Politik Kartel Pasca Orde Baru - Abulaka Archaida

Rabu, 21 September 2016

Politik Kartel Pasca Orde Baru

(Oleh: Abu Laka)

            Apa yang akan terjadi jika pemangku kebijakan negara bersekongkol, berkoalisi atau berkolusi dengan para pengusaha? Berkaca pada rezim Orde Baru, kala itu pemerintah bersekongkol dengan barisan militer hingga melahirkan sistem pemerintahan yang sentralistik dan otoriter. Penguasa tunggal Orde Baru pun mampu bertahan kuat selama lebih dari tiga dasawarsa sebelum akhirnya tumbang oleh gerakan massa 12 tahun silam.

            Kini, dalam dunia perpolitikan nasional kita mengenal istilah politik kartel. Dalam kamus ilmiah populer kartel diartikan kerjasama beberapa perusahaan sejenis dengan mengadakan persetujuan untuk mengatur kepentingan bersama. Dan politik kartel menurut David Slater (2004) merupakan bentuk relasi antarelite politik yang dicirikan dengan kolusi antarelite. Cirinya, masih menurut Slater, berupa minimnya kekuatan oposisi dan terlindungnya para elite tersebut dari mekanisme akuntabilitas.

            Bagi Indonesia, perilaku politik kartel dapat dikatakan adalah fenomena kontemporer pasca tumbangnya rezim Orde Baru. Beberapa ciri lain perilaku politik kartel di Indonesia sangat kontras terlihat oleh kita. Pertama, hilangnya peran ideologi partai sebagai faktor penentu perilaku koalisi partai politik. Lihat saja, koalisi antarpartai politik di pemerintahan dibangun atas dasar kolusi, bagi-bagi jatah, jabatan atau posisi, bukan atas dasar faktor kesamaan atau kemiripan ideologi. Kedua, sikap permisif dalam pembentukan oposisi.
Ketiga, hasil-hasil pemilu nyaris tidak berpengaruh di dalam proses menentukan perilaku partai politik. Menang dan kalah tidak jadi soal, yang terpenting justru bagaimana kursi kekuasaan dapat dibagi-bagi dengan dalih koalisi membangun negara dengan kesamaan-kesamaan tertentu yang dipaksakan. Keempat, kuatnya kecenderungan partai politik untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok serta menafikan bangunan ideal ideologi dasar parpol tersebut. Partai politik beramai-ramai masuk ke dalam lingkaran yang menang dengan harapan memperoleh jatah kekuasaan. Barisan partai politik yang menjalankan fungsi oposisi atau meminjam istilah Ambardi, koalisi bongsor (oversized coalition) seketika absen.
Terutama pasca pemilu 2010, partai politik di Indonesia membanjir. Namun, tidak satupun dari puluhan partai politik yang turut serta dalam kontes pesta demokrasi, terutama partai-partai sepuluh tersbesar secara tegas menyatakan diri berdiri pada posisi strategis di kubu oposisi. Kalau pun ada, tak lebih hanyalah sebatas formalitas dan tidak sepenuh hati menjalankan fungsi kontrol sebagai posisi sejati, dan tergantung situasi, jika ajakan koalisi dari pemerintah menguntungkan partai, maka lunturlah fungsi oposisi tersebut. Sebaliknya, ketika kebijakan pemerintah dianggap merugikan partai politik tertentu, dengan sigap dan spontan tiba-tiba jadi oposisi. Nabi Muhammad SAW mengatakan orang seperti itu bermental anjing, mengikut jika diberikan tulang (keuntungan).
Perilaku politik kartel tampak jelas ketika Mantan Menteri Keuangan dipaksa meninggalkan posisinya di kabinet Indonesia bersatu jilid II. Percekcokan pribadi antara Sri Mulyani dengan Aburizal Bakrie berujung pada kepergian Sri menuju Bank Dunia (Wolrd Bank), dan ia menyadari bahwa kepergiannya adalah implikasi dari perilaku politik kartel antara pemerintah dan pengusaha yang disebutnya dengan istilah “kawin politik”. Buktinya, beberapa hari setelah pengunduran diri Sri Mulyani dari jabatan Menteri Keuangan, Aburizal Bakrie naik jabatan di posisi sebagai ketua harian sekretariat gabungan antar partai koalisi. Padahal, hari-hari sebelumnya anakbuah Aburizal Bakrie amat sangat gencar mencecar Sri Mulyani dalam skandal bailout bank Century.

Praktek politik kartel bukan lagi hal yang tabu dilakukan. Sebab, dengan terang-terangan praktek itu dapat kita saksikan di lingkungan kekuasaan atau kepemerintahan. Hadirnya praktek politik kartel membuat negera ini dibangun oleh dua kubu, pemerintah (partai politik) dan pengusaha. Dan pihak yang paling keras bertepuk tangan ialah pihak pengusaha karena korporasi-korporasinya yang berkeliaran di seantaro negeri akan terjaga aman melalui kebijakan-kebijakan pemerintah. Sementara pemerintah mengambil keuntungan dari para pengusaha secara finansial untuk mempertahankan eksistensi partainya agar tidak kekurangan logistik pada saat pemilu. Masyarakat dibuat semakin pragmatis dengan berbagai praktek politik uang (money politic). Pantaslah Bung Hatta pernah menyatakan bahwa jangan sampai terjadi partai politik menjadi tujuan, sedangkan negara hanya menjadi alatnya. 

Tidak ada komentar:

@abulaka