Selamatkan Masa Depan Anak Jalanan (refleksi hari anak-anak Indonesia 1 Juli 2012) - Abulaka Archaida

Rabu, 21 September 2016

Selamatkan Masa Depan Anak Jalanan (refleksi hari anak-anak Indonesia 1 Juli 2012)


Oleh: Abu laka*
Anak adalah invetasi masa depan Bangsa. Majunya suatu Negara ditentukan oleh kualitas generasi mudanya. Sedangkan generasi muda tergantung kondisi anak-anak hari ini. Dengan demikian anak jalanan merupakan asset berharga Negara yang seharusnya diperdayakan, dirawat dan didik agar nilai gunanya semakin tinggi. Namun, faktanya tidak demikian.

Fakta di atas bukan tanpa alasan. Mari kita amati, pada tahun 2010, menurut data kompas jumlah anak jalanan di Indonesia mencapai angka 200.00 dan sekarang (2012) meningkat 230.00 anak. Itu artinya jumlah anak jalanan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Setiap saat anak jalanan akan berhadapan dengan situasi yang mengancam  ketenangan, keselamatan dan harga diri sebagai manusia yang juga memiliki hak seperti anak-anak seusia mereka. Keadaan tersebut bisa saja eksploitasi, diskriminasi, kekerasan seksual dan kejahatan lain yang merugikan anak jalanan.

Hak yang Terampas
Kita tentu masih ingat  kasus yang menimpa Ardiansyah, hidup bocah laki-laki berusia 9 tahun ini berakhir dengan tragis sebagai korban mutilasi pada bulan Januari 2010. Pelaku adalah laki-laki bernama Bayquni alias Babeh yang lama dikenal sebagai figur ayah yang sering membagikan makanan dan menyediakan tempat tinggal bagi anak-anak jalanan. Lebih mengagetkan lagi atas pengakuannya sudah melakukan sebanyak 14 kasus permerkosaan dan pembunuhan terhadap anak-anak tersebut.

Dari peristiwa tersebut dapat kita pahami betapa mudahnya melakukan tindak kejahatan terhadap anak jalanan, yang notabene Babeh seorang yang dekat dengan dunia anak-anak. Hal itu menggambarkan pula betapa mudanya ancaman kejahatan yang bakal menimpa anak jalanan. Fakta inilah membuat semua orang miris terhadap anak jalanan di Negara yang konon sudah maju, kaya dan berpendidikan tinggi. Namun, kenyataannya yang kita lihat persoalan anak jalanan belum juga bisa diatasi secara maksimal.

Berbicara anak jalanan, secara tidak langsung akan dihadapkan pada realitas anak-anak yang tidak mendapatkan haknya sebagaimana yang dituangkan pemerintah dalam UU No. 23/2002. Selanjutnya pemerintah menunjuk lembaga Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai pelaksana tugas Negara untuk melindungi hak-hak anak Indonesia.

Hak-hak anak, diantaranya memperoleh pendidikan, kesehatan, ketenangan dan keselamatan dari berbagai ancaman. Tentunya semua hak itu sulit didapatkan anak jalanan, karenan anak jelanan identik dengan anak terlantar dari (hak-hak) kehidupan layak. Dos, semakin besar jumlah anak jalanan di Indonesia, maka semakin tinggi angka putus sekolah. Sisi lain, untuk memperbaiki kualitas generasi muda, maka instrumen penting yang perlu dijaga adalah pendidikan masa kanak-kanak. Pada masa tersebut adalah siklus pembentukan karakter seseorang. Lantas, bagaimana SDM kaum muda 10 atau 20 tahun kedepan, jika anak jalanan di Indonesia semakin bertambah.

Perlu Gerakan Bersama
Banyak faktor yang menjadi variabel dari fenomena Permasalahan anak jalanan tersebut. Bagi Nugroho untuk mengatasi problem anak jalanan tersebut. Secara umum ada tiga pendekatanyang di tawarkan. Pertama, pendekatan Penghapusan (Abolition), yang berupaya menghapus gejala anak jalanan secara radikal dan menyeluruh. Kedua, Pendekatan Perlindungan (Protection) yang berupaya melindungi hak-hak anak jalanan seperti juga hak-hak anak lainnya dengan tidak berpotensi menghapus anak jalanan. Ketiga, Pendekatan Pemberdayaan (empowerment) yang berupaya mereduksi jumlah anak jalanan dengan cara memberdayakan mereka supaya berfikir kritis, baik secara ekonomi, sosial, budaya dan politik.

Angin segar datang dari pemerintah, baru-baru ini membuat kebijakan upaya pemenuhan hak anak melalui dokumen Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015. PNBAI 2015 dikembangkan berlandaskan pada beberapa prinsip dan kebijakan yang telah dikembangkan sebelumnya. Pertama-tama, program ini dikembangkan dengan berlandaskan pada Undang-undang Dasar 1945 pasal 28b dan 28c. Landasan kedua adalah Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA).

Selanjutnya, menuntuskan anak jalanan tidak hanya tugas dari pemerintah. Karena kompleksitasnya akar persoalan anak jalanan, maka cara mengatasipun harus dari berbagai sudut pandang kehidupan. Artinya, semua elemen masyarakat mempunyai andil dalam mengatasi problem anak jalanan. Menurut hemat penulis, gerakan bersama tersebut dapat direalisasikan dalam bentuk langka sederhana. Pertama, pembinaan anak-anak secara bersama oleh lembaga pemerintah, swasta, ormas, LSM, organisasi agama dan lembaga lainnya yang bisa diajak kerjasama.

Kedua, menyediakan anggaran khusus untuk biaya sekolah anak jalanan. Langkah ini adalah bagian dari kewajiban pemerintah, namun juga dapat dilakukan oleh masyarakat dengan cara membuat lembaga khusus penampungan anak jalanan. Melalui langka ini, mereka akan kembali ke bangku sekolah. Ketiga, Mendidik mereka dan keluarganya menjadi pengusaha, kemudian menyediakan modal untuk terus dikembangkan. Solusi ini paling terpenting, karena jika solusi ini berhasil maka otomatis memutus mata rantai anak jalanan.

Sesungguhnya kunci utama dari persoalan anak jalanan adalah kemiskinan. Jika kemiskinan bisa diatasi, maka dengan sendirinya anak jalan akan semakin berkurang. Dari itulah, dalam menyambut peringatan hari anak-anak Indonesia tidak hanya diisi dengan acara ritual saja. Namun, yang terpenting gerakan nyata yang berdampak jangka panjang. Alih-alih, harapan Menteri Sosial Salim Segaf Al-Jufri, yaitu pada 2014 atau saat masa berakhirnya Kabinet Indonesia Bersatu II, Indonesia akan terbebas dari anak jalanan tidak hanya mimpi, tapi sebuah kenyataan. Semoga
Dimuat di Opini Suara Karya
Jakarta, 16 Juli 2012


Tidak ada komentar:

@abulaka