Berawal dari Puncak Paralayang (Teruntuk Sahabat-sahabati baru memulai Pendakian) - Abulaka Archaida

Selasa, 13 September 2016

Berawal dari Puncak Paralayang (Teruntuk Sahabat-sahabati baru memulai Pendakian)


Kali ini kami melakukan pendakian memandang Pantai Parangtritis (Paris) dari sudut selatan. Puncak Paralayang, begitulah orang-orang menyebutnya, dataran tinggi yang ada di sudut selatan paris. Jika di puncak inilah permulaan orang mengenal paralayang Indonesia hinggi mendunia, maka di puncak ini pula kalian mengawali pendakian sebelum menaklukan puncak-puncak gunung yang ada di Indonesia.
Perjalanan ini bersama kawan-kawan asrama Kaboki (Kabupaten OKI), Yogyakarta dan sebagian mahasiswa Sumsel yang berbeda Kabupaten, sebagian besar mahasiswa baru khususnya para Srikandinya.
Ekspedisi ini sebenarnya momentum pembelajaran mahasiswa baru dan yang baru melakukan pendakian. Begitu juga untuk orang-orang yang sudah biasa melakukan pendakian. Ada beberapa rangkaian cerita yang bisa diambil pembelajaran dari perjalanan kali ini.
Pemberangkatan rombongan dibagi 3 kelompok. Rombongan pertama yang berangkat sebagian besar mahasiswa baru, kelompok kedua berangkat habis isya’, dan kelompok ketiga berangkat tengah malam. Khususnya kelompok saya berangkat agak telat dari jadwal yang direncanakan.
Kelompok pertama melahirkan banyak cerita hingga menjadi rangkaian hikmah yang dapat diambil pembelajaran. Dengan modal semangat, mereka berangkat tanpa persiapan yang mateng. Mereka mendirikan tenda dengan perjuangan 2 jam tapi juga belum selesai, dan pada akhirnya harus meminta pertolongan dengan masyarakat sekitar. Mungkin saja di antara mereka muncul rasa kesal, emosi dan keputusasaan menghadapi situasi yang tidak biasa ketika melakukan pendakian, dan nyatanya mereka orang-orang baru dalam aktivitas pendakian.
Di sinilah ada beberapa pembelajaran yang mereka dapatkan tanpa disadari oleh rombongan pertama, yaitu memecahkan masalah, berinteraksi dengan penduduk setempat, kerjasama tim dan cara memahami orang lain.
Dalam situasi tidak menentu, misalnya marah, kesal dan jengkel, terkadang seseorang tidak bisa berfikir rasional. Di sinilah mereka dituntut menyelesaikan problem dalam situasi tidak menentu apapun caranya. Begitu juga dalam perjalanan hidup, dalam situasi terburuk pun, kita dituntut berfikir secara sehat bagaimana cara bangkit dari keterpurukan. Bukankah pemenang sejati itu adalah orang yang terus bangkit dari keterpurukan kemudian ia mencapai puncak yang dia cita-citakan. Dengan kesabaran dan berfikir tenang akhirnya kelompok pertama punya ide minta pertolongan dengan penduduk setempat. Pada akhirnya kesuksesan itu terlahir, yaitu keinginan bersama tenda bisa berdiri tegak di atas puncak paralayang.
            Pelajaran kedua yang bisa mereka ambil adalah berinteraksi dengan penduduk setempat. Inilah sesungguhnya salah satu tujuan utama dalam melakukan perjalanan menyatu dengan alam. Sebagaimana Soe Hok Gie dalam catatannya ketika melakukan pendakian beberapa gunung di Indonesia. Tokoh intelektual murni yang hidup di Orde Lama termasuk tokoh sentral yang sering mengkritik kebijakan presiden RI pertama Soekarno sangat dekat dengan aktivitas pendakian gunung. Salah satu yang ia tuju ketika melakukan pendakian adalah agar memahami kehidupan sosial penduduk sekitar lereng gunung tersebut. Dari memahami karakter sosial dan perekonomian mereka dengan harapan bisa menumbuhkan rasa keprihatinan dan kepedulian kita terhadap masyarakat pedalaman yang terkadang hak-hak mereka sebagai warga Negara tidak terlalu diperhatikan oleh pemerintah.
Inilah pembelajaran berharga yang didapat kelompok pertama ketika mereka meminta pertolongan penduduk setempat untuk menyempurnakan pendirian tenda. Jika tidak terjadi mereka minta pertolongan, bisa saja interaksi itu tidak terjadi. Dari peristiwa ini, kelompok pertama menjadi akrab dengan penduduk sekitar. Itu tergambar ketika kami pertama datang, kelompok pertama lagi asyik ngobrol dengan orang yang punya warung di sekitar puncak paralayang. Begitu pun ketika kami pertama datang, sambutan mereka begitu hangat. Mereka menyarankan motornya dipindahkan saja biar lebih aman. Luar biasa kelompok pertama bisa mendapatkan pelajaran ini.
