TKI, Manohara, dan Politik Luar Negeri
Indonesia
Oleh : M. Abu Laka SY *)
Bisa dikatakan sudah melampauhi diatas
ambang nilai-nilai kemanusiaan. Kata-kata itulah yang pantas kita sematkan
kepada pasukan pahlawan devisa Indonesia sekarang. Akhir-akhir ini banyak kasus
yang memprihatinkan dan bahkan mengenaskan yang menimpa buruh migrant Indonesia
/TKI. Seperti yang dialami oleh Siti Hajar, Modesta Rangga Kaka yang baru-baru
ini terekspos oleh media, mereka disiksa, bahkan gajinya tidak dibayar. Belum
lagi TKI di Saudi Arabia. Sepanjang 2009 terjadi 100 kasus yang menimpa TKI Saudi
Arabia, dan 75 persen kasusnya gaji tidak dibayar (Dubes RI untuk Arab Saudi,
Juni 2009). Selebihnya terjadi kasus pelecehan seksual dan penyikasaan.
Apa yang dialami oleh para TKI, dari
dulu sampai sekarang, nampaknya persoalannya sama saja, yaitu penyiksaan, gaji
tidak dibayar, pelecehan seksual, penipuan dan bahkan merenggut nyawa. Padahal
Pemerintahan Indonesia sudah melakukan perbaikan dengan beberapa cara. Secara
hukum Indonesia sudah membuat perjanjian bilateral (MoU) dengan Negara-negara
pemakai jasa TKI. Tidak sebetas jalur formal, pemerintah juga menempuh jalur kultural berupa kontroling melalui
lembaga Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dinegara setempat.
Lantas pertanyaannya mengapa hal ini
tetap terjadi. Apakah ada persolan lain yang belum dicarikan solusinya oleh pemerintah, selain
permsalahan MoU. Atau, jangan-jangan perjanjian yang telah disepakati tidak
mempuyai nilai tawar (bargaining position) untuk menjamin keselamatan
para TKI dari cengkraman majikan yang tidak bertanggung jawab. Saya kira hal
inilah yang perlu diperhatikan oleh semua pihak. Misalkan LSM sebagai lembaga
advokasi, PJTKI sebagai lembaga penyalur, terumtama instansi pemerintah yang
memilki kewenangan mutlak atas pengiriman TKI agar memperbincangkan,
mendiskusikan kembali format perlindungan TKI kedepan.
Dilema
Pahlawan Devisa
Sejatinya masyarakat Indonesia sudah
paham akan resiko-resiko yang sering kali menimpa TKI. Berjuang di Negeri orang
lain, jauh dari keluarga dengan harapan mereka dapat menghasilkan gaji. Dengan
gaji, mereka dapat membahagiakan orang-orang yang ditinggalkan dikampung
halaman. Namun, harapan itu telah sirna, seiring kehidupan tidak berpihak
kepada mereka. Bukannya gaji yang didapat, justru siksaan yang terkadang
berujung pada kematian. Sudah jatuh, ditimpa tangga lagi. Malang nian nasib
TKI.
Sedari mereka sudah menyadari hal itu.
Namun, sudah tidak punya pilihan lain. Dari pada menetap di negeri sendiri,
terus anak-anak, istri-suami, dan orang tua mereka kelaparan setiap hari lantaran
pendapatan tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup. Pada hal masadepan anak-anak
mereka masih panjang. Bagaimana anak-anak mereka mau sekolah, wong makan
saja tidak mencukupi.
Disinilah letak dilema buruh migrant
Indonesia. Mereka dihadapkan dua pilihan hidup yang serba sulit. Satu sisi
mereka pasra dengan kehidupan, tapi masadepan keluarga menjadi tidak jelas. Sisi
lain, mereka harus berjuang dinegeri orang, meskipun nyawa taruannya. Dengan
kata lain, menjadi TKI adalah pilahan yang terpaksa dan memang harus dipilih.
Apa yang saya ilustrasikan ini adanya
indikasi ketimpangan sosial di Negeri ini. Menurut teori sosial, dimana ada
ketimpangan sosial berarti ada proses ketidakadilan yang sedang berjalan–yang
kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Dan proses ketidak adilan tersebut
bagian dari problem yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Alih-alih, problemnya
adalah minimnya lapangan pekerjaan Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS), jumlah penganggur pada Februari 2008 telah tercatat sebesar 9,43 juta orang.
Lanjut, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) memproyeksikan angka pengangguran pada 2009 akan meningkat 1,5 persen.
Fakta tersebut menunujukan betapa minimnya lapangan kerja yang tersedia di
Negeri ini.
