Catatan Pendakian Gunung Lawu (edisi I) - Abulaka Archaida

Selasa, 25 Oktober 2016

Catatan Pendakian Gunung Lawu (edisi I)


Menikmati mentari pagi di pos 2 Gunung Lawu

Saat aku menulis oretan ini waktu menunjukan jam 00.00. Bermalam (camp) menjelang pos dua, meskipun sudah dekat, tapi kami memutuskan berhenti, karena ada teman yang tidak kuat lagi melanjutkan perjalanan. Terlintas di benakku, mungkin moment-moment inilah kebersamaan akan diuji. Setelah rembuk, akhirnya semua sepekat ngecamp sebelum pos dua. Ini perjalanan aku ke gunung yang perdana.


Peristiwa bersejarah ini akan aku abadikan dalam bentuk tulisan–begitu imajinasiku ketika ada keinginan mendaki gunung– mengisahkan sedikit mengapa aku harus naik gunung. Banyak pernak pernik kehidupan yang aku lalui dalam kehidupan nyata. Aku bersentuhan dengan fasilitas-falitas yang serbah instan, dunia populeritas, pertikaian, intrik, hormat menghormati dan saling paham-memahami.

Dari dulu aku tidak pernah naik gunung, sedikit ada rasa takut, nanti mengalami sesuatu yang tidak diinginkan, karena banyak cita-cita yang belum direalisasikan, he..sok banyak cita-cita dan takut banget sich sama mati. Namun, setelah aku sedikit memahamni filosofi naik gunung, aku sedikit tertarik.

Hidup itu harus seimbang. Sebagaimana yang dikatakan para semurai hidup harus seimbang. Di antara ada kekejaman dalam menghadapi musuh dan kecepatan dalam diri seorang semurai dalam memainkan pedang, tapi mereka juga punya kelembutan melalui saling berbagi cinta-kasih atas sesama. Itulah mengapa bagi seorang semurai ketidakseimbangan adalah kematian bagi merka. Naik gunung bagi aku salah satu realisasi dari menjaga keseimbangan hidup. Karena naik gunung kita melepas semua dinamika kehidupan,yang ada kita menyatu dengan alam, menghormati segala yang ada dalam hutan raya.
 
Awal pemberangkatan menuju puncak lawu
     Bagi Soe Hok Gie naik gunung itu melatih melawan kesulitan. Ini menjadi penting bagi para calon pemimpin dalam menaklukan kesulitan. Ketika Seseorang sudah berani naik gunung, bagi aku mungkin saja dia bisa dikatakan orang pembrani. Pada hakikatnya semua orang itu mengalami rasa takut. Seserang akan menjadi pembrani manakala ia mampu menaklukan rasa takut itu.

Begitulah Mbah Marijan memaknai rasa pembrani. Sesungguhnya ada rasa takut ketika harus menjaga dan mengamati aktivitas gunung merapi, tapi takut itu dilawan. Itulah petuah Mbah Marijan yang bisa kita pelajari sebagai bekal menjalani kehidupan, termasuk untuk naik gunung.

                        Selama naik gunung banyak kesulitan yang akan dialami, kita akan merasakan kesenangan ketika sudah di puncak. Begitulah kehidupan harus mengalami perjuangan menaklukan kesulitan dulu baru kemudian kita akan memetik kesenangan. Begitu juga menjadi pemimpin harus mengalami banyak kesulitan, dan pausa dari semua kesenangan. Jika kita memanjakan diri  kemungkinan tidak akan sampai puncak, karena tubuh tidak kuat. begitu juga manusia ada siklusnya (ruang dan waktu). Ada kalanya kita berjuang melawan tantangan dan perlu mengorbankan bagi kita itu enak untuk dijalani, siklus selanjutnya ada masanya kita akan memetik semua yang sudah kita lakukan. PERCAYALA ITU, karena semuanya hukum alam.

