Oleh: Abu Laka*
Ditemukannya 52 pelaku calo alias joki ujian
masuk program internasional fakultas kedokteran UGM Yogyakarta telah mencoreng
pendidikan kita. UGM selama ini dikenal kampus bersih bersekala Internasional ternodai
karena praktek perjokian oleh segelintir orang. Fakta ini menunjukan realitas
kecurangan, ketidakjujuran dan segala bentuk yang mengarah pada budaya instan
ternyata tidak hanya terjadi di level SD, SMP, SMP, tapi juga terjadi di
lingkungan kampus.
Nilai kejujuran, sportifitas dan perjuangan
untuk mencapai sesuatu (lolos ujian) tidak lagi dikedepankan. Justru, hal-hal
yang melanggar norma kebaikan lebih diutamakan. Terkesan sifat-sifat abnorma
tersebut sudah dekat dengan kehidupan kita (Mosokisme). Bukan tanpa alasan jika
penulis mengatakan demikian. Lihat saja, hampir semua lini kehidupan ada budaya
ketidakjujuran, dan terkesan dipelihara oleh masyarakat Indonesia. Hal itu
dilakukan karena ada unsur saling menguntungkan (simbiosis mutualisme).
Miskin Kejujuran
Jika di dunia pendidikan saja nilai-nilai
kejujuran (honesty values) telah mati. Lantas, di mana letak instrument
kehidupan yang mengajarkan masyarakat Indonesia betapa pentingnya memegang
komitmen kejujuran? Padahal kita tahu bahwa pendidikan pilar utama (basic of
pillar) membentuk karaktrer suatu bangsa. Tinggi-rendahnya derajat bangsa
tertentu, ditentukan kualitas pendidikannya. Dos, kalau realitas
pendidikan kita seperti sekarang: marakanya praktek ketidakjujuran. Tentunya kita
bisa menyimpulkan sendiri-sendiri kualitas negeri ini di semua level kehidupan.
Sebenarnya banyak faktor mengapa praktek
perjokian menghantui di kampus-kampus bergengsi terutama pada jurusan yang
favorit dan bertaraf internasional. Tentunya pasar joki tidak tersedia jika
permintaan tidak ada, artinya budaya masyarakat yang terbiasa tidak jujur dibawa
sampai masuk kampus. Mestinya peran orang tua sangat signifikan untuk
mengontrol anaknya agar tidak terlibat dalam sindikat perjokian. Namun,
faktanya tidak demikian. Justru, terkesan semua dilakukan anaknya tidak lepas
dari dukungan moral orang tuanya. Hal itu terbukti orang tuanya berani merogo
kocek puluhan juta agar anaknya bisa lolos.
Fenomena di atas menunjukkan betapa mind-set
masyarakat Indonesia sudah terbiasa cara-cara ketidakjujuran. Bagaimana tidak.
Dalam kehidupuan sehari-sehari saja masyarakat kita sudah terbiasa dengan
perbuatan tidak jujur. Misal saja, pembuatan SIM, KTP, perpanjangan BPKB motor
dan lainnya, kebanyakan menggunakan jasa, dan itu menggunakan dana yang cukup
besar. Apapun alasannya semua praktek itu tidak benar, karena mengajarkan pada
ketidakjujuran dan budaya instant. Kenyataan pahit, justru itu dilakukan secara
terbuka dan bahkan oleh oknum yang mempunyai wewenang dalam bidang tersebut.
Sangsi Tegas
Kasus perjokian dalam dunia pendidikan jangan
dianggap problem sederhana. Berbicara lembaga pendidikan, kita akan berhadapan
dengan khalayak banyak (masyarakat Indonesia) dan martabat bangsa di mata
dunia. Bagi Arif Rahman, pengamat pendidikan kasus perjokian tergolong dosa
besar (mortal sin). Dengan kata lain perjokian sederajat dosanya dengan korupsi
dan narkoba. Itu artinya, pemerintah harus tegas menindak para pelaku joki jika
ingin pekerjaan haram itu tidak akan
terjadi lagi. Terlebih dari pihak internal UGM harus mampuh memutus mata rantai
jaringan perjokian, karena kemungkinan besar ada orang internal UGM terlibat
dalam jaringan ini.
Selama
ini UGM dianggap representasi kampus terbaik mewakali Indonesia dalam kanca
dunia. Jangan sampai hanya perbuatan oknum tertentu, derajat pendidikan kita
dianggap rendah (law garde) di mata dunia Internasional. Tidak hanya
itu, ada yang lebih penting terkait investasi masa depan bangsa, yaitu
pembangunan karakter (character building) generasi muda. Ketika berada
di lingkungan kampus, maka tidak terlepas keberadaan generasi muda. Kampus
merupakan medium utama untuk membangun generasi muda yang berkarakter, mempunyai
nilai kejujuran, bertanggungjawab, mandiri dan kesadaran sosial (sense of
social).
Namun, harapan ideal peran kampus tersebut
ternodai oleh praktek-praktek yang menggusur nilai kejujuran dan sportifitas.
Jika baru masuk saja mahasiswa sudah diajari budaya suap, maka wajar saja
ketika selesai dan menjadi orang pintar, tapi menjadi koruptor kelas kakap,
seperti para elit kita sekarang. Tentunya pemerintah, pihak UGM dan bahkan kita
semua tidak menginginkan hal itu terjadi. Tapi, kenyataannya masih sering
terjadi di Indonesia, dan bahkan sudah mengakar. Butuh waktu puluhan tahun
Indonsia untuk membersihkan budaya kotor yang terjadi di setiap lini birokrasi
negeri ini.
Hidup sejahtera, damai, aman dan tentram
adalah cita-cita semua bangsa, termasuk Indonesia. Namun, selamanya tidak akan
tercapai jika integritas dan keterbukaan tidak menjadi budaya kita. Masih
banyak pejabat merampok uang rakyat, birokrasi yang korup dan generasi muda
terkena virus-virus ketidakjujuran (roguishness). Hemat penulis, untuk
bangkit dari realitas keterpurukan tersebut, maka lembaga pendidikan mejadi
pijakan utama memperbaiki kondisi tersebut. Boleh dikatakan negara kita sedang
sakit, dan sakitnya mencapai level komplikasi. Artinya, untuk memperbaik perlu
kerja keras dan dibutuhkan dukungan semua pihak.
Semua cita-cita mulia diatas akan termentahkan
jika dunia pendidikan kita masih dihiasi fenomena memiluhkan–menjual nilai
kejujuran–demi memperoleh hasil sesaat. Kejujuran adalah investasi jangka
panjang untuk memperbaiki kondisi bangsa. Jika kita menjual nilai kejujuran, maka
sama saja kita menjual masa depan bangsa, maka sama artinya kita menginginkan negara
ini menjadi lebih buruk dan jatuh pada kondisi kesengsaraan, kemiskinan,
kehancuran dan mengarah pada negara gagal (failed state). Langkah
kongrit yang harus dilakukan pemerintah dan pihak UGM adalah menghukum seberat-beratnya
para pelaku joki agar tidak lahir joki-joki baru yang menciderai pendidikan
kita. Semoga
Dimuat di Aspirasi Harjo
20 Juli 2012
Tidak ada komentar: