Akademik OK, Ekstra Yes - Abulaka Archaida

Senin, 29 Agustus 2016

Akademik OK, Ekstra Yes

Berbicara tentang format mahasiswa ideal selalu menarik didiskusikan. Dalam konteks akademik, mahasiswa mempunyai tanggung jawab terhadap almamaternya maupun terhadap diri sendiri dan orang tua agar kuliahnya menghasilkan predikat memuaskan dan tepat waktu.

Sisi lain mahasiswa mempunyai label ”agent social of change” yang juga tak kalah pentingnya dilakukan. Kondisi ini masuk pada ranah kedudukan mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat. Bahkan predikat ini sudah mengakar pada masyarakat umum bahwa mahasiswa merupakan garda terdepan dalam menatap perubahan masa depan bangsa.
Masyarakat memandang mahasiswa itu bisa segalah-galahnya, baik dalam persoalan keilmuan maupun dalam urusan sosial. Dengan demikian ketika mahasiswa menjadi sarjana, mereka harus mampu merespon sekian persolan sosial yang terjadi di sekitar lingkungannya.

Sementara, pada tataran tanggung jawab akademik mahasiswa dihadapkan pada kehidupan masa depan mereka. Selesai kuliah, bekerja atau menambah daftar pengguran terdidik? Artinya, pada wilayah ini mahasiswa bersentuhan yang namanya dunia kerja. Bicara dunia kerja terkait dengan kemampuan akademik dan IPK.

Bagi mahasiswa yang memiliki kesadaran sosial (social awareness), paradigma yang dibangun adalah selain belajar juga diimbangi (balance) dengan kegiatan sosial, dengan harapan mereka dapat melaksanakan label yang selama ini dimiliki mahasiswa, yaitu sebagai agen perubahan sosial. Pada konteks ini mahasiswa dihadapkan problem benturan aturan akademik yang mengekang kreativitas mahasiswa.
Dari dua dimensi tanggung jawab itulah, kemudian melahirkan beberapa tipikal mahasiswa. Pertama, Mahasiswa akademik ansich. Mahasiswa model ini biasanya rajin ke kampus. Ada yang menyebutnya mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang), mahasiswa segi tiga K (Kuliah, Kantin, dan Kos). Datang tepat waktu, semua tugas dikerjakan, catatan lengkap, dan manut pada dosen. biasanya diakhir semester menjadi incaran banyak mahasiswa untuk sekedar memfotokopi bahan kuliah dan dijadikan mitra menjawab soal UAS. Mahasiswa berkarakter tadi masih termasuk mahasiswa tipe pertama yang sering disebut mahasiswa anak dosen, karena tipe mahasiswa seperti itu biasanya diambil menjadi asdos, selesai melanjutkan akademik, kemudian menjadi dosen.

Masih dalam tipe pertama, mahasiswa model ini cendrung terjebak pada ranah formalitas dan menganggap bahwa ruang kuliah (baca : dosen) merupakan medium satu-satunya sumber ilmu. Kehidupan di kampus sebatas ajang bergaul dengan teman-teman satu kelas, karena tidak mengikuti kegiatan apapun di kampus, kecuali kuliah. Mind-set yang dibangun pun bersifat datar (pada umumnya), yaitu IPK coumlade, kuliah tepat waktu, lulus jadi PNS misalnya.
Padahal, kehidupan setelah kuliah tidak semudah dibayangkan. Fakta mengatakan, seringkali mahasiswa tipe pertama ini gagap ketika berhadapan pada persoalan nyata yang terjadi di masyarakat. Padahal mahasiswa mempunyai tanggung jawab sosial, selesai kuliah diharapkan bisa membangun desanya, pada level lebih besar membangun provinsi, agama dan negaranya. Begitupun dalam dunia kerja, ketika ia gagal dalam persaingan sesuai jurusannya, otomatis menjadi pengangguran terbuka, karena tidak mempunyai skill yang lain (monotonous capability).

Kecendrungan negatif adalah gengsi bekerja kalau itu bukan bidangnya, lebih baik nganggur dari pada menahan malu. Hal itu terjadi, karena paradigma yang terbentuk adalah pada orientasi (orientation) bukan kesadaran (awareness). Kesadaran dalam artian, mampu membaca peluang, kuliah tidak semata jalan mencari pekerjaan, memberikan kontribusi pada masyarakat (social responsebility), bekerja apapun (entrepreneur) yang penting bermanfaat dan positif.

Kedua, Mahasiswa aktivis. Tipekal mahasiswa ini memiliki kesadaran sosial bahwa label mahasiswa tidak hanya mempunyai tugas akademik, tapi ada tugas sosial. Satu sisi ada persoalan lain kesadaran yang dibangun kebablasan. Segudang agenda kegiatannya dalam berorganisasi terkadang melupakan tugas utamanya, yaitu kuliah. Bisa dikatakann ia tercarabut dari akar akademiknya. Aktivis model inilah yang membedakan dengan aktivis angkatan para founding fathers kita. Mereka aktvis, tapi tetap fokus dalam akademiknya.

Sebut saja Bung Karno, ranah akademiknya melahirkan Insinyur Tehnik, Hatta kemampuan dalam bidang ekonomi tidak bisa diragukan lagi, dan Syahrir kapasitas dalam diplomasi, membuatnya sering mewakili Indonesia dalam pertemuan Internasional. Mereka adalah orang-orang yang getol dalam kegiatan sosial demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, tapi tidak meninggalkan dunia akademiknya.
Tidak bermaksud mengatakan bahwa mahasiswa aktivis (sekarang) tidak mempunyai kemampuan dalam keilmuan apapun.
 
Akan tetapi mereka menganggap bahwa ruang kuliah hanya mengekang kreativitas mahasiswa. Bagi mereka yang lebih massif membangun ilmu pengetahuan dialam terbuka seperti baca buku, diskusi, seminar, berorganisasi, bergaul dengan orang-orang pintar, dll. Pemahaman ini Penulis rasakan selama berproses didunia gerakan dan hasil dari dialektika dengan orang-oarang yang mempunyai pilihan bahwa diluar ruang kuliah lebih mencerdaskan.
Adalah realitas yang maklum mahasiswa model ini acapkali mendapat gelar MA (mahasiswa abadi) sebelum lulus. Mahasiswa aktivis ini pada umumnya bekerja tidak sesuai bidang kuliahnya, karena mereka banyak memiliki life skill. Rata-rata orang seperti ini mudah mencari kerja, jelas mereka banyak jaringan, mudah bergaul dan bisa beradaptasi dalam pekerjaan apapun.

Tidak ada komentar:

@abulaka