Saat di Tenda
            Pelajaran ketiga yang mereka peroleh adalah kerjasama tim. Dalam keadaan capek dan rasa kecal kerjasama tim tetap terbentuk. Kerjasama dan saling memahami satu sama lain merupakan modal utama dalam pendakian. Oleh karena itu pencapaian ke puncak tidak pernah bisa diprediksi akan sampai dalam waktu berapa jam, karena tujuan yang ingin dicapai sampai puncak secara bersama-sama, tidak sendiri-diri. Jika dilakukan sendiri semua orang bisa dapat mentargetkan dalam waktu sekian jam, dan semua orang bisa melakukan itu.
            Hanya orang-orang bijakasana yang ingin mencapai puncak secara bersama-sama terutama orang yang ada di sekitarnya.  Banyak orang yang bisa sukses secara individu, dan sedikit orang bisa sukses dalam sebuah tim. Sukses secara tim tidak begitu banyak orang bisa menjalaninya, karena dibutuhkan rasa ikhlas, kebesaran hati, berbagi, peduli dan saling tolong menolong. Dan aku pikir jika rasa mulia ini tidak ada dalam diri masing-masing kelompok pertama, maka mereka akan pulang ke rumah masing-masing dan tidak melanjutkan ngecamp yang berakhir indah ini.
            Pelajaran terakhir yang diperoleh kelompok pertama memahami orang-orang lain dalam menjalani perjuangan hidup. Keterlambatan kelompok kedua lumayan berdampak buruk, he…Kelompok pertama hanya membawa peralatan tenda dan pribadi masing-masing sehingga jika gelap tiba mereka harus turun kebawa. Kami sungguh minta maaf sedalam-dalamnnya terhadap kelompok pertama. Kelompok pertama dominan orang-orangnya baru melakukan pendakian.
Mungkin saja, dalam benak mereka ini perjalanan pertama dan puncaknya tak terlalu tinggi, rintangannya sudah seperti ini, ini hanya perkiraan lho, he..he… cerita ini bisa diambil hikmah bahwa dalam mencapai kesuksesan hidup mesti ada rintangan yang harus dilewati, termasuk kita harus memahami orang-orang yang ada disekitar. Ini bagian rintangan mereka agar sukses di pendakian pertama. Jika sukses ini, mereka akan naik tingkat menaklukan pucak yang lebih tinggi dan rintangannya akan lebih ekstrim dari ini. Tidak untuk menakuti, bercanda kok, yang pasti lebih tinggi puncaknya akan lebih indah cerita perjalanannya.
            Ini pendakian pertama dan mereka telah lulus dari segala rintangan agar bisa sukses mencapai puncak yang lebih tinggi. Pendakian puncak adalah perjalanan alam, dan perjalanan alam adalah perjalanan hati. Kita menyatu dengan alam dan mengambil pembelajaran dari alam. Ibarat pendakian sederhana seperti rintangan hidup yg tidak terlalu berat. jika semua bisa dilalui, maka akan naik tingkat ke pendakian yg lebih tinggi dan menantang. Begitu juga hidup akan naik tingkat derajat ke yang lebih tinggi. Di sinilah peran kita memaknai perjalanan alam adalah perjalanan hati. Jika hati selalu kita kedepankan dalam setiap memaknai peristiwa kecil dari pendakian, tentu akan banyak hikmah yang didapat. Semua yang terjadi dalam perjalanan, tentunya atas kehendak alam, dan kehendak alam tentunya kehendak Tuhan juga.
Di perjalanan ini pula kami belajar hidup berdampingan dengan alam. Karena kompor yang kami bawa mengalami gangguan teknis, sedangkan rombongan sudah suasana lapar yang tidak bisa ditoleransi lagi, ha…tak terbayangkan bagaimana rasanya. Untuk mengatasi ini, kami harus mencari kayu bakar agar proses masak bisa dipercepat.  Dalam mencari kayu bakar, kami tak ingin menebang pohon sembarangan, kami harus melihat apakah pohon itu layak ditebang atau tidak, kami hanya potong bagian rantingnya yang sudah mati dan ranting yang memang sudah ada di sekitar tenda. Baru masak beberapa gelas kopi dan satu mie instan, rahmat Tuhan pun turun membasahi puncak paralayang. Ketika hujan reda, kami melanjutakan masak, hujan pun menyapa lagi. Terus berulang hingga masak terhenti 3 kali.
Pohon adalah bagian struktur alam yang harus kita hormati hak-haknya. Mereka punya hak hidup subur menjaga keseimbangan alam. Tuhan, manusia dan alam adalah satu-kesatuan, tidak ada obyek, dan semua itu bermuara pada nilai Ketuhanan. Pelajarannya, jika kami menghormati hak alam layaknya mereka makhluk yang mempunyai hak tuk diberlakukan baik. Maka kami percaya tak ada makhluk apapun yg akan mencelakai kami, karena semua adalah satu-kesatuan yg bersumber pada Tuhan. Dan Alhamdulillah, hingga perjalanan ini berakhir tidak satu pun gangguan yang kami alami. Lagi-lagi ini bagian rintangan yang perlu kami lewati. Dari kejadian ini kami bisa merasakan puncaknya kelaparan, dan akhirnya pelajaran yang didapat kami dapat merasakan lapar sebagaimana ketika anak-anak jalanan lapar dan tak bisa mengobatinya lantaran uang tidak cukup untuk membeli sebungkus nasi.
Di tengah berisik suara hujan, kami melakukan berbincangan ringan dengan beberapa orang baru pertama kali melakukan pendakian. Di antara rombongan ada yang komentar bahwa ini perjalanan terakhir yang aku lakukan, ia tidak akan lagi mendaki ke puncak-puncak indah lainnya. Yach, wajar ia berkata demikian, karena terlalu berat cerita rintangan yang mereka hadap bagi seorang pemula. Tapi sesungguh, semakin berat rintangan yang dilalui, semakin tinggi loncatan sukses yang akan diperoleh.
Kemudian ada yang menanggapi pernyataan keputusaasaan itu, jika pendakian pendek ini ia tak bisa dilewati bagaimana mau menklukan puncak yang lebih tinggi yang medannya lebih sulit. Begitu juga dalam kehidupan nyata, jika rintangan ringan sudah menyerah, lantas bagimana mau menggapai mimpi-mimpi besar. Bukankah pohon kelapa itu semakin tinggi, maka anginnya semakin besar.
            Cerita kelompok dua dan tiga tidak telalu banyak untuk diceritakan, karena sebagian besar mereka sudah terbiasa mendaki, dan tulisan ini juga dikhususkan buat sahabat dan sahabati yang baru melakukan pendakian. Setelah kedatangan kelompok terakhir atau ketiga semua melebur menjadi satu dalam sesuasana keceriaan dan kekeluargaan. Kelompok pertama sebagian sudah istrahat mengobati rasa capek dan lapar, masakan yang ditunggu terlalu lama lantaran hujan menghampiri kami.
            Canda, tawa, intrik melebur jadi satu hingga mengantarkan kami pada pagi. Rasa kebersamaan itu seola-ola terlalu cepat, tak terasa suara adzan menyapa sudut kota pendidikan bertanda shubuh telah masuk. Petikan gitar dan suara merdu beberapa punggawa Sanggar Sriwija memecah kesunyaian puncak Paralayang. Itulah media utama kami bertahan hingga pagi dan meleburkan kami dalam keceriaan yang setiap individu mempunyai karakter yang berbeda. Semua lepas, menyatu tanpa sekat. Tidak ada sekat generasi, benci, dendam, iri karena semua menyatu dalam nuasa keceriaan dan kekualargaan.
            Ketika pagi menyapa, kami mensyukri keindahan Tuhan yang diberikan pada parais dan semak-semak hutan yang ada di sekitarnya dengan cara memandang dari puncak paralayang dan diselingi foto bersama dan selfi-selfi ala anak muda era sekarang, he…Selesai foto besama, kami bersiap beranjak dari Puncak Paralayang dengan meberesi semua perlangkapan yang dibawa, dan tak lupa membersihkan semua sampah yang ada disekitarnya. Jangan ada sampah yang tersisah di sekitar kami ngecamp. Membersihkan semua sampah adalah bagian menghormati hak lingkungan yang harus dijaga kebersihan dan ketertibannya.
            Menyatunya semua rombongan tanpa sekat bagian dari tujuan kami dalam melakukan perjalanan alam. Menyatu dengan alam, larut dalam kesunyiannya menikmati rahmat langit (hujan), mengormati hak-hak tumbuhan dan lingkungan sekitar semua itu tujuan puncak dari perjalanan pendakian ini. Dan pada akhirnya cerita perjalan ini menjadi indah, kami melewati semua rintangan dengan nuasa kebersamaan dan kekeluargaan. Tinggal kita menanti moment selanjutnya yang akan mempertemukan kita kemabali di puncak-puncak gunung terindah yang dimiliki Ibu Pertiwi.

Puncak Paralayang, 4 September 2016

Tidak ada komentar:

@abulaka