi sekaligus memperbaikinya dengan memberi landasan keimanan. Beberepa sumber menjelaskan dalam soal kebangsaan, Soekarno memang cenderung memandangnya sebagai fenomena sosial, sebagai fakta empiris. Tapi, persinggungannya dengan H Agus Salim, membuka cakrawala baru tentang kebangsaan sebagai fenomena teologis, yakni tauhid dalam ajaran Islam. Tauhid mengandung pengertian adanya kesatuan yang Mutlak yakni Allah. Selain itu prinsip Tauhid mengandung pengertian akan kesamarataan semua makhluk di depan Allah SWT tanpa membedakan rasa dan asal usulnya.
Nilai-nilai yang terkandung di dalam perikehidupan bangsa Indonesia yang oleh Soekarno diformulasikan baik dalam Pancasila, Trisila dan Ekasila, sesungguhnya dapat ditemukan di dalam pesan-pesan agama yang hidup subur di Indonesia. Karena itu, saat mengenalkan Pancasila kepada dunia, Presiden Soekarno saat berpidato di depan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengutip surat Al Hujarat ayat 13 yang berbunyi “Wahai manusia sesungguhnya aku menjadikan kamu dari seorang lelaki dan seorang perempuan, agar kamu hidup bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, dan kamu sekalian dapat mengenal satu sama lain, tapi ketahuilah yang mulia diantara kamu sekalian ialah yang bertaqwa kepadaKu.”[15]
Menurut Soekarno, prinsip Ketuhanan (salah satu sila dari Pancasila) digali dari perikehidupan masyarakat Indonesia, dan dengan keyakinannya itu, ia lebih memilih Indonesia sebagai negara nasional bukan negara berlandaskan agama. Untuk memahami hal ini, tentu perlu mengetahui alur pemikiran Soekarno, khususnya mengenai soal Ketuhanan.
Seperti diakuinya kepercayaannya akan eksistensi Tuhan sudah tertanam di dalam dirinya sejak kecil. “Kami adalah bangsa yang hidup dari pertanian, dan siapakah yang menumbuhkan segala sesuatu ? Al Khalik, Yang Maha Pencipta. Kami terima ini sebagai kenyataan hidup. Jadi aku adalah orang yang takut kepada Tuhan dan cinta kepada Tuhan sejak lahir, dan keyakinan ini telah bersenyawa dengan diriku,” (Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat halaman 151)
Begitu pula, pada kesempatan yang berbeda, ia kerap mengutip ayat-ayat Injil tentang Hukum Kasih, atau menjelaskan makna “Tat Twam Asi” yang terdapat di dalam kitab agama Hindu “Uphanisad Chandogya, bahkan pada saat menerima gelar Doctor (HC) di bidang ilmu Tauhid dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Soekarno mengutip beberapa kalimat dari serat Bhagavat Gita dari umat Hindu.
Pemahamannya tentang Islam baru berkembang setelah bersekolah di HBS HBS (Hoogore Burger School) Surabaya, saat ini indekos di rumah HOS Tjokroaminoto, Ketua Serikat Islam. Tetapi, ia peroleh bersama HOS Tjokroaminoto bukan pengetahuan agama yang bersifat dogmatis teologis, melainkan pemikiran-pemikiran Islam yang berhubungan dengan paham kebangsaan dan sosialisme. Jadi lebih berhubungan masalah sosiologi politik. Meski memimpin organisasi Serikat Islam, HOS Tjokroaminoto memang bukan seorang “guru agama” tapi pemimpin pergerakan kebangsaan yang dikemas dengan identitas Islam. Tapi, Soekarno juga menyerap ide-ide pembaruan dalam Islam yang diusung oleh Gerakan Muhamadiyah ia peroleh melalui ceramah-ceramah K H Ahmad Dahlan. “Sejak umur 15 tahun, saat berdiam di rumah Tjokroaminoto, saya telah terpukau dengan K H Ahmad Dahlan,” kata Soekarno. Tahun 1938, ia jadi anggota resmi Muhammadiyah. Bahkan di depan Muktamar Muhamadiyah tahun 1962, ia berdoa agar bisa dikubur dengan nama Muhamadiyah di kain kafannya.
Dalam tulisan “Surat-Surat dari Endeh,” terlihat adanya keyakinan kuat dalam diri Soekarno terhadap eksistensi Tuhan. Ia percaya agama dapat berfungsi sebagai enerji menuju kemajuan. Tapi sebaliknya, ia mengeritik kehidupan keberagamaan yang jadi penghambat kemajuan di masyarakat. Menurut Soekarno, itu terjadi karena nilai-nilai ajaran agama, telah disimpangkan oleh para pemuka dan jemaahnya dengan mengatasnamakan agama. Kehidupan keberagamaan (Islam) yang menyimpang akibat lebih mengagungkan fiqh atau fikih, yan ia sebut Islam Sontoloyo.[16]







[1] Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia : Kumpulan Karangan, Jakarta : P.T Gramedia, 1978, Hal. 123
[2] Re-So-Pim (Revolusi – Sosialisme Indonesia – Pimpinan Nasional), amanat Presiden RI pada hari ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1961.
[3] Amanat Presiden RI pada Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggall 17 Agustus 1960 dengan judul “Jalannya Revolusi Kita”. Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi, Cetakan ke II. Departemen Penerangan, Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi, Jakarta: Percetakan Negara, hal. 79-80
[4] Legge, Op.Cit, Hal.55
[5] Adams, Op.cit, Hal. 53-54
[6] Legge, Op.Cit, Hal.55
[7] Adams, Op.cit, Hal. 53-54
[8] Ign. Gatut Saksono, Marhaenisme Bung Karno: Marxisme Ala Indonesia, Yogyakarta: Rumah Belajar Yabinkas, 2007, Hal. 62
[9] Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Jakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi , 1964, Hal. 174

[10] John Titaley, „Gereja dan Negara: Suatu Analisis socio-historis terhadap hubungan Gereja di Indonesia dengan Republik Indonesia“ (Makalah) disampaikan pada Sidang MPL-PGI, 7-13 Mei 1933, di Bandung, hal.1.
[11] Suharto, Pandangan Presiden Soharto tentang Pancasila, Jakarta, CSIS-Yayasan Proklamasi, 1976,  hal.9.

[12] Nazaruddin Sjamsuddin (ed.), Soekarno, Pemikiran Politik dan Kenyataan Praktek., (Jakarta: CV. Rajawali, 1988), hlm. 38)

[13] Bambang Rahardjo, Syamsuhadi, Garuda Emas Pancasila Sakti, Jakarta : Yapeta Pusat, 1995, Hal. 53 dan 55 
[14] Yapeta Pusat, Ibid, Hal. 58-59

[15] ) Lihat “ To Bulid World Anew (Membangun Dunia Baru): Pidato Presiden Soekarno di depan sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa tahun 1960.

[16] Menarik dalam tulisannya berjudul “ Islam Sontoloyo,” di dalam buku “ Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I” Soekarno dengan mengutip lengkap berita “Guru Mencabuli Murid-Muridnya” melalui satu ritual pengajian setiap malam jumat. Para murid diajak berdzikir dari maghrib hingga subuh. Sebelumnya, para murid itu harus meneriakkan kalimat “Saya muridnya Kiyai (nama kiyai itu)”. Dengan berseru demikian, katanya, Allah SWT mengampuni dosa-dosa mereka. Setiap murid perempuan, meski masih anak-anak, wajib menutup muka. Saat mengaji, mereka dipisah dari para murid laki-laki. Dimulailah pelajaran dari bab “perempuan itu boleh disedekahi”. Akan tetapi, karena perempuan tidak boleh dilihat laki-laki (kecuali suami), maka itulah mereka diwajibkan menutupi mukanya. Nah, bagaimana sang guru bisa “menyedekahi” murid-murid yang perempuan?

Tidak ada komentar:

@abulaka