Mempertahankan Kearifan Lokal ditengah Arus Global - Abulaka Archaida

Rabu, 21 September 2016

Mempertahankan Kearifan Lokal ditengah Arus Global



Judul Buku      : Samin Kudus : Bersahaja Ditengah Asketisme Lokal
Penulis             : Moh. Rosyid, M. Pd
Penerbit           : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan           : I, Desember 2008
Tebal               : xvi + 247 halaman
Peresensi         : M. Abu Laka SY *)

Budaya lokal makin terkikis seiring derasnya laju globalisasi melanda di negeri pertiwi ini. Gaya kehidupan (live style) masyarakat semakin condong kebarat-baratan. Tidak luput maind-set masyarakatpun tercekoki doktrin globalisasi. sehingga selama ini hukum sosial lebih ngugemi komunitas yang bertahan hidup adalah mereka yang paling cepat (the survival of the fastest) dalam mensikapi kehidupan dan yang bertahan dialah yang paling (mempunyai) kekuatan  (the survival of the fittest). Namun dalam konteks Samin Kudus yang bertahan ternyata merekalah yang paling bersahaja (the survival of the ascetism).
Sepenggal fenomena diatas tertuang dalam bukunya Moh. Rosyid yang berjudul Samin Kudus : Bersahaja Ditengah Asketisme Lokal. Menurut Penulis Komunitas Samin Kudus adalah realitas komunitas yang masih mampuh mempertahankan budaya kearifan lokal (local widom). Meskipun hidup dipusaran modernisme yang notabane budaya barat, mereka tetap mempertahan nilai-nilai budaya yang diwariskan oleh Nenek moyang mereka.Komunitas Samin Kudus tersebut berbasis di tiga daerah, yakni Desa Kutuk, Desa Karangrowo, Dukuh Kaliyoso, dan Desa Larekrerjo  Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.

Pada dasarnya, istilah Samin berawal dari berkembangnya ajaran Samin yang dipelopori oleh Kiai Samin Surosentiko pada tahun 1890. Setelah banyak pengikut, mereka menentang terhadap pemerintahan kolonial dengan cara tidak membayar pajak di wilayah jajahan Belanda. Dengan action mereka itulah pada periode tahun 1903-1905 aparat desa di Wilayah Blora bagian selatan dan wilayah Bojonegoro memberikan istlah Samin atau masyarakat umum menyebutnya “nyamen” yang berarti perbuatan yang menyalahi tradisi-kebiasaan. Fakta inilah sebagian sumber sejarah mengatakan sebagai embrio Samin pertama.

Namun, bagi masyarakat Samin Kudus sendiri, kata “samin” memiliki makna “sama” yang berarti kesejahteraan akan tercapai ketika semua anak cucu bersama-sama melawan penjajah. Kemudian, agar terhindar dari tendensi negatif untuk anak cucunya nanti, maka mereka mengganti dengan sebutan sedulur sikep yang bagi mereka banyak nilai filosofisnya. Seperti kata “sikep”, mereka menganggap bahwa lahirnya manusia didunia berawal dari proses “sikep” atau berdekapan atau proses menanak nasi secara tradisional adalah melalui proses “nyikep”.

Menurut Penulis, apa yang ia hendak sampaikan dalam buku ini sebenarnya bukan sejarah masyarakat Samin secara mendetail. Namun, secara eksplisit Penulis menyampaikan pesan moral dalam konteks zaman kekinian (modern) yang semuanya serba diukur dengan materi dan kecanggian tegnologi. Budaya peninggalan nenek moyang sudah tidak lagi menjadi roh dalam interaksi sehari-hari. Sehingga mind-set masyarakat sekarang sudah mencapai “titik klimak” tercerabut dari akar budayanya. Hal tersebut  terpotret pada statement- statement yang sering muncul di masyarakat kalangan kaula muda, “kuno kamu” masih melaksanakan budaya-budaya lama dan tidak mengikuti perkembangan zaman.
Bagi penulis, era globalisasi yang sarat dengan inovasi merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap Negara bangsa (nations state). Akan tetapi, lanjut penulis, tidak serta merta lepas kendali dari akar tradisi (culture). Itulah sebabnya, manusia sudah seharusnya paham tentang akar sejarah (man in history), sebaliknya jangan sampai terpisah dari akar sejarahnya (man and history).

Setidaknya ada beberapa Pesan moral yang hendak yang terangkum dalam buku ini. Dianataranya bahwa sesuatu (golongan/komunitas/masyararakat) yang kita pandang buruk, ternyata tidak selamanya buruk. Seperti image masyarakat umum bahwa masyarakat Samin identik dengan gerakan nyeleneh, menentang pajak, tidak bergaul dengan masyarakat luar dan simbol negatif lainnya. Semua anggapan tersebut termentahkan apa yang dirasakan oleh penulis ketika berinteraksi selama panelitian bahwa satu hal yang dapat dijadikan tauladan dari mareka (masyarakat Samin) adalah perilaku sosialnya sangat bernilai tinggi berupa kejujuran, ketidakangkuhan, dibandingkan dengan sebagian orang yang berpendidikan tinggi, pengalaman yang numpuk, akan tetapi tidak jujur, arogan dan simbol negatif lainnya sebagai perilaku hidup.(hal 8)

Selanujutnya, menampilkan sosok masyarakat yang tetap kokoh mempertahan tradisi kerifan lokal (local wisdom) yang kemudian bisa dijadikan guru kehidupan untuk mendiagnosis polah-pikir masyarakat yang terus mengarah pada materialis, individualis, life style kebarat-baratan, dan konsutif atau glamor. Dalam hal ini, jelas terdapat adanya perbedaan prinsip penilian terhadap kebahagiaan. Versi masyarakat modern diukur dengan kemapanan ekonomi, sedangkan masyarakat Samin Kudus mengukur kebahagiaan jika tercipta interaksi dengan lingkungannya penuh kerukunan, kenyamanan dan meninggalkan konflik. Kata kunci tersebut terekam dalam prinsip ajaran hidup dan prinsip pantangan hidup dengan ungkapan aja pingin kondang, aja pamer, urip sak madya. Ungkapan tersebut bertolak-belakang dengan prinsip modern yakni brain, beautiful and behaviour.

Pelajaran lain yang patut kita panuti adalah ajaran dasar dalam berprinsip diri masyarakat Samin meliputi: kudu weruh te-e dewe, lugu, milgi, dan rukun. Keempat ajaran tersebut patut kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti dalam konsep Kudu weruh te-e dewe yang berarti setiap orang harus memahami barang yang milikinya dan pantang bagi memanfaatkan barang orang lain. Sebagaimana yang disaksikan penulis sewaktu melakukan reportase di rumah Bpk Santoso, warga Samin Desa Larekrejo bahwa ia mengaku pernah ketinggalan lima butir permen (manisan). Ceritanya, dalam perjalanan pulang penulis mendapat SMS dari pak Santoso yang isinya: “Pak Manisane Njenengan teng enggon kulo, (Pak permennya ketinggalan dirumahku)” Tulisnya. Realitas ini bagi penulis berbanding terbalik dengan karakter pejabat birokrat kita sekarang, jangankan permen, duit rakyatpun “disikat”(hal.172).

penulis juga berharap tercipta proses kesadaran untuk menghormati hak kaum minoritas (minority rights). Selama ini, hukum sosial mengatakan bahwa kaum minoritas adalah golongan kedua (the second class) yang terkadang hak-hak mereka dipandang sebelah mata. Langkah tepat yang diambil bukan menjahui mereka, tapi bagaimana kita berkomunikasi dengan mereka melalui pendekatan persuasif. Sehingga kita bisa memahami budaya mereka dan merekapun bisa memahami kita dan mau terbuka dalam memandang tradisi baru untuk kemajuan bersama.

Kehadiran buku ini sangat relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang hampir “terlepas” dari akar budayanya. Meskipun, buku-buku yang membahas tentang pentingnya menjaga dan melestarikan budaya lokal sudah menjamur di pasaran. Namun, setidaknya buku ini akan memperkaya khasanah kebudayaan bangsa yang benar-benar adiluhung. Ditulis dengan metode observasi-partisipan dan wawancara langsung di lapangan, buku ini tentu memiliki nilai plus tersendiri, dibandingkan buku-buku-buku lain yang berbasis analisis.

2009.

Tidak ada komentar:

@abulaka