![]() |
Penampakan Gunung Api Purba Dari Kejahuan |
Memandang gemerlap malam kota Jogja dari puncak purba memunculkan kesan berbeda dari biasanya. apalagi diiringi tiupan angin sepoi-sepoi puncak purba. Syair-syair iwan fals menemani jari tanganku menyentuh huruf demi huruf lalu menjadi kata kemudian terangkai kalimat. Di tengah keramaian tetangga tenda menikmati hiburan masing-masing, teman-teman tim memainkan gitar, memasak, dan melepas lelah dengan candaan santai.
Banyak hal
yang mesti aku tulis, namun waktuku tinggal 2 jam di puncak purba. Aku gunakan
kesempatan singkat ini untuk coba menuliskan sedikit carita kami, perjalanan
naik gunung purba. Pertama kali aku naik purba. Setingkat gunung juga baru satu
kali, yaitu gunung lawu. Purba bukanlah kategori gunung, tapi hanya bukit
tempat orang melepas penat kehidupan.
Memandang ke
bawah germelab lampu kota sebgai simbol tatanan kapitalisme kokoh, kekuasaan
yang menindas, popularitas, kejayaan, dan saling jegal kepentingan. Pada moment
inilah nampaknya aku bisa merefleksikan perjalanan hidup selama ini yang dekat
dengan lingkaran kekuasaan, popularitas, intrik politik dan saling jegal
kepentingan. Bisa saja ada yang mengatakan tradisi pemimpin-pemimpin besar
mempunyai kebiasaan menyendiri (kontemplasi) dari rutinitas sosial yang
dijalani mereka.
Dan aku memahami bahwa menyendiri dari keramaian dengan jalan naik gunung adalah bagian instrumen kontemplasi. Moment-moment ini nampak harus dilakukan secara rutin. Sebagaimana aku rasakan ketika berada di puncak purba, melihat ke bawah di atas pernak-pernik lampuh kota Jogja, banyak hal yang dapat aku refleksikan. Tidak ada ruginya mengikuti perjalan mendaki puncak purba. Awalnya aku menolak karena ada beberapa agenda yang akan dilaksanakan terkait hiruk-pikuk politik pilpres. yang dapat aku pelajari dari perjalanan adalah kebersamaan tim mencapai puncak, meskipun salah jalan tapi tidak saling menyalakan. Segala sesutu yang terjadi adalah tanggungjawab bersama. Jika sudah menyatakan bersama mengarungi pulau dengan satu perahu, jika sampai semua, maka semua harus sampai, jika tenggelam, maka semuanya harus tenggelam.
Ada satu catatan ketika mau berangkat, ada satu teman tertinggal, semua ingin brangkat duluan, ada satu statment teman "jika dalam tradisi militer harus mengorbankan satu tim untuk menuju kedisplinan tim. Kredo itu tidak bisa diterapkan dalam tim ekspedisi menyatu dengan alam. Menyatu dengan alam, kita akan belajar harmonisasi alam yang ditunjukan kepada manusia, ada angin, hujan, panas, dingin, laut, gunung. Di sinlah kita belajar keseimbangan dan kebersamaan. Dengan demikian tradisi militer tidak berlaku dalam perjalan menyatu dengan alam ini.
Banyak harapan yang ingin aku tuangkan dalam tulisan di puncak purba ini. Pertama, rutinas menyendiri dengan alam harus menjadi tradisi untuk merefleksi sekian dialektika hiruk pikuk dekat dengan intrik politik dan kepentingan. dalam hal apapun harus menyempatkan kontemplasi. Kedua, melihat gemerlap lampu kota melambangkan kejayaan dan lomba meraih keusksesan hidup, kita harus menjadi penyeimbang dari kehidupan yang semakin rusak. Ketiga, bahwa di tengah perlombaan hidup yang semakin keras kita harus menyempatkan menyendiri biar dapat mengambil pelajaran dari apa yang terjadi.
Gunung Purba, 29 mei 2014
Tidak ada komentar: