Judul
Buku : Laku Spiritual Sultan, Langkah
Raja Jawa Menuju Istana
Penulis
: Arwan Tuti Artha
Penerbit
: Galang Press, Yogyakarta
Cetakan
: 1, Januari 2009
Tebal
: 175 halaman
Harga
: 30.000
Peresensi
: M. Abu Laka SY*)
Nampaknya atmosfir pemilihan presiden
(pilpres) tahun 2009 ini berdeda dari pesta demokrasi sebelumnya. Bertepatan
hari sumpah Pemudah 10 Oktober 2008 merupakan sejarah baru dalam tubuh pemerintahan
kesultanan Mataram Islam Yogyakarta. Pada hari itu, melalui medium pisoanan
agung Sultan Hamengkubuono X mendeklarasikan diri menjadi Calon presiden
(Capres) yang disaksikan ribuan masyarakat Yogyakarta di alun-alun utara. Kendatipun
masa jabatannya diperpanjang selama tiga tahun kedepan dengan Keputusan Presiden
(Pilpres) No 86/ P 2008.
Langkah politik yang sudah diambil sultan membuat terkejut semua kalangan,
khususnya masyarakat Yogyakarta yang selama ini diselimuti keraguan atas
desas-desus bahwa Raja mereka akan maju kepanggung poilitk Nasional. Pasca
pendeklarasian Sultan sebagai capres, nama raja Jawa tersebut bak air yang
tumpah ruah dilautan media masa, di rung-ruang seminar, dan tak luput dari para
pengamat politik yang selalu memperbincangkan ihwal pencalonan sultan.
Sebenarnya ada apa dengan pencalonan Sultan, menagapa raja jawa itu berani
meninggalkan singga-sana megahnya, terus laku dan dan lakon apa
yang sudah dilakukan sultan untuk menuju Istana?
Semua pertanyaan tersebut tertuang
dalam bukunya Arwan Tuti Artha yang
berjudul Laku Spiritual Sultan, Langkah Raja Jawa Menuju Istana. Secara
gamblang penulis merangkum jejak spiritual dan langkah-langkah politik yang
sudah ditempuh Ngarso Ndalem menuju kursi RI I. Menurut penulis memang
sulit menjelaskan ketika Raja Keraton Yogyakarta X yang bernama lengkap “Sampeyan
Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga
Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Kaping Sedoso ini mempraktekan
demokrasi dengan ikut andil dalam bursa pencapresan 2009.
Sebagaimana kita ketahui selama
ini–lanjut penulis–konsespsi pemerintahan kerajaan jawa bahwa kekuasaan tidak
bersumber pada kekutatan rakyat, akan tetapi kekuasaan diperoleh dari faktor
keturunan. Bertolak balakang dengan sistem ditingkat pemerintahan pusat,
kekuasaan didapat harus melalui pertarungan yang ketat yang di pilih oleh
rakyat langsung.
Fenomena inilah menurut Penulis menjadi
menarik untuk ditelusuri, diperbincangkan dan didiskusikan. Ketika kekuasaan
sudah pasti menjadi singga-sana yang abadi, namun sultan berani meninggalkan kebesaran
tersebut, meskipun pencolanannya ada konsekuensinya tersendiri–jika kalah semua
masyarakat akan mengatakan dengan nada sedih bahwa raja gagal merbut tahta RI I.
Bagi penulis kondisi ini juga yang melatar belakangi adanya pro dan kontra atas
penacalonan Sultan. Bagi yang kontra, adanya kekhawatiran Sultan kalah dalam
pemilu nanti dan juga ada yang menganggap bahwa Sultan hanya terjebak pada perubatan
kekuasaan dalam ranah politik nasional yang tidak bermartabat. Seperti yang
dikhawitrkan K. H Abdul Muhaimin Pencalonan Sultan menajadi tumbal pembahasan
RUU keistimewahan Yogyakarta. ”Mobilisasi pencalonan hanya gelembung sabun
penumpang gelap” ujar Pengasuh Pondok Pesantren Nueul Umahat, kota Gede. (hal.
120)
Ada pun kondisi masyrakat yang kian
tidak menentu, sepuluh tahun reformasi berlangsung tidak memberikan perubahan
yang berarti. Justru yang terjadi krisis kepercayaan internal elit politik dan
antara masyarakat dengan pemerintahan. Melihat dari realitas diatas, sudah
waktunya indoneseia mempunyai pemimpin yang berjuang untuk rakyatnya dan membawa perubahan yang pasti. Menurut
penulis sosok itulah yang diingkan bagi yang mendukung pecalonan Sultan. Karena
mereka percaya pamerintahan Ngarso Ndalem sudah teruji, kepemimpinan
yang bersih dari korupsi, bertangung jawab, adil dan mengayomi rakyat. Sebagaimana
Sejak dinobatkan sebagai raja Ngayogyakarta Hadiningrat dalam proses
upacara adat yang disebut Jumenengan, pada 1989, Sultan bagi penulis
berulangkali memperjuangkan kepentingan Kawula Mataram pada khususnya
dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Sultan menyadari posisinya sebagai seorang
raja keraton Ngayogyakarta yang terkena aturan sabda pandhita ratu,
apa yang diucapakan raja pantang ditarik kembali. Tentunya ikrar Sultan sebagai
capres sudah melalui laku spiritual yang sangt panjang, sebagaimana
diungkapkan penulis tak jarang Sultan melakukan ritual puasa mute dan
memohon petunjuk kepada yang Maha Kuasa untuk mendapatkan kemantapan apa yang
akan dilakukan Sultan. Kesiapan Sultan maju capres bukanlah perilaku latah yang
terbawa arus dan sekedar tebar pesona. Namun, apa yang diungkap panulis dalam
buku ini sejak arus reformasi bergulir Pemimpin tradisional Yaogkarta tersebut sudah
menunjukan embrio langkah menuju panggung Naional. Seperti simbol perlawan poltik
terhadap rezim orde baru yang dilakukan Sultan melalui pisoanan agung yang
dihadiri jutaan orang di alun-alun utara pada 20 Mei 1998 dalam rangka
menentang rezim orde baru. Momentum itulah yang mempopulerkan nama Sultan
sejajar dengan Gus Dur, Megawati dan Amien Rais.
Diperkuat lagi pertemuan Sultan
bersama Gus Dur, Amien Rais dan Megawati di Ciganjur pada November 1998 yang
kemudian melahirkan deklarasi Ciganjur. Dari peristiwa tersbut Sultan dekukuhkan
sebagai tokoh reformasi yang sejajar dengan tokoh reformasi lainnya. Menurut
dosen Fisipol UGM, A.A. GN. Ari Dwi Payana dalam beberapa tahun terakhir ini
Sultan sudah melebarkan jaringan piltiknya tidak hanya di Jawa, melainkan
meluas sampai seluruh Nusantara. Hal tersbut terlihat dari kegiatan Sultan yang
sering menghadiri peristiwa budaya deberbagai daerah dan peran Sultan dalam
mendamaikan beberapa konflik komunal dan berjumpa dengan masyarakat yang bermigran
diluar Jawa. Tambahnya, semua langkah tersebut merupakan investasi politik yang
dilakukan Sultan yang bisa berbuah pada meningkat popularitas Sultan dalam
setahun terakhir ini. Hal tersebut terbukti hasil dari beberapa survei
menunjukan posisi Sultan cukup bagus, betapa pun sebagai pendatang baru.
Buku ini tidak hanya sebagai panduan
mengungkap jejak spiritual dan jejak politik Sultan, namun juga mengajarkan
perihal sistem budaya lokal yang kita miliki khusunya dilingkungan kerajaan
Jawa. Pada akhirya buku ini menarik untuk dipahami dan layak dibaca semua
kalangan. Ditulis dengan bahasa yang sederhana, anlisis komprehensip dan
didukung data yang valid merupakan nilai plus dari buku ini. Ditambah lagi
Penulis betul-betul menguasai kelimuan budaya jawa, sehingga membuat kita mudah
untuk memahaminya. Dengan membaca buku ini, paling tidak kita bisa tahu dan dapat
memahami falsafah kepeminpinan Jawa.2009
Tidak ada komentar: