PAGAR - Abulaka Archaida

Rabu, 21 September 2016

PAGAR


M. Abu Laka SY*

Entah. Setelah konversi IAIN menjadi UIN yang ditandai berdirinya gedung-gedung mewah menghiasi kampus putih ini. Saya tidak pernah merasa bangga atas semua itu. Terkadang saya berfikir tentang hilangnya bangunan-bangunan lama yang mempuyai historisitas kebanggaan mahasiswa itu tersendiri. Misalkan tangga demokrasi, pohon-pohon rindang tempat berdiskusi. Tangga demokrasi yang selama ini dianggap sebagai simbol panggung dialektika gerakan mahasiswa. Sekarang ikon itu telah sirnah, yang ada hanyalah pemandangan bangunan masjid setenga jadi,yang nampaknya tak kunjung jua selesai.

Saya lebih enjoy dengan pemandangan kampus yang dulu, meskipun gedungnya sederhana, namun atmosfir akademik benar-benar tercipta. Tak heran disetiap pojok lahan kosong selalu ada segrombolan mahasiwa duduk bersdiskusi. Sekarang yang ada hanyalah pemandangan gedung megah, jembatan layang ala UIN dan pagar-pagar raksasa mengelilingi kampus rakyat ini. Budaya ilmiah (diskusi) yang menjadi pemandangan sehari-hari kian memudar bak detelan bumi. Ditambah lagi potret mahasiswa UIN yang lebih bangga memperlihatkan gaya trend masakini (modern), seperti cara pakaian yang modis, gaya bicara yang berlaga kesinetronan (capek dech, gak lagi, yup, dsb), sebaliknya mereka alergi dengan istilah-sitilah ilmiah yang selayaknya dibiasakan dalam kalangan akademik.

Perhatikanlah! Setiap kali memasuki kampus atau sekedar melintasinya saja, tentulah pemandangan yang pertama kali kita lihat adalah sebuah bangun tinggi mengelilingi kampus rakyat ini. Bangunan itulah yang bernama pagar. Pagar secara fisik memiliki fungsi sebagai sekat, pembatas, pelindung. Namun, kalau kita pahami lebih jauh banyak makna untuk ditafsirkan, apalagi pagar dalam konteks UIN Suka. Penulis mecoba mehami lebih jauh kalu pagar itu sebagai sekat.

Sekat dalam kamus populer berarti pembatas. Pembatas juga berarti pagar. Dengan demikian pagar adalah sekat. Dalam pandangan saya, dengan dikelilingi “pagar raksasa”, menggambarkan kampus kita, kampus yang eksklusif , seolah tidak bisa dijama masyarakat secara umum. Dan tentunya didalamnya ada bentuk sekat-sekat yang diciptakan oleh pemegang kekuasaan sehingga terjadi ketimpangan sosial, perampasan hak-hak, dan pembungkaman suara mahasiswa secara paksa yang dibingkai dalam “sekat regulasi”.

Lihat saja beberapa kebijakan yang dekeluarkan oleh pihak birokrasi seperti kode etik mahasiswa, absensi 75 % untuk memuluskan program Quality exurenct (QE), Kenaikan SPP 100 % tahun 2005 bahkan kedepan akan terus naik, adanya Dana Penunjang Pendidikan (DPP), Student Center (SC)–semua kegiatan mahasiswa dijadikan satu ruangan, diberlakukannya jam malam–jelas ada unsur pembatasan ruang kreativitas mahasiswa, adanya kelas khusus (tahun ajaran 2009/2010) dengan biaya fantasis dan durasi akademiknya relative singkat cukup dua hari seminggu–terkesan pendidikan instan komesrsial yang berkedok khusus, dan larangan demonstran untuk Fakultas baru Saintek dan Soshum–terlihat kebijakan represif terhadap kebebesan berpendapat mahasiswa, dan masih banyak lagi kebijakan-kebijakan yang dipersiapkan oleh pihak birokrat. Sejauh pemahaman Penulis semua regulasi tersebut tidak berpihak pada mahasiswa.

Kita paham selama ini UIN Jogja dikenal dengan kampus rakyat (kampus orang-orang kelas menenga), kampus perlawanan (dikenal mahasiswanya kritis-kritis), kampus yang penuh perstasi karena diberi ruang kebebasan berkreasi–demokratisasi kampus benar-benar ditegakan. Dengan adanya sekian kebijakan yang substansibnya terdapat proses sekatsisasi yang dilakukan oleh pihak rektorat dan kalau dikalkulasi secara keseluruan dari regulasi tersebut, maka terdapat upaya-upaya pembuat kebijkan merampas hak mahasiswa untuk bebas berkreasi.

Mari kita analisis satu persatu-satu. Adanya kebijkan 75 % dan QE membatasi kipra mahasiswa dalam melakoni petualangan intelektual diranah kultural (organisasi, seminar, pelatihan dsb). Padahal semuanya telah mengamini bahwa ilmu yang didapatkan dibangku kuliah hanya 30 %. Tidak diakuinya surat izin apapun, kecuali surat keterang sakit dari dokter, menguatkan logika yang digunakan birokrasi bahwa ilmu hanya didapatkan dibangku kuliah. Lebih ironis lagi kebijakan tersebut membauat mahasiswa apatis terhadap organisai, mareka (mehasiswa) menganggap organisasi hanya penghalang akademik.

Pergeseran mind-set tersebut sudah jelas nampak dua tahun terkhir ini. Sebagaina saya alami selama berproses dilembaga pemerintahn kampus. Kondisi yang memprihatinkan adalah pada mahasiswa angkatan setahun terakhir ini. Minstream mahasiswa sekarang lebih cendrung bagaimana kuliah cepat selesai dan IPK coumlode, tidak berpikir skill apa yang harus saya miliki. Maka, hal yang lumrah predikat pengagguran terbanyak desematkan lulusan S1 (data litbang Kompas 2007).

Diluar kebijakan sebagai alat sekat antara yang menzolomi (birokrasi) dan pihak yang dizolimi (mahasiswa), ada realitas lain yang mengindikasikan adanya proses sekatisasi baik cecara sadar maupun tidak sadar (budaya). Persepsi dikalangan birokrasi maupun Dosen bahwa adanya perbedaan antara mahasiswa dan dosen secara hirarki adalah ketidakpahaman mereka hakikat makna pendidikan. Dosen menganggap mahasiswa adalah objek dalam proses akademik, bukan sebagai mitra. Sejarah telah mencatat bahwa hakikat pendidikan yang sesunggunya adalah sebuah proses “memanusiakan manusia”. Artinnya ilmulah yang menjadi objek dalam prosesi akedemik, dosen dan mahasiswa sebagai mitra yang selanjutnya secara bersama berdialektika sampai pada titik substansi pendidikan bisa memerdekan manusia dari kebodohan, ketikdaktahuan, dan ketertindasan dari hak-haknya dll.

Seharusnya Bangsai ini harus bnyak belajar dari sejarah. Coba kita membuka kembali lembaran sejarah atas perjuangan Poulo Freire yang meletakan kerangka dasar pendidikan sebagai proses humanisasi pada rakyat Brazil. Berkat perjuangannya rakyat Brazil dapat bangkit dari kemiskinan, kebodohan dan ketertindasan atas hak-hak mereka. Pertanyaannya bagaimana di Indonesia? Ali-ali apa yang dikemukan oleh Franz Fanon dalam bukunya The Wretched The Earth (1961) yang diamini oleh Alm. Dr. Masour Fakih menyatakan bahwa kaum elit dan kelas menengah dari Bangsa-bangsa yang memasuki era neo-kolonialisme pascapenjajahan mengalami dan menderita kemalasan dan ketamakan intelektual, nampaknya realitas tersebut kian jelas terjadi dalam konteks pendidikan di Indonesia.

Begitulah Paradigma pendidikan yang terjadi Indonesia. Segalah instrument yang terkait dengan kebesaran dan kedaulatan Bangsa selalu saja ada intervensi asing dan sebagian besar warisan kolonial. Begitupun dengan pendidikan. Selama ini proses penyelenggaraan pendidikan Indonesia hanya sebagai alat. Ya, saya kira itulah gambaran kampus kita sekarang

Siapapun kita, yang masih tetap meyakini bahwa pendidikan merupakan instrumen humanisasi (bukan sebagai alat), maka dipandang perlu memproteksi sekat-sakat yang diciptkan oleh birokrasi melalui regulasi. Perjuangan kita masih panjang untuk melawan atas perampasan hak-hak mahasiswa yang berkedok pembenahan kualitas kampus.


2010

Tidak ada komentar:

@abulaka