Perjokian, Matinya Pendidikan Kejujuran - Abulaka Archaida

Rabu, 21 September 2016

Perjokian, Matinya Pendidikan Kejujuran


Oleh: Abu Laka*
Ditemukannya 52 pelaku calo alias joki ujian masuk program internasional fakultas kedokteran UGM Yogyakarta telah mencoreng pendidikan kita. UGM selama ini dikenal kampus bersih bersekala Internasional ternodai karena praktek perjokian oleh segelintir orang. Fakta ini menunjukan realitas kecurangan, ketidakjujuran dan segala bentuk yang mengarah pada budaya instan ternyata tidak hanya terjadi di level SD, SMP, SMP, tapi juga terjadi di lingkungan kampus.
Nilai kejujuran, sportifitas dan perjuangan untuk mencapai sesuatu (lolos ujian) tidak lagi dikedepankan. Justru, hal-hal yang melanggar norma kebaikan lebih diutamakan. Terkesan sifat-sifat abnorma tersebut sudah dekat dengan kehidupan kita (Mosokisme). Bukan tanpa alasan jika penulis mengatakan demikian. Lihat saja, hampir semua lini kehidupan ada budaya ketidakjujuran, dan terkesan dipelihara oleh masyarakat Indonesia. Hal itu dilakukan karena ada unsur saling menguntungkan (simbiosis mutualisme).

Miskin Kejujuran
Jika di dunia pendidikan saja nilai-nilai kejujuran (honesty values) telah mati. Lantas, di mana letak instrument kehidupan yang mengajarkan masyarakat Indonesia betapa pentingnya memegang komitmen kejujuran? Padahal kita tahu bahwa pendidikan pilar utama (basic of pillar) membentuk karaktrer suatu bangsa. Tinggi-rendahnya derajat bangsa tertentu, ditentukan kualitas pendidikannya. Dos, kalau realitas pendidikan kita seperti sekarang: marakanya praktek ketidakjujuran. Tentunya kita bisa menyimpulkan sendiri-sendiri kualitas negeri ini di semua level kehidupan.

Sebenarnya banyak faktor mengapa praktek perjokian menghantui di kampus-kampus bergengsi terutama pada jurusan yang favorit dan bertaraf internasional. Tentunya pasar joki tidak tersedia jika permintaan tidak ada, artinya budaya masyarakat yang terbiasa tidak jujur dibawa sampai masuk kampus. Mestinya peran orang tua sangat signifikan untuk mengontrol anaknya agar tidak terlibat dalam sindikat perjokian. Namun, faktanya tidak demikian. Justru, terkesan semua dilakukan anaknya tidak lepas dari dukungan moral orang tuanya. Hal itu terbukti orang tuanya berani merogo kocek puluhan juta agar anaknya bisa lolos.

Fenomena di atas menunjukkan betapa mind-set masyarakat Indonesia sudah terbiasa cara-cara ketidakjujuran. Bagaimana tidak. Dalam kehidupuan sehari-sehari saja masyarakat kita sudah terbiasa dengan perbuatan tidak jujur. Misal saja, pembuatan SIM, KTP, perpanjangan BPKB motor dan lainnya, kebanyakan menggunakan jasa, dan itu menggunakan dana yang cukup besar. Apapun alasannya semua praktek itu tidak benar, karena mengajarkan pada ketidakjujuran dan budaya instant. Kenyataan pahit, justru itu dilakukan secara terbuka dan bahkan oleh oknum yang mempunyai wewenang dalam bidang tersebut.

Sangsi Tegas
Kasus perjokian dalam dunia pendidikan jangan dianggap problem sederhana. Berbicara lembaga pendidikan, kita akan berhadapan dengan khalayak banyak (masyarakat Indonesia) dan martabat bangsa di mata dunia. Bagi Arif Rahman, pengamat pendidikan kasus perjokian tergolong dosa besar (mortal sin). Dengan kata lain perjokian sederajat dosanya dengan korupsi dan narkoba. Itu artinya, pemerintah harus tegas menindak para pelaku joki jika ingin  pekerjaan haram itu tidak akan terjadi lagi. Terlebih dari pihak internal UGM harus mampuh memutus mata rantai jaringan perjokian, karena kemungkinan besar ada orang internal UGM terlibat dalam jaringan ini.

  Selama ini UGM dianggap representasi kampus terbaik mewakali Indonesia dalam kanca dunia. Jangan sampai hanya perbuatan oknum tertentu, derajat pendidikan kita dianggap rendah (law garde) di mata dunia Internasional. Tidak hanya itu, ada yang lebih penting terkait investasi masa depan bangsa, yaitu pembangunan karakter (character building) generasi muda. Ketika berada di lingkungan kampus, maka tidak terlepas keberadaan generasi muda. Kampus merupakan medium utama untuk membangun generasi muda yang berkarakter, mempunyai nilai kejujuran, bertanggungjawab, mandiri dan kesadaran sosial (sense of social).

Namun, harapan ideal peran kampus tersebut ternodai oleh praktek-praktek yang menggusur nilai kejujuran dan sportifitas. Jika baru masuk saja mahasiswa sudah diajari budaya suap, maka wajar saja ketika selesai dan menjadi orang pintar, tapi menjadi koruptor kelas kakap, seperti para elit kita sekarang. Tentunya pemerintah, pihak UGM dan bahkan kita semua tidak menginginkan hal itu terjadi. Tapi, kenyataannya masih sering terjadi di Indonesia, dan bahkan sudah mengakar. Butuh waktu puluhan tahun Indonsia untuk membersihkan budaya kotor yang terjadi di setiap lini birokrasi negeri ini.
Hidup sejahtera, damai, aman dan tentram adalah cita-cita semua bangsa, termasuk Indonesia. Namun, selamanya tidak akan tercapai jika integritas dan keterbukaan tidak menjadi budaya kita. Masih banyak pejabat merampok uang rakyat, birokrasi yang korup dan generasi muda terkena virus-virus ketidakjujuran (roguishness). Hemat penulis, untuk bangkit dari realitas keterpurukan tersebut, maka lembaga pendidikan mejadi pijakan utama memperbaiki kondisi tersebut. Boleh dikatakan negara kita sedang sakit, dan sakitnya mencapai level komplikasi. Artinya, untuk memperbaik perlu kerja keras dan dibutuhkan dukungan semua pihak.

Semua cita-cita mulia diatas akan termentahkan jika dunia pendidikan kita masih dihiasi fenomena memiluhkan–menjual nilai kejujuran–demi memperoleh hasil sesaat. Kejujuran adalah investasi jangka panjang untuk memperbaiki kondisi bangsa. Jika kita menjual nilai kejujuran, maka sama saja kita menjual masa depan bangsa, maka sama artinya kita menginginkan negara ini menjadi lebih buruk dan jatuh pada kondisi kesengsaraan, kemiskinan, kehancuran dan mengarah pada negara gagal (failed state). Langkah kongrit yang harus dilakukan pemerintah dan pihak UGM adalah menghukum seberat-beratnya para pelaku joki agar tidak lahir joki-joki baru yang menciderai pendidikan kita. Semoga

Dimuat di Aspirasi Harjo
20 Juli 2012


Tidak ada komentar:

@abulaka