![]() |
Menikmati mentari pagi di pos 2 Gunung Lawu |
Saat aku menulis oretan ini waktu menunjukan
jam 00.00. Bermalam (camp) menjelang pos dua, meskipun sudah dekat, tapi kami
memutuskan berhenti, karena ada teman yang tidak kuat lagi melanjutkan
perjalanan. Terlintas di benakku, mungkin moment-moment inilah kebersamaan akan
diuji. Setelah rembuk, akhirnya semua sepekat ngecamp sebelum pos dua. Ini
perjalanan aku ke gunung yang perdana.
Peristiwa bersejarah ini akan aku abadikan
dalam bentuk tulisan–begitu imajinasiku ketika ada keinginan mendaki gunung–
mengisahkan sedikit mengapa aku harus naik gunung. Banyak pernak pernik
kehidupan yang aku lalui dalam kehidupan nyata. Aku bersentuhan dengan
fasilitas-falitas yang serbah instan, dunia populeritas, pertikaian, intrik,
hormat menghormati dan saling paham-memahami.
Dari dulu aku tidak pernah naik gunung,
sedikit ada rasa takut, nanti mengalami sesuatu yang tidak diinginkan, karena
banyak cita-cita yang belum direalisasikan, he..sok banyak cita-cita dan takut
banget sich sama mati. Namun, setelah aku sedikit memahamni filosofi naik
gunung, aku sedikit tertarik.
Hidup itu harus seimbang. Sebagaimana yang
dikatakan para semurai hidup harus seimbang. Di antara ada kekejaman dalam
menghadapi musuh dan kecepatan dalam diri seorang semurai dalam memainkan
pedang, tapi mereka juga punya kelembutan melalui saling berbagi cinta-kasih
atas sesama. Itulah mengapa bagi seorang semurai ketidakseimbangan adalah
kematian bagi merka. Naik gunung bagi aku salah satu realisasi dari menjaga
keseimbangan hidup. Karena naik gunung kita melepas semua dinamika
kehidupan,yang ada kita menyatu dengan alam, menghormati segala yang ada dalam
hutan raya.
Bagi Soe Hok Gie naik
gunung itu melatih melawan kesulitan. Ini menjadi penting bagi para calon
pemimpin dalam menaklukan kesulitan. Ketika Seseorang sudah berani naik gunung,
bagi aku mungkin saja dia bisa dikatakan orang pembrani. Pada hakikatnya semua
orang itu mengalami rasa takut. Seserang akan menjadi pembrani manakala ia mampu
menaklukan rasa takut itu.
Begitulah Mbah Marijan memaknai rasa
pembrani. Sesungguhnya ada rasa takut ketika harus menjaga dan mengamati
aktivitas gunung merapi, tapi takut itu dilawan. Itulah petuah Mbah Marijan
yang bisa kita pelajari sebagai bekal menjalani kehidupan, termasuk untuk naik
gunung.
Selama naik gunung
banyak kesulitan yang akan dialami, kita akan merasakan kesenangan ketika sudah
di puncak. Begitulah kehidupan harus mengalami perjuangan menaklukan kesulitan
dulu baru kemudian kita akan memetik kesenangan. Begitu juga menjadi pemimpin
harus mengalami banyak kesulitan, dan pausa dari semua kesenangan. Jika kita
memanjakan diri kemungkinan tidak akan
sampai puncak, karena tubuh tidak kuat. begitu juga manusia ada siklusnya
(ruang dan waktu). Ada kalanya kita berjuang melawan tantangan dan perlu
mengorbankan bagi kita itu enak untuk dijalani, siklus selanjutnya ada masanya
kita akan memetik semua yang sudah kita lakukan. PERCAYALA ITU, karena semuanya
hukum alam.
Gie juga mengatakan bahwa
naik gunung akan mengetahui orang itu egois atau tidak, ini artinya kita
dilatih agar hidup bersama dan saling berbagi. Dalam menempuh perjalanan hidup
dibutuhkan kebersamaan, dan itu tercipta dalam tim. Jika dikaitan dalam
kehidupan nyata, sebuah tim pendakian gunung itu ibarat komunitas. Dalam
mencapai tujuan (visi) komunitas, maka di dalamnya harus ada rasa kebersmaan,
kekompakan, dan saling mengerti.
Selanjutnya Gie
mengatakan tujuan naik gunung biar dekat dengan masyarakat (pedalaman). Bisa
dipahami kita harus merakyat. Ini semua terdapat dalam filosofi kepemimpinan.
Makna ini akan kita jumpai ketika melakukan perjalanan menuju lokasi gunung.
Dalam perjalanan itu tentunya kita akan bertemu masyarakat sekitar lereng
gunung tersebut. Pada moment itulah kita akan merasakan bagaimana kehidupan
orang-orang desa jauh dari keramaian, fasilitas mewah, dan pernak-pernik kota.
Secara otomatis kesadaran itu akan masuk ke relung memori otak yang akan
direspon oleh kesadaran sosial yang akan dicerna dalam sebuah tindakan, yaitu
melakukan aksi sosial atau paling tidak mempunyai kesadaran sosial atas sesama.
Alasan terakhir yang Gie
katakan kepada mahasiswa UI ketika mengajak mereka naik gunung adalah biar kita
menjadi orang tertinggi di pulau Jawa, jangan Soeharto terus menjadi orang
tertinggi. Pemaknaan ini dapat kita pahami, agar cakrawala kita terbuka untuk
berfikir menjadi orang berguna bagi bangsa ini. Dengan demikian ketikan sudah
sampai di puncak, tentu dalam benak kita banyak harapan yang akan disampaikan
pada Tuhan melalui alam semesta. Bisa saja ada orang yang sekedar menuliskan
nama kekasaihnya ketika berada di puncak, mengambilkan sepucuk bunga edelwis
(keabadian) sebagai media menyatakan perasaan terhadap wanita pujaannya. Dan di
atas puncak juga kita akan termotivasi mengungkapka cita-cita besar dalam hidup.
Kebersamaan saat di puncak |
Melaui proses itu seseorang akan mengalami
evolusi dalam berfikir dan bertindak ketika ia benar-benar mamaknai filosofi
ini. Jika anda ingin menjadi orang besar, maka berfikirlah (berimpi) besar,
terbiasalah menyelesaikan persoalan besar dan seringlah kumpul
(bersilaturrahmi) dengan orang-orang besar (punya pengaruh). Mungkin saja
berada di puncak gunung merupakan media efektif untuk membentuk polah pikir
seseorang untuk selalu berfikir besar. Bisa saja begitu. Jika anda ingin
membuktikan, silahkan anda naik gunung!!! he....provokasi....
Melalui pendakian ini juga kita akan
diajarkan bagimana peduli terhadap hal-hal yang di sekitar. Karena ketika dalam
perjalanan dianjurkan tidak melakukan hal-hal yang merusak, bisa dipahami bahwa
kesadaran sosial harus terbentuk, karena itu bentuk kepedulian kita terhadap
sesama termasuk pada benda yang ada di
dunia ini.
Selanjutnya, hikmah yang
bisa aku petik adalah melakukan ziarah ke petilasan (tempat bertapa) bahkan ada
yang bilang makam Brawija Pemungkas. Brawijaya Pemungkas raja ke-V dari
kerajaan Majapahit alias raja terakhir. Sejarah mengatakan bahwa beliau bersemedi
terkhir di Gunung Lawu dengan tujuan untuk menghindari dari keramaian menuju
kesucian jwa dan manjahui godaan dunia yang berujung pada kesengsaraan. Inilah
bebarapa alasan membuat aku harus mencoba naik gunung. Berharap semua itu aku
dapatkan dalam perjalanan perdana ini. Aku harus berani dalam menjalani
tantangan hidup, terbentuk manusia sosial, terbiasa menempuh kesusahan, dan
mempunyai cita-cita besar. Semoga.
Pos Dua Gunug Lawu,
15 Desember 2013
Jam 00. 00-00.50
Ttd
Abulaka Archaida
Tidak ada komentar: