Catatan Pendakian Gunung Purba - Abulaka Archaida

Kamis, 22 September 2016

Catatan Pendakian Gunung Purba

Penampakan Gunung Api Purba Dari Kejahuan

Memandang gemerlap malam kota Jogja dari puncak purba memunculkan kesan berbeda dari biasanya. apalagi diiringi tiupan angin sepoi-sepoi puncak purba. Syair-syair iwan fals menemani jari tanganku menyentuh huruf demi huruf lalu menjadi kata kemudian terangkai kalimat. Di tengah keramaian tetangga tenda menikmati hiburan masing-masing, teman-teman tim memainkan gitar, memasak, dan melepas lelah dengan candaan santai.

Banyak hal yang mesti aku tulis, namun waktuku tinggal 2 jam di puncak purba. Aku gunakan kesempatan singkat ini untuk coba menuliskan sedikit carita kami, perjalanan naik gunung purba. Pertama kali aku naik purba. Setingkat gunung juga baru satu kali, yaitu gunung lawu. Purba bukanlah kategori gunung, tapi hanya bukit tempat orang melepas penat kehidupan.
Memandang ke bawah germelab lampu kota sebgai simbol tatanan kapitalisme kokoh, kekuasaan yang menindas, popularitas, kejayaan, dan saling jegal kepentingan. Pada moment inilah nampaknya aku bisa merefleksikan perjalanan hidup selama ini yang dekat dengan lingkaran kekuasaan, popularitas, intrik politik dan saling jegal kepentingan. Bisa saja ada yang mengatakan tradisi pemimpin-pemimpin besar mempunyai kebiasaan menyendiri (kontemplasi) dari rutinitas sosial yang dijalani mereka.

Hematku pernyataan tersebut sangat tepat sekali, karena dari proses menyendiri itu kita dapat berfikir jernih, lepas dari kepentingan duniawi, karena dalam posisi tersebut jiwa-jiwa kita benar-benar bersih dan suci. Sehingga akal pikiran akan melahirkan hal-hal yang positif dan membangun konstruksi perubahan masyarakat. kita tahu, Nabi Muhammad sebelum menjadi Nabi melakukan penyendirian di Gua Hiro, Sidarta Gautama sebelum diangkat pemimpin (Nabi) agama budha juga melalui pertapaan yang sangat panjang. Hitler melahirkan desain pembasmian orang-orang yahudi sehingga ia menjadi pemimpin nazi yang tak terkalahkan. Soekarno mendasain Indonesia karena banyak menyendiri dalam penjara, sehingga semua orang terheran ketika dalam penjara melahirkan gagasan besar tentang Indonesia yang dituangkan dalam buku Indonesia Menggugat.

Dan aku memahami bahwa menyendiri dari keramaian dengan jalan naik gunung adalah bagian instrumen kontemplasi. Moment-moment ini nampak harus dilakukan secara rutin. Sebagaimana aku rasakan ketika berada di puncak purba, melihat ke bawah di atas pernak-pernik lampuh kota Jogja, banyak hal yang dapat aku refleksikan. Tidak ada ruginya mengikuti perjalan mendaki puncak purba. Awalnya aku menolak karena ada beberapa agenda yang akan dilaksanakan terkait hiruk-pikuk politik pilpres. yang dapat aku pelajari dari perjalanan adalah kebersamaan tim mencapai puncak, meskipun salah jalan tapi tidak saling menyalakan. Segala sesutu yang terjadi adalah tanggungjawab bersama. Jika sudah menyatakan bersama mengarungi pulau dengan satu perahu, jika sampai semua, maka semua harus sampai, jika tenggelam, maka semuanya harus tenggelam.

Ada satu catatan ketika mau berangkat, ada satu teman tertinggal, semua ingin brangkat duluan, ada satu statment teman "jika dalam tradisi militer harus mengorbankan satu tim untuk menuju kedisplinan tim. Kredo itu tidak bisa diterapkan dalam tim ekspedisi menyatu dengan alam. Menyatu dengan alam, kita akan belajar harmonisasi alam yang ditunjukan kepada manusia, ada angin, hujan, panas, dingin, laut, gunung. Di sinlah kita belajar keseimbangan dan kebersamaan. Dengan demikian tradisi militer tidak berlaku dalam perjalan menyatu dengan alam ini.

Banyak harapan yang ingin aku tuangkan dalam tulisan di puncak purba ini. Pertama, rutinas menyendiri dengan alam harus menjadi tradisi untuk merefleksi sekian dialektika hiruk pikuk dekat dengan intrik politik dan kepentingan. dalam hal apapun harus menyempatkan kontemplasi. Kedua, melihat gemerlap lampu kota melambangkan kejayaan dan lomba meraih keusksesan hidup, kita harus menjadi penyeimbang dari kehidupan yang semakin rusak. Ketiga, bahwa di tengah perlombaan hidup yang semakin keras kita harus menyempatkan menyendiri biar dapat mengambil pelajaran dari apa yang terjadi.

Gunung Purba, 29 mei 2014

Tidak ada komentar:

@abulaka