M. Abu Laka SY*
Entah. Setelah konversi IAIN menjadi
UIN yang ditandai berdirinya gedung-gedung mewah menghiasi kampus putih ini. Saya
tidak pernah merasa bangga atas semua itu. Terkadang saya berfikir tentang hilangnya
bangunan-bangunan lama yang mempuyai historisitas kebanggaan mahasiswa itu
tersendiri. Misalkan tangga demokrasi, pohon-pohon rindang tempat berdiskusi.
Tangga demokrasi yang selama ini dianggap sebagai simbol panggung dialektika gerakan
mahasiswa. Sekarang ikon itu telah sirnah, yang ada hanyalah pemandangan bangunan
masjid setenga jadi,yang nampaknya tak kunjung jua selesai.
Saya lebih enjoy dengan pemandangan
kampus yang dulu, meskipun gedungnya sederhana, namun atmosfir akademik
benar-benar tercipta. Tak heran disetiap pojok lahan kosong selalu ada segrombolan
mahasiwa duduk bersdiskusi. Sekarang yang ada hanyalah pemandangan gedung
megah, jembatan layang ala UIN dan pagar-pagar raksasa mengelilingi kampus rakyat
ini. Budaya ilmiah (diskusi) yang menjadi pemandangan sehari-hari kian memudar
bak detelan bumi. Ditambah lagi potret mahasiswa UIN yang lebih bangga
memperlihatkan gaya trend masakini (modern), seperti cara pakaian yang modis,
gaya bicara yang berlaga kesinetronan (capek dech, gak lagi, yup, dsb),
sebaliknya mereka alergi dengan istilah-sitilah ilmiah yang selayaknya
dibiasakan dalam kalangan akademik.
Perhatikanlah! Setiap kali memasuki
kampus atau sekedar melintasinya saja, tentulah pemandangan yang pertama kali kita
lihat adalah sebuah bangun tinggi mengelilingi kampus rakyat ini. Bangunan
itulah yang bernama pagar. Pagar secara fisik memiliki fungsi sebagai sekat,
pembatas, pelindung. Namun, kalau kita pahami lebih jauh banyak makna untuk
ditafsirkan, apalagi pagar dalam konteks UIN Suka. Penulis mecoba mehami lebih
jauh kalu pagar itu sebagai sekat.
Sekat dalam kamus populer berarti
pembatas. Pembatas juga berarti pagar. Dengan demikian pagar adalah sekat. Dalam
pandangan saya, dengan dikelilingi “pagar raksasa”, menggambarkan kampus kita,
kampus yang eksklusif , seolah tidak bisa dijama masyarakat secara umum. Dan
tentunya didalamnya ada bentuk sekat-sekat yang diciptakan oleh pemegang
kekuasaan sehingga terjadi ketimpangan sosial, perampasan hak-hak, dan
pembungkaman suara mahasiswa secara paksa yang dibingkai dalam “sekat
regulasi”.
Lihat saja beberapa kebijakan yang
dekeluarkan oleh pihak birokrasi seperti kode etik mahasiswa, absensi 75 %
untuk memuluskan program Quality exurenct (QE), Kenaikan SPP 100 % tahun
2005 bahkan kedepan akan terus naik, adanya Dana Penunjang Pendidikan (DPP),
Student Center (SC)–semua kegiatan mahasiswa dijadikan satu ruangan,
diberlakukannya jam malam–jelas ada unsur pembatasan ruang kreativitas
mahasiswa, adanya kelas khusus (tahun ajaran 2009/2010) dengan biaya fantasis
dan durasi akademiknya relative singkat cukup dua hari seminggu–terkesan
pendidikan instan komesrsial yang berkedok khusus, dan larangan demonstran
untuk Fakultas baru Saintek dan Soshum–terlihat kebijakan represif terhadap
kebebesan berpendapat mahasiswa, dan masih banyak lagi kebijakan-kebijakan yang
dipersiapkan oleh pihak birokrat. Sejauh pemahaman Penulis semua regulasi
tersebut tidak berpihak pada mahasiswa.
Kita paham selama ini UIN Jogja
dikenal dengan kampus rakyat (kampus orang-orang kelas menenga), kampus
perlawanan (dikenal mahasiswanya kritis-kritis), kampus yang penuh perstasi
karena diberi ruang kebebasan berkreasi–demokratisasi kampus benar-benar
ditegakan. Dengan adanya sekian kebijakan yang substansibnya terdapat proses
sekatsisasi yang dilakukan oleh pihak rektorat dan kalau dikalkulasi secara
keseluruan dari regulasi tersebut, maka terdapat upaya-upaya pembuat kebijkan
merampas hak mahasiswa untuk bebas berkreasi.
Mari kita analisis satu persatu-satu. Adanya kebijkan 75
% dan QE membatasi kipra mahasiswa dalam melakoni petualangan intelektual
diranah kultural (organisasi, seminar, pelatihan dsb). Padahal semuanya telah mengamini
bahwa ilmu yang didapatkan dibangku kuliah hanya 30 %. Tidak diakuinya
surat izin apapun, kecuali surat keterang sakit dari dokter, menguatkan logika
yang digunakan birokrasi bahwa ilmu hanya didapatkan dibangku kuliah. Lebih
ironis lagi kebijakan tersebut membauat mahasiswa apatis terhadap organisai,
mareka (mehasiswa) menganggap organisasi hanya penghalang akademik.
Pergeseran mind-set tersebut
sudah jelas nampak dua tahun terkhir ini. Sebagaina saya alami selama berproses
dilembaga pemerintahn kampus. Kondisi yang memprihatinkan adalah pada mahasiswa
angkatan setahun terakhir ini. Minstream mahasiswa sekarang lebih
cendrung bagaimana kuliah cepat selesai dan IPK coumlode, tidak berpikir
skill apa yang harus saya miliki. Maka, hal yang lumrah predikat pengagguran
terbanyak desematkan lulusan S1 (data litbang Kompas 2007).
Diluar kebijakan sebagai alat sekat
antara yang menzolomi (birokrasi) dan pihak yang dizolimi (mahasiswa), ada
realitas lain yang mengindikasikan adanya proses sekatisasi baik cecara sadar
maupun tidak sadar (budaya). Persepsi dikalangan birokrasi maupun Dosen bahwa adanya
perbedaan antara mahasiswa dan dosen secara hirarki adalah ketidakpahaman
mereka hakikat makna pendidikan. Dosen menganggap mahasiswa adalah objek dalam
proses akademik, bukan sebagai mitra. Sejarah telah mencatat bahwa hakikat
pendidikan yang sesunggunya adalah sebuah proses “memanusiakan manusia”. Artinnya
ilmulah yang menjadi objek dalam prosesi akedemik, dosen dan mahasiswa sebagai
mitra yang selanjutnya secara bersama berdialektika sampai pada titik substansi
pendidikan bisa memerdekan manusia dari kebodohan, ketikdaktahuan, dan ketertindasan
dari hak-haknya dll.
Seharusnya Bangsai ini harus bnyak belajar
dari sejarah. Coba kita membuka kembali lembaran sejarah atas perjuangan Poulo
Freire yang meletakan kerangka dasar pendidikan sebagai proses humanisasi pada
rakyat Brazil. Berkat perjuangannya rakyat Brazil dapat bangkit dari
kemiskinan, kebodohan dan ketertindasan atas hak-hak mereka. Pertanyaannya
bagaimana di Indonesia? Ali-ali apa yang dikemukan oleh Franz Fanon dalam
bukunya The Wretched The Earth (1961) yang diamini oleh Alm. Dr. Masour
Fakih menyatakan bahwa kaum elit dan kelas menengah dari Bangsa-bangsa yang
memasuki era neo-kolonialisme pascapenjajahan mengalami dan menderita kemalasan
dan ketamakan intelektual, nampaknya realitas tersebut kian jelas terjadi dalam
konteks pendidikan di Indonesia.
Begitulah Paradigma pendidikan yang
terjadi Indonesia. Segalah instrument yang terkait dengan kebesaran dan
kedaulatan Bangsa selalu saja ada intervensi asing dan sebagian besar warisan
kolonial. Begitupun dengan pendidikan. Selama ini proses penyelenggaraan
pendidikan Indonesia hanya sebagai alat. Ya, saya kira itulah gambaran kampus
kita sekarang
Siapapun kita, yang masih tetap
meyakini bahwa pendidikan merupakan instrumen humanisasi (bukan sebagai alat),
maka dipandang perlu memproteksi sekat-sakat yang diciptkan oleh birokrasi
melalui regulasi. Perjuangan kita masih panjang untuk melawan atas perampasan
hak-hak mahasiswa yang berkedok pembenahan kualitas kampus.
2010
Tidak ada komentar: