Raja Jawa Memenuhi Panggilan Ibu Pertiwi - Abulaka Archaida

Rabu, 21 September 2016

Raja Jawa Memenuhi Panggilan Ibu Pertiwi



Judul Buku      : Laku Spiritual Sultan, Langkah Raja Jawa Menuju Istana
Penulis             : Arwan Tuti Artha
Penerbit           : Galang Press, Yogyakarta
Cetakan           : 1, Januari 2009
Tebal               : 175 halaman
Harga              : 30.000
Peresensi         : M. Abu Laka SY*)

            Nampaknya atmosfir pemilihan presiden (pilpres) tahun 2009 ini berdeda dari pesta demokrasi sebelumnya. Bertepatan hari sumpah Pemudah 10 Oktober 2008 merupakan sejarah baru dalam tubuh pemerintahan kesultanan Mataram Islam Yogyakarta. Pada hari itu, melalui medium pisoanan agung Sultan Hamengkubuono X mendeklarasikan diri menjadi Calon presiden (Capres) yang disaksikan ribuan masyarakat Yogyakarta di alun-alun utara. Kendatipun masa jabatannya diperpanjang selama tiga tahun kedepan dengan Keputusan Presiden (Pilpres) No 86/ P 2008.

Langkah politik yang sudah diambil sultan membuat terkejut semua kalangan, khususnya masyarakat Yogyakarta yang selama ini diselimuti keraguan atas desas-desus bahwa Raja mereka akan maju kepanggung poilitk Nasional. Pasca pendeklarasian Sultan sebagai capres, nama raja Jawa tersebut bak air yang tumpah ruah dilautan media masa, di rung-ruang seminar, dan tak luput dari para pengamat politik yang selalu memperbincangkan ihwal pencalonan sultan. Sebenarnya ada apa dengan pencalonan Sultan, menagapa raja jawa itu berani meninggalkan singga-sana megahnya, terus laku dan dan lakon apa yang sudah dilakukan sultan untuk menuju Istana?

Semua pertanyaan tersebut tertuang dalam bukunya Arwan Tuti  Artha yang berjudul Laku Spiritual Sultan, Langkah Raja Jawa Menuju Istana. Secara gamblang penulis merangkum jejak spiritual dan langkah-langkah politik yang sudah ditempuh Ngarso Ndalem menuju kursi RI I. Menurut penulis memang sulit menjelaskan ketika Raja Keraton Yogyakarta X yang bernama lengkap “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Kaping Sedoso ini mempraktekan demokrasi dengan ikut andil dalam bursa pencapresan 2009.

Sebagaimana kita ketahui selama ini–lanjut penulis–konsespsi pemerintahan kerajaan jawa bahwa kekuasaan tidak bersumber pada kekutatan rakyat, akan tetapi kekuasaan diperoleh dari faktor keturunan. Bertolak balakang dengan sistem ditingkat pemerintahan pusat, kekuasaan didapat harus melalui pertarungan yang ketat yang di pilih oleh rakyat langsung.

Fenomena inilah menurut Penulis menjadi menarik untuk ditelusuri, diperbincangkan dan didiskusikan. Ketika kekuasaan sudah pasti menjadi singga-sana yang abadi, namun sultan berani meninggalkan kebesaran tersebut, meskipun pencolanannya ada konsekuensinya tersendiri–jika kalah semua masyarakat akan mengatakan dengan nada sedih bahwa raja gagal merbut tahta RI I. Bagi penulis kondisi ini juga yang melatar belakangi adanya pro dan kontra atas penacalonan Sultan. Bagi yang kontra, adanya kekhawatiran Sultan kalah dalam pemilu nanti dan juga ada yang menganggap bahwa Sultan hanya terjebak pada perubatan kekuasaan dalam ranah politik nasional yang tidak bermartabat. Seperti yang dikhawitrkan K. H Abdul Muhaimin Pencalonan Sultan menajadi tumbal pembahasan RUU keistimewahan Yogyakarta. ”Mobilisasi pencalonan hanya gelembung sabun penumpang gelap” ujar Pengasuh Pondok Pesantren Nueul Umahat, kota Gede. (hal. 120)

          Ada pun kondisi masyrakat yang kian tidak menentu, sepuluh tahun reformasi berlangsung tidak memberikan perubahan yang berarti. Justru yang terjadi krisis kepercayaan internal elit politik dan antara masyarakat dengan pemerintahan. Melihat dari realitas diatas, sudah waktunya indoneseia mempunyai pemimpin yang berjuang untuk rakyatnya  dan membawa perubahan yang pasti. Menurut penulis sosok itulah yang diingkan bagi yang mendukung pecalonan Sultan. Karena mereka percaya pamerintahan Ngarso Ndalem sudah teruji, kepemimpinan yang bersih dari korupsi, bertangung jawab, adil dan mengayomi rakyat. Sebagaimana Sejak dinobatkan sebagai raja Ngayogyakarta Hadiningrat dalam proses upacara adat yang disebut Jumenengan, pada 1989, Sultan bagi penulis berulangkali memperjuangkan kepentingan Kawula Mataram pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.

Sultan menyadari posisinya sebagai seorang raja keraton Ngayogyakarta yang terkena aturan sabda pandhita ratu, apa yang diucapakan raja pantang ditarik kembali. Tentunya ikrar Sultan sebagai capres sudah melalui laku spiritual yang sangt panjang, sebagaimana diungkapkan penulis tak jarang Sultan melakukan ritual puasa mute dan memohon petunjuk kepada yang Maha Kuasa untuk mendapatkan kemantapan apa yang akan dilakukan Sultan. Kesiapan Sultan maju capres bukanlah perilaku latah yang terbawa arus dan sekedar tebar pesona. Namun, apa yang diungkap panulis dalam buku ini sejak arus reformasi bergulir Pemimpin tradisional Yaogkarta tersebut sudah menunjukan embrio langkah menuju panggung Naional. Seperti simbol perlawan poltik terhadap rezim orde baru yang dilakukan Sultan melalui pisoanan agung yang dihadiri jutaan orang di alun-alun utara pada 20 Mei 1998 dalam rangka menentang rezim orde baru. Momentum itulah yang mempopulerkan nama Sultan sejajar dengan Gus Dur, Megawati dan Amien Rais.

Diperkuat lagi pertemuan Sultan bersama Gus Dur, Amien Rais dan Megawati di Ciganjur pada November 1998 yang kemudian melahirkan deklarasi Ciganjur. Dari peristiwa tersbut Sultan dekukuhkan sebagai tokoh reformasi yang sejajar dengan tokoh reformasi lainnya. Menurut dosen Fisipol UGM, A.A. GN. Ari Dwi Payana dalam beberapa tahun terakhir ini Sultan sudah melebarkan jaringan piltiknya tidak hanya di Jawa, melainkan meluas sampai seluruh Nusantara. Hal tersbut terlihat dari kegiatan Sultan yang sering menghadiri peristiwa budaya deberbagai daerah dan peran Sultan dalam mendamaikan beberapa konflik komunal dan berjumpa dengan masyarakat yang bermigran diluar Jawa. Tambahnya, semua langkah tersebut merupakan investasi politik yang dilakukan Sultan yang bisa berbuah pada meningkat popularitas Sultan dalam setahun terakhir ini. Hal tersebut terbukti hasil dari beberapa survei menunjukan posisi Sultan cukup bagus, betapa pun sebagai pendatang baru.

Buku ini tidak hanya sebagai panduan mengungkap jejak spiritual dan jejak politik Sultan, namun juga mengajarkan perihal sistem budaya lokal yang kita miliki khusunya dilingkungan kerajaan Jawa. Pada akhirya buku ini menarik untuk dipahami dan layak dibaca semua kalangan. Ditulis dengan bahasa yang sederhana, anlisis komprehensip dan didukung data yang valid merupakan nilai plus dari buku ini. Ditambah lagi Penulis betul-betul menguasai kelimuan budaya jawa, sehingga membuat kita mudah untuk memahaminya. Dengan membaca buku ini, paling tidak kita bisa tahu dan dapat memahami falsafah kepeminpinan Jawa.2009


Tidak ada komentar:

@abulaka