TKI, Manohara, dan Politik Luar Negeri Indonesia - Abulaka Archaida

Rabu, 21 September 2016

TKI, Manohara, dan Politik Luar Negeri Indonesia


TKI, Manohara, dan Politik Luar Negeri Indonesia
Oleh : M. Abu Laka SY *)

Bisa dikatakan sudah melampauhi diatas ambang nilai-nilai kemanusiaan. Kata-kata itulah yang pantas kita sematkan kepada pasukan pahlawan devisa Indonesia sekarang. Akhir-akhir ini banyak kasus yang memprihatinkan dan bahkan mengenaskan yang menimpa buruh migrant Indonesia /TKI. Seperti yang dialami oleh Siti Hajar, Modesta Rangga Kaka yang baru-baru ini terekspos oleh media, mereka disiksa, bahkan gajinya tidak dibayar. Belum lagi TKI di Saudi Arabia. Sepanjang 2009 terjadi 100 kasus yang menimpa TKI Saudi Arabia, dan 75 persen kasusnya gaji tidak dibayar (Dubes RI untuk Arab Saudi, Juni 2009). Selebihnya terjadi kasus pelecehan seksual dan penyikasaan.

Apa yang dialami oleh para TKI, dari dulu sampai sekarang, nampaknya persoalannya sama saja, yaitu penyiksaan, gaji tidak dibayar, pelecehan seksual, penipuan dan bahkan merenggut nyawa. Padahal Pemerintahan Indonesia sudah melakukan perbaikan dengan beberapa cara. Secara hukum Indonesia sudah membuat perjanjian bilateral (MoU) dengan Negara-negara pemakai jasa TKI. Tidak sebetas jalur formal, pemerintah juga menempuh  jalur kultural berupa kontroling melalui lembaga Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dinegara setempat.

Lantas pertanyaannya mengapa hal ini tetap terjadi. Apakah ada persolan lain yang belum  dicarikan solusinya oleh pemerintah, selain permsalahan MoU. Atau, jangan-jangan perjanjian yang telah disepakati tidak mempuyai nilai tawar (bargaining position) untuk menjamin keselamatan para TKI dari cengkraman majikan yang tidak bertanggung jawab. Saya kira hal inilah yang perlu diperhatikan oleh semua pihak. Misalkan LSM sebagai lembaga advokasi, PJTKI sebagai lembaga penyalur, terumtama instansi pemerintah yang memilki kewenangan mutlak atas pengiriman TKI agar memperbincangkan, mendiskusikan kembali format perlindungan TKI kedepan.

Dilema Pahlawan Devisa
Sejatinya masyarakat Indonesia sudah paham akan resiko-resiko yang sering kali menimpa TKI. Berjuang di Negeri orang lain, jauh dari keluarga dengan harapan mereka dapat menghasilkan gaji. Dengan gaji, mereka dapat membahagiakan orang-orang yang ditinggalkan dikampung halaman. Namun, harapan itu telah sirna, seiring kehidupan tidak berpihak kepada mereka. Bukannya gaji yang didapat, justru siksaan yang terkadang berujung pada kematian. Sudah jatuh, ditimpa tangga lagi. Malang nian nasib TKI.

Sedari mereka sudah menyadari hal itu. Namun, sudah tidak punya pilihan lain. Dari pada menetap di negeri sendiri, terus anak-anak, istri-suami, dan orang tua mereka kelaparan setiap hari lantaran pendapatan tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup. Pada hal masadepan anak-anak mereka masih panjang. Bagaimana anak-anak mereka mau sekolah, wong makan saja tidak mencukupi.

Disinilah letak dilema buruh migrant Indonesia. Mereka dihadapkan dua pilihan hidup yang serba sulit. Satu sisi mereka pasra dengan kehidupan, tapi masadepan keluarga menjadi tidak jelas. Sisi lain, mereka harus berjuang dinegeri orang, meskipun nyawa taruannya. Dengan kata lain, menjadi TKI adalah pilahan yang terpaksa dan memang harus dipilih.

Apa yang saya ilustrasikan ini adanya indikasi ketimpangan sosial di Negeri ini. Menurut teori sosial, dimana ada ketimpangan sosial berarti ada proses ketidakadilan yang sedang berjalan–yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Dan proses ketidak adilan tersebut bagian dari problem yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Alih-alih, problemnya adalah minimnya lapangan pekerjaan Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penganggur pada Februari 2008 telah tercatat sebesar 9,43 juta orang. Lanjut, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memproyeksikan angka pengangguran pada 2009 akan meningkat 1,5 persen. Fakta tersebut menunujukan betapa minimnya lapangan kerja yang tersedia di Negeri ini.

Maka wajar, kalau sampai sekarang 60 juta lebih WNI yang tersebar di Malaysia, Singapura, Malaysia, Arab Saudi, Kuwait, Taiwan, Amerika Serikat, Hongkong, Korea Selatan dan Jepang, dan Negara Eropa. Coba bayangkan kalau masyarakat Indonesia tidak memilih mencari nafkah dinegeri orang lain. Maka betapa banyaknya pengangguran di bumi ibu pertiwi ini.
                
Manohara, Pelajaran Bagi Pemerintah
            Selain fenomena TKI ada persoalan lain yang menjadi catatan penting untuk kipra poltik luar negeri Indonesia di kanca Internasional. Masih hangat untuk diperbincangkan, bahkan isu ini selalu saja menghiasi media-media Indonesia dan Malaysia, baik cetak maupun elektronik. Persoalannya cukup sederhana, dan banyak kalangan mengatakan bahwa kekerasan rumah tangga (KDRT) yang dialami Manohara Odelia Pinot dengan atas suaminya Tengku Muhammad Fhakhri, Pangeran Kelantan, Malayasia adalah persolaan keluarga.

Namun, anggapan tersebut terbantahkan ketika Manohara melepaskan diri dari cengkraman keluarga kelantan. Sehingga setelah datang ke Indonesia, Manohara bisa mengungkapkan apa yang dialaminya melalui jumpa pers. Ternyata yang dialami Manohara bukan lagi sekedar KDRT, tapi ada perampasan hak kemerdekan individu, seperti tidak boleh menelpon keluarga dan tidak dizinkan bertemu dengan ibu. Saya tidak sedang mempersoalkan bagaimana bentuk kasus Manohara, tapi yang Penulis potret dalam ulasan ini bagaimana perlindungan HAM WNI di luar negeri.

            Betapa lemahnya sistem pemerintahan untuk melindungi warganya dari ancaman pelanggaran HAM. Sehingga sekelas KBRI yang dikomandani oleh Da’i Bachtiar yang sudah melakukan pendekatan diplomatis dengan cara mengirimkan surat kepada pihak kerajaan Kelantan, tetap saja tidak berhasil. Alhasil, Manohara bisa melarikan diri dengan bantuan Sabri, kerabat kelantan dan bantuan Kepolisian Singapura. Dengan demikian terlepasnya Manohara bukan hasil dari diplomasi pemerintah dengan Kerajaan Kelantan.

            Sejauh pandangan Penulis, TKI saja yang jelas perlindungan HAM mereka yang sudah diatur pemerintah melalui MoU, itu saja masih mengalami tragedi menyedihkan. Apa lagi WNI non-TKI yang sistem perlindungan HAM nya diluar negeri belum diatur. Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Komisioner Komnas HAM Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan, Nurkholis bahwa Indonesia belum punya format yang jelas bagaimana melindingi warganya yang non TKI diluar negeri. Kenyataan ini hingga menuntut Komnas untuk terlibat menulusuri kasus tewasnya mahasiswa Indonesia di Singapura David Hartanto Widjaja.

            Apa yang dapat kita cermati dalam kasus ini, bahwa betapa lemahnya diplomasi Indonesia dikanca Internasional. Sampai-sampai mengurusi kasus ambalat, Manohara, David, dan TKI yang disiksa, itu saja tidak becus. Saya kira masih banyak lagi masih banyak lagi kasus yang tidak bisa diselesaikan, dan itu tidak terekspos oleh media. Ada benarnya apa yang disampaikan Cak Nun beberapa hari yang lalu bahwa Indonesia sekarang tidak punya keahliaan diplomasi, sebagaimana yang pernah dimiliki oleh presiden RI pertama Ir. Soekarno.

Dos, menjadi pelajaran penting bagi Pemerintah atas semua kasus yang Penulis ungkap diatas. Itupun kalau pemerintah mau belajar dari keselahan. Harga diri sebuah Bangsa mencerminkan kekuatan Negara tersebut. Kalau Negara tersebut dipandang Negara yang kuat, solid dan konsisten atas jatidiri Bangsanya, maka secara otomastis diplomasi Negara tersebut akan diperhitungkan dikanca perpolitikan Internasional. Tinggal Indonesia yang memilih. Apakah akan menjadi Negara yang berwibawa atau menjadi Negara yang selalu dipermainkan harga dirinya oleh Bangsa lain.

Tidak ada komentar:

@abulaka