Kali ini kami melakukan pendakian memandang Pantai
Parangtritis (Paris) dari sudut selatan. Puncak Paralayang, begitulah orang-orang
menyebutnya, dataran tinggi yang ada di sudut selatan paris. Jika di puncak
inilah permulaan orang mengenal paralayang Indonesia hinggi mendunia, maka di
puncak ini pula kalian mengawali pendakian sebelum menaklukan puncak-puncak
gunung yang ada di Indonesia.
Perjalanan ini bersama kawan-kawan asrama Kaboki (Kabupaten
OKI), Yogyakarta dan sebagian mahasiswa Sumsel yang berbeda Kabupaten, sebagian
besar mahasiswa baru khususnya para Srikandinya.
Ekspedisi ini sebenarnya momentum pembelajaran mahasiswa
baru dan yang baru melakukan pendakian. Begitu juga untuk orang-orang yang sudah
biasa melakukan pendakian. Ada beberapa rangkaian cerita yang bisa diambil
pembelajaran dari perjalanan kali ini.
Pemberangkatan rombongan dibagi 3 kelompok. Rombongan
pertama yang berangkat sebagian besar mahasiswa baru, kelompok kedua berangkat
habis isya’, dan kelompok ketiga berangkat tengah malam. Khususnya kelompok
saya berangkat agak telat dari jadwal yang direncanakan.
Kelompok pertama melahirkan banyak cerita hingga menjadi
rangkaian hikmah yang dapat diambil pembelajaran. Dengan modal semangat, mereka
berangkat tanpa persiapan yang mateng. Mereka mendirikan tenda dengan
perjuangan 2 jam tapi juga belum selesai, dan pada akhirnya harus meminta
pertolongan dengan masyarakat sekitar. Mungkin saja di antara mereka muncul
rasa kesal, emosi dan keputusasaan menghadapi situasi yang tidak biasa ketika
melakukan pendakian, dan nyatanya mereka orang-orang baru dalam aktivitas
pendakian.
Di sinilah ada beberapa pembelajaran yang mereka dapatkan
tanpa disadari oleh rombongan pertama, yaitu memecahkan masalah, berinteraksi
dengan penduduk setempat, kerjasama tim dan cara memahami orang lain.
Dalam situasi tidak menentu, misalnya marah, kesal dan
jengkel, terkadang seseorang tidak bisa berfikir rasional. Di sinilah mereka
dituntut menyelesaikan problem dalam situasi tidak menentu apapun caranya.
Begitu juga dalam perjalanan hidup, dalam situasi terburuk pun, kita dituntut
berfikir secara sehat bagaimana cara bangkit dari keterpurukan. Bukankah
pemenang sejati itu adalah orang yang terus bangkit dari keterpurukan kemudian
ia mencapai puncak yang dia cita-citakan. Dengan kesabaran dan berfikir tenang
akhirnya kelompok pertama punya ide minta pertolongan dengan penduduk setempat.
Pada akhirnya kesuksesan itu terlahir, yaitu keinginan bersama tenda bisa
berdiri tegak di atas puncak paralayang.
Pelajaran
kedua yang bisa mereka ambil adalah berinteraksi dengan penduduk setempat.
Inilah sesungguhnya salah satu tujuan utama dalam melakukan perjalanan menyatu
dengan alam. Sebagaimana Soe Hok Gie dalam catatannya ketika melakukan
pendakian beberapa gunung di Indonesia. Tokoh intelektual murni yang hidup di
Orde Lama termasuk tokoh sentral yang sering mengkritik kebijakan presiden RI
pertama Soekarno sangat dekat dengan aktivitas pendakian gunung. Salah satu yang
ia tuju ketika melakukan pendakian adalah agar memahami kehidupan sosial
penduduk sekitar lereng gunung tersebut. Dari memahami karakter sosial dan
perekonomian mereka dengan harapan bisa menumbuhkan rasa keprihatinan dan
kepedulian kita terhadap masyarakat pedalaman yang terkadang hak-hak mereka
sebagai warga Negara tidak terlalu diperhatikan oleh pemerintah.
Inilah pembelajaran berharga yang didapat kelompok pertama
ketika mereka meminta pertolongan penduduk setempat untuk menyempurnakan
pendirian tenda. Jika tidak terjadi mereka minta pertolongan, bisa saja
interaksi itu tidak terjadi. Dari peristiwa ini, kelompok pertama menjadi akrab
dengan penduduk sekitar. Itu tergambar ketika kami pertama datang, kelompok
pertama lagi asyik ngobrol dengan orang yang punya warung di sekitar puncak
paralayang. Begitu pun ketika kami pertama datang, sambutan mereka begitu
hangat. Mereka menyarankan motornya dipindahkan saja biar lebih aman. Luar
biasa kelompok pertama bisa mendapatkan pelajaran ini.