Maka wajar, kalau sampai sekarang 60
juta lebih WNI yang tersebar di Malaysia, Singapura, Malaysia, Arab Saudi,
Kuwait, Taiwan, Amerika Serikat, Hongkong, Korea Selatan dan Jepang, dan Negara
Eropa. Coba bayangkan kalau masyarakat Indonesia tidak memilih mencari nafkah
dinegeri orang lain. Maka betapa banyaknya pengangguran di bumi ibu pertiwi
ini.
Manohara,
Pelajaran Bagi Pemerintah
Selain fenomena TKI ada persoalan lain yang menjadi
catatan penting untuk kipra poltik luar negeri Indonesia di kanca
Internasional. Masih hangat untuk diperbincangkan, bahkan isu ini selalu saja menghiasi
media-media Indonesia dan Malaysia, baik cetak maupun elektronik. Persoalannya
cukup sederhana, dan banyak kalangan mengatakan bahwa kekerasan rumah tangga
(KDRT) yang dialami Manohara Odelia Pinot dengan atas suaminya Tengku
Muhammad Fhakhri, Pangeran Kelantan, Malayasia adalah persolaan keluarga.
Namun, anggapan tersebut terbantahkan
ketika Manohara melepaskan diri dari cengkraman keluarga kelantan. Sehingga setelah
datang ke Indonesia, Manohara bisa mengungkapkan apa yang dialaminya melalui jumpa
pers. Ternyata yang dialami Manohara bukan lagi sekedar KDRT, tapi ada
perampasan hak kemerdekan individu, seperti tidak boleh menelpon keluarga dan
tidak dizinkan bertemu dengan ibu. Saya tidak sedang mempersoalkan bagaimana
bentuk kasus Manohara, tapi yang Penulis potret dalam ulasan ini bagaimana
perlindungan HAM WNI di luar negeri.
Betapa lemahnya sistem pemerintahan
untuk melindungi warganya dari ancaman pelanggaran HAM. Sehingga sekelas KBRI
yang dikomandani oleh Da’i Bachtiar yang sudah melakukan pendekatan diplomatis dengan
cara mengirimkan surat kepada pihak kerajaan Kelantan, tetap saja tidak
berhasil. Alhasil, Manohara bisa melarikan diri dengan bantuan Sabri, kerabat
kelantan dan bantuan Kepolisian Singapura. Dengan demikian terlepasnya Manohara
bukan hasil dari diplomasi pemerintah dengan Kerajaan Kelantan.
Sejauh pandangan Penulis, TKI saja
yang jelas perlindungan HAM mereka yang sudah diatur pemerintah melalui MoU,
itu saja masih mengalami tragedi menyedihkan. Apa lagi WNI non-TKI yang sistem
perlindungan HAM nya diluar negeri belum diatur. Sebagaimana yang pernah
disampaikan oleh Komisioner Komnas HAM Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan,
Nurkholis bahwa Indonesia belum punya format yang jelas bagaimana melindingi
warganya yang non TKI diluar negeri. Kenyataan ini hingga menuntut Komnas untuk
terlibat menulusuri kasus tewasnya mahasiswa Indonesia di Singapura David
Hartanto Widjaja.
Apa yang dapat kita cermati dalam
kasus ini, bahwa betapa lemahnya diplomasi Indonesia dikanca Internasional. Sampai-sampai
mengurusi kasus ambalat, Manohara, David, dan TKI yang disiksa, itu saja tidak
becus. Saya kira masih banyak lagi masih banyak lagi kasus yang tidak bisa
diselesaikan, dan itu tidak terekspos oleh media. Ada benarnya apa yang
disampaikan Cak Nun beberapa hari yang lalu bahwa Indonesia sekarang tidak
punya keahliaan diplomasi, sebagaimana yang pernah dimiliki oleh presiden RI
pertama Ir. Soekarno.
Dos, menjadi pelajaran penting bagi
Pemerintah atas semua kasus yang Penulis ungkap diatas. Itupun kalau pemerintah
mau belajar dari keselahan. Harga diri sebuah Bangsa mencerminkan kekuatan
Negara tersebut. Kalau Negara tersebut dipandang Negara yang kuat, solid dan
konsisten atas jatidiri Bangsanya, maka secara otomastis diplomasi Negara tersebut
akan diperhitungkan dikanca perpolitikan Internasional. Tinggal Indonesia yang
memilih. Apakah akan menjadi Negara yang berwibawa atau menjadi Negara yang
selalu dipermainkan harga dirinya oleh Bangsa lain.
Tidak ada komentar: