Oleh: Abu laka*
Anak
adalah invetasi masa depan Bangsa. Majunya suatu Negara ditentukan oleh
kualitas generasi mudanya. Sedangkan generasi muda tergantung kondisi anak-anak
hari ini. Dengan demikian anak jalanan merupakan asset berharga Negara yang seharusnya
diperdayakan, dirawat dan didik agar nilai gunanya semakin tinggi. Namun,
faktanya tidak demikian.
Fakta di atas bukan
tanpa alasan. Mari kita amati, pada tahun 2010, menurut
data kompas jumlah anak jalanan di Indonesia mencapai angka 200.00 dan sekarang
(2012) meningkat 230.00 anak. Itu artinya jumlah anak jalanan semakin meningkat
dari tahun ke tahun. Setiap saat anak
jalanan akan berhadapan dengan situasi yang mengancam ketenangan, keselamatan dan harga diri
sebagai manusia yang juga memiliki hak seperti anak-anak seusia mereka. Keadaan
tersebut bisa saja eksploitasi, diskriminasi, kekerasan seksual dan kejahatan
lain yang merugikan anak jalanan.
Hak
yang Terampas
Kita
tentu masih ingat kasus yang menimpa
Ardiansyah, hidup bocah laki-laki berusia 9 tahun ini berakhir dengan tragis
sebagai korban mutilasi pada bulan Januari 2010. Pelaku adalah laki-laki
bernama Bayquni alias Babeh yang lama dikenal sebagai figur ayah yang sering
membagikan makanan dan menyediakan tempat tinggal bagi anak-anak jalanan. Lebih
mengagetkan lagi atas pengakuannya sudah melakukan sebanyak 14 kasus
permerkosaan dan pembunuhan terhadap anak-anak tersebut.
Dari peristiwa
tersebut dapat kita pahami betapa mudahnya melakukan tindak kejahatan terhadap
anak jalanan, yang notabene Babeh seorang yang dekat dengan dunia anak-anak.
Hal itu menggambarkan pula betapa mudanya ancaman kejahatan yang bakal menimpa
anak jalanan. Fakta inilah membuat semua orang miris terhadap anak jalanan di
Negara yang konon sudah maju, kaya dan berpendidikan tinggi. Namun, kenyataannya
yang kita lihat persoalan anak jalanan belum juga bisa diatasi secara maksimal.
Berbicara anak
jalanan, secara tidak langsung akan dihadapkan pada realitas anak-anak yang
tidak mendapatkan haknya sebagaimana yang dituangkan pemerintah dalam UU No. 23/2002. Selanjutnya pemerintah menunjuk
lembaga Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai
pelaksana tugas Negara untuk melindungi hak-hak anak Indonesia.
Hak-hak anak,
diantaranya memperoleh pendidikan, kesehatan, ketenangan dan keselamatan dari
berbagai ancaman. Tentunya semua hak itu sulit didapatkan anak jalanan, karenan
anak jelanan identik dengan anak terlantar dari (hak-hak) kehidupan layak. Dos,
semakin besar jumlah anak jalanan di Indonesia, maka semakin tinggi angka putus
sekolah. Sisi lain, untuk memperbaiki kualitas generasi muda, maka instrumen
penting yang perlu dijaga adalah pendidikan masa kanak-kanak. Pada masa
tersebut adalah siklus pembentukan karakter seseorang. Lantas, bagaimana SDM
kaum muda 10 atau 20 tahun kedepan, jika anak jalanan di Indonesia semakin
bertambah.
Perlu
Gerakan Bersama
Banyak
faktor yang menjadi variabel dari fenomena Permasalahan anak jalanan tersebut.
Bagi Nugroho untuk mengatasi problem anak jalanan tersebut. Secara umum ada
tiga pendekatanyang di tawarkan. Pertama,
pendekatan Penghapusan (Abolition), yang berupaya menghapus gejala anak jalanan
secara radikal dan menyeluruh. Kedua,
Pendekatan Perlindungan (Protection) yang berupaya melindungi hak-hak anak
jalanan seperti juga hak-hak anak lainnya dengan tidak berpotensi menghapus
anak jalanan. Ketiga, Pendekatan
Pemberdayaan (empowerment) yang berupaya mereduksi jumlah anak jalanan dengan
cara memberdayakan mereka supaya berfikir kritis, baik secara ekonomi, sosial, budaya
dan politik.
Angin segar datang dari pemerintah, baru-baru ini membuat
kebijakan upaya pemenuhan hak anak melalui dokumen Program Nasional Bagi Anak
Indonesia (PNBAI) 2015. PNBAI 2015 dikembangkan berlandaskan pada beberapa
prinsip dan kebijakan yang telah dikembangkan sebelumnya. Pertama-tama, program
ini dikembangkan dengan berlandaskan pada Undang-undang Dasar 1945 pasal 28b
dan 28c. Landasan kedua adalah Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA).
Selanjutnya, menuntuskan anak jalanan tidak hanya tugas
dari pemerintah. Karena kompleksitasnya akar persoalan anak jalanan, maka cara
mengatasipun harus dari berbagai sudut pandang kehidupan. Artinya, semua elemen
masyarakat mempunyai andil dalam mengatasi problem anak jalanan. Menurut hemat penulis,
gerakan bersama tersebut dapat direalisasikan dalam bentuk langka sederhana. Pertama, pembinaan anak-anak secara
bersama oleh lembaga pemerintah, swasta, ormas, LSM, organisasi agama dan
lembaga lainnya yang bisa diajak kerjasama.
Kedua,
menyediakan anggaran khusus
untuk biaya sekolah anak jalanan. Langkah ini adalah bagian dari kewajiban
pemerintah, namun juga dapat dilakukan oleh masyarakat dengan cara membuat
lembaga khusus penampungan anak jalanan. Melalui langka ini, mereka akan
kembali ke bangku sekolah. Ketiga, Mendidik
mereka dan keluarganya menjadi pengusaha, kemudian menyediakan modal untuk
terus dikembangkan. Solusi ini paling terpenting, karena jika solusi ini
berhasil maka otomatis memutus mata rantai anak jalanan.
Sesungguhnya kunci utama dari persoalan anak jalanan adalah
kemiskinan. Jika kemiskinan bisa diatasi, maka dengan sendirinya anak jalan
akan semakin berkurang. Dari itulah, dalam menyambut peringatan hari anak-anak Indonesia
tidak hanya diisi dengan acara ritual saja. Namun, yang terpenting gerakan
nyata yang berdampak jangka panjang. Alih-alih, harapan Menteri Sosial Salim Segaf Al-Jufri, yaitu pada 2014 atau
saat masa berakhirnya Kabinet Indonesia Bersatu II, Indonesia akan terbebas
dari anak jalanan tidak hanya mimpi, tapi sebuah
kenyataan. Semoga
Dimuat
di Opini Suara Karya
Jakarta,
16 Juli 2012
Tidak ada komentar: