Menuju Pemilu Damai 2009 - Abulaka Archaida

Rabu, 21 September 2016

Menuju Pemilu Damai 2009


Oleh : M. Abu Laka SY*)

Perhelatan akbar pesta demokrasi tinggal hitungan hari. Dipastikan pada 9 April nanti semua masyarakat Indonesia menuju ke tempat pemilihan suara (TPS) untuk memilih para calon wakil rakyat dari tingkat daerah sampai pusat. Masing-masing partai politik sudah memaasang kuda-kuda untuk mengalahkan rival politiknya. Namun, dibalik kesibukan para calon menentukan strategi dalam menggapai kemengan, desas-desus rakyat menanti tanggal 2 April nanti, ternyata masih banyak persolan menumpuk yang nantinya akan berpengaruh pada proses pemilu 2009 ini.

Banyaknya perubahan sistem pada pemilu ini yang berujung pada kebingungan KPU tingkatan daerah dan para kader partai politik, mereka merasa KPU pusat dan pemerintah tidak tegas dalam membuat regulasi. Minimnya anggaran KPU membuat sosialisasi tersendat-sendat, pada hal untuk kali ini pemerinthah harus kerja ekstra, karena adanya sistem baru, sistem  contreng. Ditambah lagi tidak maksimlkannya sosialisasi dari KPU kepada masyarakat, hingga samapi sekarang masih banyak masyarakat yang tidak paham dengan sistem pencontrengan. Yang semua ini kalau tidak deselesaikan secara cepat dan tepat maka kondisi ini akan mengancam kualitas proses demokrasi di Indonesia.

Seperti yang diperdebatkan akhir-akhir ini, dirubahnya sistem dari nomor urut menjadi sistem suara terbanyak untuk pemilu legeslatif banyak menuia kontroversi. Sejak Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi terhadap Pasal 214 Undang-undang (UU) No 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif, dengan berat hati partai yang sudah siap dengan sistem nomor harus merombak ulang.

Ancaman Demokratisasi
Meski landasan konsituen dari keputusan tersebut adalah sesuai dengan undang-undang dasar 1945, namun tetap saja dari keputasan MK tersebut menimbulkan dampak negatif. Dapat kita perhatikan, dari sistem suara terbanyak. Calon hanya mengandalkan popularitas semata dan mempunyai massa banyak tanpa diiringi kamampuan SDM  yang berkulitas. Kalau hal ini benar terjadi, maka kedepannya lembaga legeslatif akan didominasi kader partai yang hanya mempuyai massa banyak karena populernya atau bisa jadi karena banyak menyebar duit (money politics) tanpa memliki kemampuan dalam melaksanakan tugas sebagai wakil rakyat. Padahal, kalau menggunakan sistem nomor urut, yang berkualitas pasti ditaroh di nomor urut paling atas oleh partai politiknya. Dengan demikian peluang orang yang brkulitas secara kamampuan akan lebih besar dibandingkan calon yang hanya mengandalkan popilaritas.

Dalam kehidupan bersosial laki-laki mempunyai peran lebih untuk dekat dengan masyarakat, realitas itulah Penulis meyakini perempuan akan memperoleh suara sedikit pada pemilu nanti. Dengan demikian adanya kemotmen bersama dalam atmosfir perpolitikan Indonsia untuk memaksimalkan kuota perempuan sebanyak 30 persen juga akan termentahkan dengan sistem suara terbanyak. Kalau memang konsisten memperjuangkan kaum perempuan, mestinya ada uapaya tertentu agar peluang kaum perempuan tidak terhalang dengan hadirnya sistem suara terbanyak.

Sistem suara terbanyak juga akan memicu persaingan ketat antar partai atau bahkan intenal partai itu sendiri. Yang semula partai politik sudah menuyiapkan para kadernya berdasarkan nomer urut, harus merombak awal lagi, padahal waktu sudah mepet. kondisi ini menjadi kendala bagi para calon untuk mengkampanyekan diri sebagai  calon wakil rakyat. Adanya persaingan ketat dalam internal partai akan Rahman Tolleng anggota Perhimpunan Pendidikan Demokrasi mengatakan beberapa hari yang lalu mengataakan melalui keputusan menganulir sistem itu, mahkamah dinilai telah memotong prinsip demokrasi dengan berdasarkan angka statistik. Dengan demikian apapun dalinya, tetaplah dengan sistem suara terbanyak lebih banyak dampak negatif, dari pada positifnya. Mungkin bisa dalam kontek tidak sekarang.

Persolan lain yang harus diperhatikan juga oleh pemerintahan, terkait dengan sistem contreng. Sampai saya membuat opini ini, data dari hasil survei para partai politik, Koran-koran dan berita televisi menyebutkan rata-rata masyarakat belum paham dengan sistem contreng sekarang. Mereka baru sebatas mendengar saja, tapi belum ada sosialisasi secara langsung dari KPU setempat. Sungguh ironis realitas ini. Pemilu lebih kurang masih satu bulan lagi, tapi masih banyak belum paham sistem pencoblosan. Pemerintah harus mengambil langkah cepat agar kondisi ini tidak mengusik kualitas preses demikrasi Indonesia. Kiranya tidak salah media-media memvonis persiapan pemilu 2009 ini mengkhuwatirkan, dan tak tangung-tangung Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid mengamini kalkulasi dari para media. Banyak organisasi- organisasi, LSM dan forum seminar yang memperbincangkan kitidakan mulusan pemilu kali ini.

Langkah Kuratif Pemerintah
Sekian persolan meumpuk yang akan menyelimuti prosesisasi pentuan caleg 2009 ini tidak serta-merta hanya diberbincangkankan belaka. Pihak-pihak terkati terutaman pemerintah perlu memberikan langkah kuratif agar atmosfir kekhuwtiran pada pemilu ini tidak terdengar lagi. Kalau saja pemerintah lamban mengatasi masalah ini, artinya dari KPU tidak bergerak cepat memberikan pemahaman pada masyarakat biasa, maka kondisi ini akan mengancam demokrasi negeri ini yang sudah dipandang oleh dunia berjalan secara dewasa.

Sejauh pengmatan dan pemahaman penulis ada beberapa suara dari masyarakat yang harus direspon oleh pemerintah. Pertama, perlu adanya perpu agar elemen terkait–partai politik, KPU daerah pemilihan masing-masing tidak terkatung-katung dan adanya kitegasan apa yang sudah diputuskan oleh MK. Semisal perlu adanya peraturan khusus bagi caleg perempuan. Bagaimana bentuk undang-undanya agar kuoto perempuan delembaga legeslatig tersebut bisa terpenuhi. Kedua, KPU pusat memaksimalkan proses sosialisasi dengan cara lebih banyak simbolasi langsung ke desa-desa terpencil. Ini dikarenakan rendahnya pengetahuan masyrakat adanya perubahan sistem baru. Kalau simbolisasi tidak maksimal, makan akan berujung banyak suara yang tidak sah, dan hal ini akan menunjukan kinerja dari pemerintah kurang cermat.

Ketiga, para partai politik menujua satu tujuan–pemilu yang jujur, adil, damai, dan sportig dalam berdemokrasi tanpa menanggalakan kepentingan partai, yaitu menggapai kemengan. Kalau hal ini bisa dipahami semua kader partai politik, secara tidka langsung tercipta kometmen bersama membantu pihak yang terkait untuk mensukseskan pemilu ini. Dengan demikian kekhawatirkan kita pada pemilu ini hanya menjadi sebuh bayang-bayang belaka menajadi sebuah mimpin indah dialam nyata.

Tentulah kita bersama memilki impian pemilu legeslatif 2009 ini berjalan secara damai dan tak kala penting melahirkan para wakil rakyat yang mempunyai kemampuant untuk melaksanakan tanggung jawab sebagau wakil rakyat dan memperjungkan kepentingan rakayat, bukan merong-rong hak rakyat. Cukuplah masa lalu dijadikan pelajaran, banyak pejabat senayan yang terlibat kasus korupsi, harus dijadikan pembelajran untuk para cale yang terpilih nanti.

*) Penulis adalah staf redaksi LPM Rhetor Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga      Yogyakarta dan Ketua Umum Forum Komunikasi Mahasiswa Manajemen Dakwah     (FKM-MD) se-Indonesia
Hp 085643975045
No Rekening 79332672 BNI Cabang UGM Yogyakarta atas nama Abu Laka


maka harus dibuat aturan tertentu terkait dengan caleg perempuan. Maka, menurut hemat penulis, disinilah signifikansi keputusan MK harus di follow up dengan Perpu. Sehingga nantinya hal-hal yang yang dicemaskan oleh pihak terkait akan dicarikan solusinya dalam perpu tersebut.


Tidak ada komentar:

@abulaka