                        Gie juga mengatakan bahwa naik gunung akan mengetahui orang itu egois atau tidak, ini artinya kita dilatih agar hidup bersama dan saling berbagi. Dalam menempuh perjalanan hidup dibutuhkan kebersamaan, dan itu tercipta dalam tim. Jika dikaitan dalam kehidupan nyata, sebuah tim pendakian gunung itu ibarat komunitas. Dalam mencapai tujuan (visi) komunitas, maka di dalamnya harus ada rasa kebersmaan, kekompakan, dan saling mengerti.

        Selanjutnya Gie mengatakan tujuan naik gunung biar dekat dengan masyarakat (pedalaman). Bisa dipahami kita harus merakyat. Ini semua terdapat dalam filosofi kepemimpinan. Makna ini akan kita jumpai ketika melakukan perjalanan menuju lokasi gunung. Dalam perjalanan itu tentunya kita akan bertemu masyarakat sekitar lereng gunung tersebut. Pada moment itulah kita akan merasakan bagaimana kehidupan orang-orang desa jauh dari keramaian, fasilitas mewah, dan pernak-pernik kota. Secara otomatis kesadaran itu akan masuk ke relung memori otak yang akan direspon oleh kesadaran sosial yang akan dicerna dalam sebuah tindakan, yaitu melakukan aksi sosial atau paling tidak mempunyai kesadaran sosial atas sesama.

       Alasan terakhir yang Gie katakan kepada mahasiswa UI ketika mengajak mereka naik gunung adalah biar kita menjadi orang tertinggi di pulau Jawa, jangan Soeharto terus menjadi orang tertinggi. Pemaknaan ini dapat kita pahami, agar cakrawala kita terbuka untuk berfikir menjadi orang berguna bagi bangsa ini. Dengan demikian ketikan sudah sampai di puncak, tentu dalam benak kita banyak harapan yang akan disampaikan pada Tuhan melalui alam semesta. Bisa saja ada orang yang sekedar menuliskan nama kekasaihnya ketika berada di puncak, mengambilkan sepucuk bunga edelwis (keabadian) sebagai media menyatakan perasaan terhadap wanita pujaannya. Dan di atas puncak juga kita akan termotivasi mengungkapka cita-cita besar  dalam hidup.
Kebersamaan saat di puncak

Melaui proses itu seseorang akan mengalami evolusi dalam berfikir dan bertindak ketika ia benar-benar mamaknai filosofi ini. Jika anda ingin menjadi orang besar, maka berfikirlah (berimpi) besar, terbiasalah menyelesaikan persoalan besar dan seringlah kumpul (bersilaturrahmi) dengan orang-orang besar (punya pengaruh). Mungkin saja berada di puncak gunung merupakan media efektif untuk membentuk polah pikir seseorang untuk selalu berfikir besar. Bisa saja begitu. Jika anda ingin membuktikan, silahkan anda naik gunung!!! he....provokasi....

            Melalui pendakian ini juga kita akan diajarkan bagimana peduli terhadap hal-hal yang di sekitar. Karena ketika dalam perjalanan dianjurkan tidak melakukan hal-hal yang merusak, bisa dipahami bahwa kesadaran sosial harus terbentuk, karena itu bentuk kepedulian kita terhadap sesama  termasuk pada benda yang ada di dunia ini.

             Selanjutnya, hikmah yang bisa aku petik adalah melakukan ziarah ke petilasan (tempat bertapa) bahkan ada yang bilang makam Brawija Pemungkas. Brawijaya Pemungkas raja ke-V dari kerajaan Majapahit alias raja terakhir. Sejarah mengatakan bahwa beliau bersemedi terkhir di Gunung Lawu dengan tujuan untuk menghindari dari keramaian menuju kesucian jwa dan manjahui godaan dunia yang berujung pada kesengsaraan. Inilah bebarapa alasan membuat aku harus mencoba naik gunung. Berharap semua itu aku dapatkan dalam perjalanan perdana ini. Aku harus berani dalam menjalani tantangan hidup, terbentuk manusia sosial, terbiasa menempuh kesusahan, dan mempunyai cita-cita besar. Semoga.

Pos Dua Gunug Lawu, 15 Desember 2013
Jam 00. 00-00.50
Ttd


Abulaka Archaida

Tidak ada komentar:

@abulaka