![]() |
Saat di Tenda |
Pelajaran
ketiga yang mereka peroleh adalah kerjasama tim. Dalam keadaan capek dan rasa
kecal kerjasama tim tetap terbentuk. Kerjasama dan saling memahami satu sama
lain merupakan modal utama dalam pendakian. Oleh karena itu pencapaian ke
puncak tidak pernah bisa diprediksi akan sampai dalam waktu berapa jam, karena
tujuan yang ingin dicapai sampai puncak secara bersama-sama, tidak
sendiri-diri. Jika dilakukan sendiri semua orang bisa dapat mentargetkan dalam
waktu sekian jam, dan semua orang bisa melakukan itu.
Hanya
orang-orang bijakasana yang ingin mencapai puncak secara bersama-sama terutama
orang yang ada di sekitarnya. Banyak
orang yang bisa sukses secara individu, dan sedikit orang bisa sukses dalam
sebuah tim. Sukses secara tim tidak begitu banyak orang bisa menjalaninya,
karena dibutuhkan rasa ikhlas, kebesaran hati, berbagi, peduli dan saling
tolong menolong. Dan aku pikir jika rasa mulia ini tidak ada dalam diri
masing-masing kelompok pertama, maka mereka akan pulang ke rumah masing-masing
dan tidak melanjutkan ngecamp yang berakhir indah ini.
Pelajaran
terakhir yang diperoleh kelompok pertama memahami orang-orang lain dalam
menjalani perjuangan hidup. Keterlambatan kelompok kedua lumayan berdampak
buruk, he…Kelompok pertama hanya membawa peralatan tenda dan pribadi masing-masing
sehingga jika gelap tiba mereka harus turun kebawa. Kami sungguh minta maaf
sedalam-dalamnnya terhadap kelompok pertama. Kelompok pertama dominan orang-orangnya
baru melakukan pendakian.
Mungkin saja, dalam benak mereka ini perjalanan pertama dan
puncaknya tak terlalu tinggi, rintangannya sudah seperti ini, ini hanya
perkiraan lho, he..he… cerita ini bisa diambil hikmah bahwa dalam mencapai
kesuksesan hidup mesti ada rintangan yang harus dilewati, termasuk kita harus memahami
orang-orang yang ada disekitar. Ini bagian rintangan mereka agar sukses di
pendakian pertama. Jika sukses ini, mereka akan naik tingkat menaklukan pucak
yang lebih tinggi dan rintangannya akan lebih ekstrim dari ini. Tidak untuk
menakuti, bercanda kok, yang pasti lebih tinggi puncaknya akan lebih indah
cerita perjalanannya.
Ini
pendakian pertama dan mereka telah lulus dari segala rintangan agar bisa sukses
mencapai puncak yang lebih tinggi. Pendakian puncak adalah perjalanan alam, dan
perjalanan alam adalah perjalanan hati. Kita menyatu dengan alam dan mengambil pembelajaran
dari alam. Ibarat pendakian sederhana seperti rintangan hidup yg tidak terlalu
berat. jika semua bisa dilalui, maka akan naik tingkat ke pendakian yg lebih
tinggi dan menantang. Begitu juga hidup akan naik tingkat derajat ke yang lebih
tinggi. Di sinilah peran kita memaknai perjalanan alam adalah perjalanan hati.
Jika hati selalu kita kedepankan dalam setiap memaknai peristiwa kecil dari pendakian,
tentu akan banyak hikmah yang didapat. Semua yang terjadi dalam perjalanan, tentunya
atas kehendak alam, dan kehendak alam tentunya kehendak Tuhan juga.
Di perjalanan ini pula kami belajar hidup berdampingan dengan
alam. Karena kompor yang kami bawa mengalami gangguan teknis, sedangkan rombongan
sudah suasana lapar yang tidak bisa ditoleransi lagi, ha…tak terbayangkan
bagaimana rasanya. Untuk mengatasi ini, kami harus mencari kayu bakar agar
proses masak bisa dipercepat. Dalam
mencari kayu bakar, kami tak ingin menebang pohon sembarangan, kami harus
melihat apakah pohon itu layak ditebang atau tidak, kami hanya potong bagian
rantingnya yang sudah mati dan ranting yang memang sudah ada di sekitar tenda. Baru
masak beberapa gelas kopi dan satu mie instan, rahmat Tuhan pun turun membasahi
puncak paralayang. Ketika hujan reda, kami melanjutakan masak, hujan pun
menyapa lagi. Terus berulang hingga masak terhenti 3 kali.
Pohon adalah bagian struktur alam yang harus kita hormati
hak-haknya. Mereka punya hak hidup subur menjaga keseimbangan alam. Tuhan,
manusia dan alam adalah satu-kesatuan, tidak ada obyek, dan semua itu bermuara
pada nilai Ketuhanan. Pelajarannya, jika kami menghormati hak alam layaknya
mereka makhluk yang mempunyai hak tuk diberlakukan baik. Maka kami percaya tak
ada makhluk apapun yg akan mencelakai kami, karena semua adalah satu-kesatuan
yg bersumber pada Tuhan. Dan Alhamdulillah, hingga perjalanan ini berakhir
tidak satu pun gangguan yang kami alami. Lagi-lagi ini bagian rintangan yang
perlu kami lewati. Dari kejadian ini kami bisa merasakan puncaknya kelaparan,
dan akhirnya pelajaran yang didapat kami dapat merasakan lapar sebagaimana
ketika anak-anak jalanan lapar dan tak bisa mengobatinya lantaran uang tidak
cukup untuk membeli sebungkus nasi.
Di tengah berisik suara hujan, kami melakukan berbincangan
ringan dengan beberapa orang baru pertama kali melakukan pendakian. Di antara
rombongan ada yang komentar bahwa ini perjalanan terakhir yang aku lakukan, ia
tidak akan lagi mendaki ke puncak-puncak indah lainnya. Yach, wajar ia berkata
demikian, karena terlalu berat cerita rintangan yang mereka hadap bagi seorang
pemula. Tapi sesungguh, semakin berat rintangan yang dilalui, semakin tinggi
loncatan sukses yang akan diperoleh.
Kemudian ada yang menanggapi pernyataan keputusaasaan itu,
jika pendakian pendek ini ia tak bisa dilewati bagaimana mau menklukan puncak
yang lebih tinggi yang medannya lebih sulit. Begitu juga dalam kehidupan nyata,
jika rintangan ringan sudah menyerah, lantas bagimana mau menggapai mimpi-mimpi
besar. Bukankah pohon kelapa itu semakin tinggi, maka anginnya semakin besar.
Cerita
kelompok dua dan tiga tidak telalu banyak untuk diceritakan, karena sebagian
besar mereka sudah terbiasa mendaki, dan tulisan ini juga dikhususkan buat
sahabat dan sahabati yang baru melakukan pendakian. Setelah kedatangan kelompok
terakhir atau ketiga semua melebur menjadi satu dalam sesuasana keceriaan dan kekeluargaan.
Kelompok pertama sebagian sudah istrahat mengobati rasa capek dan lapar,
masakan yang ditunggu terlalu lama lantaran hujan menghampiri kami.
Canda,
tawa, intrik melebur jadi satu hingga mengantarkan kami pada pagi. Rasa
kebersamaan itu seola-ola terlalu cepat, tak terasa suara adzan menyapa sudut
kota pendidikan bertanda shubuh telah masuk. Petikan gitar dan suara merdu
beberapa punggawa Sanggar Sriwija memecah kesunyaian puncak Paralayang. Itulah
media utama kami bertahan hingga pagi dan meleburkan kami dalam keceriaan yang
setiap individu mempunyai karakter yang berbeda. Semua lepas, menyatu tanpa
sekat. Tidak ada sekat generasi, benci, dendam, iri karena semua menyatu dalam
nuasa keceriaan dan kekualargaan.
Ketika
pagi menyapa, kami mensyukri keindahan Tuhan yang diberikan pada parais dan
semak-semak hutan yang ada di sekitarnya dengan cara memandang dari puncak paralayang
dan diselingi foto bersama dan selfi-selfi ala anak muda era sekarang,
he…Selesai foto besama, kami bersiap beranjak dari Puncak Paralayang dengan
meberesi semua perlangkapan yang dibawa, dan tak lupa membersihkan semua sampah
yang ada disekitarnya. Jangan ada sampah yang tersisah di sekitar kami ngecamp.
Membersihkan semua sampah adalah bagian menghormati hak lingkungan yang harus
dijaga kebersihan dan ketertibannya.
Menyatunya
semua rombongan tanpa sekat bagian dari tujuan kami dalam melakukan perjalanan
alam. Menyatu dengan alam, larut dalam kesunyiannya menikmati rahmat langit
(hujan), mengormati hak-hak tumbuhan dan lingkungan sekitar semua itu tujuan
puncak dari perjalanan pendakian ini. Dan pada akhirnya cerita perjalan ini
menjadi indah, kami melewati semua rintangan dengan nuasa kebersamaan dan
kekeluargaan. Tinggal kita menanti moment selanjutnya yang akan mempertemukan kita
kemabali di puncak-puncak gunung terindah yang dimiliki Ibu Pertiwi.
Puncak
Paralayang, 4 September 2016
Tidak ada komentar: